Mengenal Sanusi Pane, Tokoh Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia yang Terlupakan
Sanusi Pane adalah seorang sastrawan dan pujangga yang lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada 14 November 1905. Ia adalah tokoh pelopor yang mendorong lahirnya bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Setiap 28 Oktober, Bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Peristiwa yang terjadi 92 tahun silam ini menjadi momen sejarah yang sangat penting bagi pergerakan bangsa yang mengantarkan Indonesia hingga meraih kemerdekaannya.
Berbicara tentang Sumpah Pemuda, pasti tak bisa lepas dari bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Di negara yang hidup dengan semboyan 'Bhinekka Tunggal Ika' ini, adanya bahasa persatuan menjadi sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa hingga saat ini.
-
Bagaimana cara sejarawan menentukan kebenaran sebuah peristiwa sejarah? Sejarah menggunakan metode ilmiah dan analisis kritis untuk menilai keandalan sumber dan menyusun narasi yang berdasarkan bukti.
-
Apa yang dilakukan seniman AI itu pada tokoh-tokoh sejarah? Gambar-gambar tersebut menunjukkan Mahatma Gandhi dalam avatar berotot, Albert Einstein dengan tubuh kekar, dan Rabindranath Tagore memamerkan fisik berototnya.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Siapa yang memimpin redaksi surat kabar Benih Merdeka? Kemudian, surat kabar ini dibimbing oleh beberapa tokoh yang sudah terkenal di Sumatra Utara, salah satunya Mohammad Samin.
-
Siapa yang membuat gambar tokoh-tokoh sejarah dengan otot seperti binaragawan? Seorang seniman AI menggunakan kecerdasan buatan untuk merilis gambar-gambar menarik dari tokoh-tokoh sejarah, dan membayangkan seperti apa rupa mereka jika mereka adalah penggemar olahraga pada masanya.
Namun, lahirnya Bahasa Indonesia ternyata melewati perjuangan panjang oleh para tokoh bangsa terdahulu. Salah satunya adalah Sanusi Pane.
Sanusi Pane adalah seorang sastrawan dan pujangga yang lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada 14 November 1905. Ia adalah tokoh pelopor yang mendorong lahirnya bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Tak begitu dikenal sebagai pahlawan, berikut kisah hidup Sanusi Pane hingga akhir hayatnya.
Riwayat Pendidikan dan Jejak Organisasi Sang Pujangga
tokoh.id ©2020 Merdeka.com
Melansir dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Sanusi Pane mengenyam bangku pendidikan pertama kali di Hollands Inlandse School (HIS) di Padang Sidempuan. Ia kemudian pindah ke Tanjung Balai lalu masuk Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang, dan diselesaikan di Jakarta tahun 1922.
Sang Pujangga kemudian melanjutkan pendidikannya di Kweekschool di Jakarta dan lulus tahun 1925 serta melanjutkan ke Sekolah Hakim Tinggi. Setelah lulus Ia kemudian memperdalam pengetahuan tentang kebudayaan Hindu di India pada tahun 1929—1930.
Setelah menyelesaikan studinya, Sanusi Pane bekerja sebagai guru di Kweekschool Gunung Sahari, Jakarta, lalu pindah ke HIK Lembang, pindah lagi ke HIK Gubernemen Bandung kemudian pindah di Sekolah Menengah Perguruan Rakyat, Jakarta. Namun, karena aktif dalam Partai Nasional Indonesia, Ia akhirnya dipecat sebagai guru.
Sanusi Pane terkenal aktif dalam organisasi pergerakan, seperti Jong Sumatra dan Gerindo. Ia juga pernah menjadi redaktur majalah Timboel tahun 1931—1933, harian Kebangoenan di tahun 1936 dan redaktur Balai Pustaka di tahun 1941.
Masuk Golongan Angkatan Pujangga Baru
Sanusi Pane dikenal sebagai seorang sastrawan dan pujangga. Dalam sastra Indonesia, Ia masuk dalam golongan Angkatan Pujangga Baru. Nama Sanusi Pane terukir dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II, baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama.
Kumpulan sajak pertamanya berjudul Pancaran Cinta terbit tahun 1926, menyusul kemudian kumpulan sajak Puspa Mega di tahun 1927, drama Airlangga di tahun 1928, dan drama Burung Garuda Terbang Sendiri (1929). Pada tahun 1931 terbit kumpulan sajaknya Madah Kelana yang kemudian disusul drama Kertajaya di tahun 1932.
Kemudian di tahun 1933, terbit dramanya yang berjudul Sandyakala ning Majapahit lalu disusul drama Manusia Baru di tahun 1940. Di tahun yang sama, juga terbit buku terjemahannya, yakni Arjuna Wiwaha, disusul buku Sejarah Indonesia tahun 1942, Bunga Rampai dari Hikayat Lama di tahun 1946, Indonesia Sepanjang Masa tahun 1952, dan kumpulan puisi Gamelan Jiwa yang terbit tahun 1960.
Semasa Hidupnya Dikenal sebagai Sosok Rendah Hati
Melansir dari badanbahasa.kemdikbud.go.id, semasa hidupnya, Sanusi Pane dikenal sebagai sosok yang sangat rendah hati. Ia tak pernah membanggakan apa yang telah Ia perbuat, sekalipun sebenarnya hasil karyanya patut dibanggakan.
Dalam bukunya, J.U. Nasution pernah ingin menulis buku tentang karya Sanusi Pane, namun Ia tidak berhasil mewawancarainya meskipun Nasution telah berulang-ulang mencobanya. Setelah Nasution bertemu dengan Sanusi Pane, Ia selalu mengatakan, “Saya bukan apa-apa. Saya bukan apa-apa.".
Istri Sanusi Pane pernah mengungkapkan, Presiden Soekarno pernah akan memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada suaminya, namun Sanusi Pane menolak. Tentu saja istrinya terkejut, dan Sanusi Pane justru mengatakan, "Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa."
Tokoh Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia yang Terlupakan
Selain hidup sebagai sastrawan dan pujangga, Sanusi Pane adalah tokoh di balik lahirnya Bahasa Indonesia. Semua perjuangannya menemukan titik terang saat Kongres Pemuda I, yang dilaksanakan di Batavia tahun 1926.
Dalam kongres itu, Sanusi Pane lah yang pertama kali mengusulkan untuk menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia. Namun, perdebatan terjadi antara M. Yamin dan Muhammad Tabrani yang belum setuju dengan usulan itu. Penetapan itu gagal, tetapi kemudian diadopsi lagi dalam Kongres Pemuda II.
Dalam Kongres Pemuda II, tanggal 28 Oktober 1928, usulan Sanusi Pane dua tahun sebelumnya akhirnya diakomodir dan ditetapkanlah Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang kemudian diberi nama Bahasa Indonesia. Dan untuk pertama kalinya, Kongres Bahasa Indonesia I dilaksanakan di Medan, tanggal 28 Oktober 1954.
Namun, meski punya andil besar dalam pembentukan bahasa persatuan, Sanusi Pane kalah familiar dengan tokoh lain yang bergerak di bidang sastra. Oleh karena itu namanya jarang sekali dikenal sebagai tokoh yang mendorong lahirnya Bahasa Indonesia.
Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Sanusi Pane meninggal dunia tanggal 2 Januari 1968. Ia meninggalkan seorang istri dan enam orang anak tanpa meninggalkan kekayaan yang berupa materi sedikit pun, bahkan rumah pun tak dimilikinya.
Melansir dari ANTARA, atas perjuangan dan jasanya dalam sejarah lahirnya Bahasa Indonesia, Balai Bahasa Sumatra Utara (Sumut) akan mengusulkan Sanusi Pane menjadi pahlawan nasional dari Sumut.
Hal itu disampaikan Kepala Balai Bahasa Sumut, Maryanto dalam acara seminar nasional dengan tema Bahasa dan Sepeda Bangsa di Medan pada 20 Februari 2020 lalu.
"Selain membicarakan bagaimana sejarah pergerakan lahirnya bahasa persatuan Indonesia, tujuan dari seminar ini juga untuk mengangkat tokoh pergerakan nasional Sanusi Pane agar memperoleh gelar pahlawan," katanya.
Sanusi Pane dianggap berjasa karena ikut memperjuangkan lahirnya satu bahasa pemersatu. Meski Indonesia baru merdeka pada 1945, namun gagasan itu sudah diperjuangkan sejak 1926 di Kongres Bahasa yang mendorong lahirnya Sumpah Pemuda.
"Tidak hanya melahirkan bahasa persatuan Indonesia, Sanusi Pane juga melahirkan lembaga kebahasaan yaitu Institut Bahasa Indonesia sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap perkembangan kebahasaan," ujar Kepala Balai Bahasa Sumut, Maryanto.