Aktivis TI pertanyakan RPM Konten Multimedia jilid 2
Donny ICT Watch: Kalau yang namanya pembatasan hak seharusnya diatur dalam UU, bukan level menteri
Kementerian Komunikasi dan Informatika pernah mensosialisasikan RPM mengenai Konten Multimedia beberapa tahun yang lalu, namun kandas setelah komunitas TI yang dimotori pakar internet Onno W. Purbo secara tegas menolaknya.
Draf rancangan tersebut dianggap mengancam kebebasan internet yang merupakan inti dari keberadaan internet. Akhirnya Kementerian Kominfo pun membatalkan rencana mengetok palu terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tersebut.
Tak kapok dengan protes RPM KOnten Multimedia, Kemenerian Kominfo pun mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) mengenai Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang substansinya hampir sama dengan RPM Konten Multimedia.
"Kalau yang namanya pembatasan hak seharusnya diatur dalam UU, bukan level menteri," ungkap Donny BU dari ICT Watch dalam akun twitternya, Selasa (4/3).
Menurut dia, dalam RPM tersebut, database Trust+ harus dipakai ISP se-Indonesia. "Nah masalahnya, siapa penyusun database tersebut? Siapa yang beri mandat? Sudah libatkan multistakeholder?" tuturnya.
Dalam RPM tersebut, ISP bisa sesukanya mengkombinasikan database blacklist dari berbagai sumber, sehingga blokirnya bisa sesuka-sukanya ISP. Hal ini, menurut Donny, membuat posisi pengguna sangat lemah sehingga bisa mengancam net neutrality.
"Pada sejumlah kasus, user adalah 'korban' carut marutnya tata kelola internet, khususnya tentang kesalahan filtering. mau lapor atau ngadu, malah dicuekin," tuturnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana mengeluarkan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo mengenai Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Saat ini, draft peraturan sedang diujicobakan ke publik.
Pengamat telematika Judith MS mengatakan aturan tersebut dinilai akan kurang efektif. Pasalnya, walapun dilakukan pemblokiran situs, namun konten negatif tetap bisa lalu lalang melalui jejaring sosial. "Tidak efektif jika blokir sejuta situs, sementara konten pornografi, judi, SARA justru tak terbendung via jejaring sosial," katanya.
Judith menambahkan sekarang ini banyak konten juga juga tidak tersentuh oleh pemerintah untuk diatasi. "Belum lagi konten SARA atau terorisme yang sangat mudah ditemui," ujarnya. Selain itu, persoalan lainnya juga muncul, ketika misalnya publik melaporkan situs-situs tersebut. "Kalau dilaporkan nanti dikatakan pelanggaran HAM," ujarnya.