Indonesia belum siap terima e-wallet
E-wallet bukanlah bisnis utama operator, sehingga kurang fokus dalam menggarap pasar, bahkan terkesan 'yang penting ada.
E-wallet atau dompet elektronik sebenarnya sudah hadir di Indonesia pada 2007 saat Telkomsel pertama kali mengenalkan T-Cash, yang kemudian diikuti oleh Indosat lewat Dompetku dan XL dengan XL Tunai.
Namun hingga saat ini, tak ada perkembangan yang berarti, bahkan cenderung stagnan atau tidak bergerak. Sebenarnya apa penyebabnya?
Bila dikupas lebih jauh, terdapat beberapa alasan mengapa dompet digital 'tak laku' di pasaran, diantaranya masih belum percayanya pengguna telekomunikasi pada dompet digital, bahkan kesan mereka, uang digital malah menyusahkan.
Hal ini diperparah dengan masih belum percayanya sejumlah merchant pada perkembangan e-wallet. Terbukti, hingga saat ini hampir tidak ada pertambahan merchant bagi dompet digital produk operator.
Hal yang paling krusial adalah e-wallet bukanlah bisnis utama operator, sehingga kurang fokus dalam menggarap pasar, bahkan terkesan 'yang penting ada.'
Padahal, lembaga perbankan seperti BCA saja mesti mengeluarkan investasi uang, tenaga, dan waktu untuk menggarap Flazz, hingga baru beberapa tahun, produk tersebut bisa diterima masyarakat.
Keunggulan e-wallet milik perbankan adalah mereka memanfaatkan ribuan gerai ATM yang tersebar di seluruh Indonesia sebagai merchant, baik untuk Top Up maupun mencairkan.
Inilah yang tidak dimiliki operator, aspek kemudahan pelanggan dalam membelanjakan dan mengisi ulang uang digital.
"Berbeda bila operator men-spin off kan bisnis e-wallet-nya dengan bisnis utama sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi, mungkin e-wallet dapat lebih berkembang di Indonesia," ujar pengamat TI Priyanto kepada merdeka.com, Jumat (21/3).
Sebelumnya, Presdir XL Axiata Hasnul Suhaimi mengatakan masyarakat Indonesia yang belum menjadi nasabah perbankan masih ada sekitar 60-70 persen atau sekitar 180 jura orang. "Itu pasar yang luar biasa bagi e-wallet," tegasnya.