Ingin menjadi solusi bagi segmen UKM dan startup di Indonesia
Rully Moulany adalah Country Managing Director Red Hat Indonesia, penyedia solusi software open source Indonesia
Teknologi menawarkan banyak pilihan bagi individu dan dunia usaha. Berkat teknologi, inovasi bisa terjadi seperti inovasi open source atau sumber terbuka macam Linux. Inovasi teknologi seperti software open source kini semakin banyak digunakan, terutama di kalangan dunia usaha. Kini solusi software open source ini semakin diadopsi dan dipercaya sebagai solusi oleh kalangan korporasi.
Nah, seiring tingginya adopsi terhadap solusi software open source di Indonesia, bisnis solusi software open source terutama untuk korporasi dan usaha kecil menengah (UKM) juga meningkat. Salah satu penyedia solusi software open source ini adalah Red Hat Inc, yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia sejak dua tahun lalu.
-
Apa saja ide bisnis startup yang ditawarkan peserta Jagoan Digital? Dalam presentasi (pitching) Jagoan Digital sejumlah ide bisnis start up diangkat oleh peserta. Seperti layanan jasa servis elektronik, jasa pendidikan, kesehatan hingga pariwisata. Juga ada marketplace untuk UMKM, fashion batik lokal, pertanian hingga produk digital. Selain itu ada juga ide pengembangan usaha dan investasi yang semuanya dikembangkan lewat platform teknologi digital.
-
Kenapa perusahaan startup di bidang teknologi dan informasi berbasis internet disebut unicorn? Dalam mitologi Yunani, unicorn adalah hewan langka mirip kuda yang memiliki tanduk di kepala. Kemudian istilah ini diambil untuk menggambarkan perusahaan startup dengan nilai valuasi yang mencapai 1 miliar dollar.
-
Bagaimana Hadinata Batik menggunakan platform digital untuk mengembangkan bisnisnya? Banyak bermunculan brand batik baru di tengah disrupsi digital menjadi tantangan sekaligus motivasi bagi Hadinata Batik untuk terus berkembang. Hadinata Batik pun terus beradaptasi dengan berinovasi membuat model batik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan serta bergabung di platform digital seperti Tokopedia dan ShopTokopedia guna mempercepat laju bisnis lewat pemanfaatan platform digital.
-
Siapa saja yang terlibat dalam pendanaan startup nasional ini? PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) melalui entitas Corporate Venture Capital (CVC) MDI Ventures, dan juga Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), berpartisipasi dalam penandatanganan Perjanjian Partisipasi Merah Putih Fund di Jakarta, Senin (4/9).
-
Bagaimana cara IndiBiz mendorong digitalisasi pendidikan? Indibiz, ekosistem solusi digital dari PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk berkomitmen mendorong digitalisasi pendidikan salah satunya melalui penyelenggaraan Indonesia Digital Learning (IDL).
-
Di mana Sule mengungkapkan keinginannya untuk fokus membangun perusahaan digital? Dalam sebuah wawancara dengan Onadio Leonardo di kanal YouTube The Leonardo's, Sule mengungkapkan keinginannya untuk membesarkan perusahaan digital miliknya.
Semakin dipercayanya solusi software open source ini secara global cukup tergambar dari kenaikan bisnis Red Hat Inc di dunia. Pada periode Februari 2015-Februari 2016, pendapatan usahanya tumbuh 15 persen menjadi USD 2,05 miliar, dengan laba bersih USD 199 juta. Lembaga riset global, Gartner Inc, memberikan nilai Positif kepada Red Hat Inc dalam rating vendor IT terkemuka dunia pada tahun lalu dengan pangsa pasar 67 persen untuk vendor open source.
Untuk mengetahui perkembangan Red Hat di Indonesia, Syakur Usman dari Merdeka.com mewawancarai Rully Moulany (39), Country Managing Director Red Hat Indonesia, yang juga penggemar kopi, di kantornya, pekan lalu. Berikut petikannya:
Bagaimana perkembangan terkini bisnis Red Hat Indonesia?
Kebetulan 1 Juni adalah kuartal baru bagi kami, karena tahun fiskal Red Hat dimulai 1 Maret hingga 31 Mei. Jadi kami baru saja tutup kuartal I. Nah, di kuartal I 2016, hasilnya menggembirakan. Sekali lagi kami tumbuh dibandingkan dari tahun lalu dan kuartal tahun lalu, dengan pertumbuhan sangat signifikan, double digit. Secara skala di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), pertumbuhan Red Hat Indonesia termasuk paling tinggi. Bisa dikatakan, Red Hat Indonesia masuk papan atas di ASEAN. Ini semua berkat kerja keras tim, sehingga awareness open source terus meningkat. Dunia teknologi informasi (TI) semakin tumbuh dan berubah, tiada pilihan buat konsumen korporasi untuk menggunakan open source.
Apa saja pendorong pertumbuhan bisnis yang signifikan itu?
Pendorong utamanya, secara umum diwakili satu kata, disrupsi. Disrupsi ini menyebabkan banyak industri dan perusahaan di Indonesia dan global terancam model bisnisnya. Ketika terancam, maka yang dilakukan perusahaan adalah pertama mencoba melakukan inovasi, kedua menekan biaya. Saat ingin menekan biaya, solusi yang dicari adalah solusi yang lebih efisien dari biaya. Saya tidak bilang murah. Kemudian bicara inovasi, mereka harus mulai melirik perusahaan-perusahaan yang melakukan disrupsi, software apa yang mereka pakai dan apa yang dilakukan.
Red Hat dengan solusi software open source menjawab dua-duanya. Efisiensi menjadi lebih efisien. Sementara inovasi, sudah sering dibahas, semua perusahaan di dunia yang melakukan destruksi, seperti Uber, Grab, Alibaba, Netflix, Airbnb, semua menggunakan open source software untuk berinovasi, supaya lebih lincah dan fleksibel, tanpa harus membawa cost structure dari vendor-vendor terkenal seperti selama ini.
Bisa dikatakan semua ingin melakukan transformasi digital. Semua korporasi melakukan itu untuk mengejar startup tersebut. Hanya kami yang punya kredibilitas dan solusi karena open source ini. Kami bisa memberi solusi bagi korporasi yang ingin melakukan transformasi digital. Bahkan pada periode Maret-Mei 2016, ada satu bank terkemuka di Indonesia, sudah setuju bekerja sama dengan Red Hat. Mereka ingin melakukan dua hal, yakni digital banking dan branchless banking. Mereka bilang tidak ada pilihan dan Red Hat adalah mitra yang tepat.
Hampir saat bersamaan, secara global, BBVA dan RBS, mengumumkan kerja sama dengan Red Hat untuk inovasi banking. Persis seperti yang dilakukan bank lokal tadi, tapi dengan skala lebih besar.
Jadi ketika bank dan jasa keuangan ingin melakukan transformasi digital, Red Hat lah yang paling pas, karena kami punya track record dan solusi software open source.
Dengan perkembangan positif di Indonesia, apa tantangan terbesar Red Hat Indonesia?
Tantangan terbesar kami, bukan apakah solusi kami sudah terbukti atau membawa value. Tantangannya, bagaimana melebarkan sayap, menjangkau konsumen-konsumen lebih banyak di Indonesia. Kami baru 2 tahun di Indonesia, sehingga awareness building Red Hat kurang dikenal dibandingkan vendor lain, seperti Microsoft. Untuk memastikan customer tahu apa itu Red Hat, bahwa Red Hat bukan sekadar Linux. Ini tantangan kami, market edukasi dan market awareness.
Untuk melebarkan sayap Red Hat di Indonesia, strateginya ada tiga. Pertama, industri yang menjadi fokus, mesti ada orang yang mengurusi klien tersebut. Dengan fokus di industri jasa keuangan, public sektor, dan telekomunikasi, kami harus punya orang yang kapabel untuk setiap industri.
Kedua, membangun kemitraan lokal, untuk melakukan skill up Red Hat. Pada akhirnya, perusahaan Indonesia akan lebih nyaman bekerja sama dengan perusahaan lokal.
Ketiga, building awareness. Ini penting untuk meyakinkan pasar, jika bank global, seperti BBVA dan RBS sudah berani menggunakan Red Hat, kenapa bank di Indonesia tidak.
Benefit utama menggunakan software open source adalah efisiensi biaya?
Jika bicara platform per platform, sulit dipukul rata, karena tergantung environment dan pola pemakaian. Tapi kami ada studi global yang dilakukan oleh Forrester, yakni 87 persen dari pengguna open source menyatakan janji yang akan turunkan biaya itu terbukti. Jadi 9 dari 10 orang loh.
Data yang sama bilang, chief information officer (CIO) di perusahaan menyatakan 72 persen dari bujet mereka digunakan hanya untuk bujet operasional. Keeping the lights on, tanpa inovasi dan digital transformasi. Katakanlah setiap 10 dolar pengeluaran, 7 dolar untuk menjalankan business as usual. Bagaimana bisa berkompetisi dengan Paypal, Uber, Alibaba, dan lain-lain, jika uangnya dipakai untuk operasional saja. Untuk itu, perusahaan di Indonesia mestinya sudah pindah ke open source.
Hanya saja pasar di Indonesia sangat terfragmentasi. Misalnya di industri keuangan bank, ada ratusan bank di Indonesia. Sehingga kami tidak mungkin meletakkan satu orang untuk satu bank.
Segmen usaha kecil menengah dan startup di Indonesia sangat banyak. Apa strategi Anda menangkap peluang itu?
Bagaimana Red Hat bisa menjadi solusi bagi pasar yang besar itu. Strateginya adalah bagaimana kami bisa bekerja sama dengan mitra lokal dengan menawarkan layanan cloud computing atau komputasi awan. Layanan cloud adalah demokratisasi akses infrastruktur teknologi. Berkat cloud, perusahaan dua orang karyawan bisa punya barang dan teknologi sekeren bank papan atas, karena cukup bayar sewa. Untuk itu, pada Februari, kami telah menunjuk PT Indonesian Cloud sebagai mitra solusi Red Hat Indonesia. Secara jumlah, mitra lokal kami banyak, ratusan jumlah.
Tapi mitra lokal dengan level sertifikasi paling tinggi, ada lima, yakni PT TelkomSigma, PT Astra Graphia Information Technology (AGIT), PT Mitra Integrasi Informatika, PT IT Group Indonesia, dan PT Bajau. Kami bilang, mereka berlima adalah mitra bisnis yang paling mumpuni. Di luar itu, ada ratusan mitra yang lebih kecil. Dan satu mitra cloud, yakni PT Indonesia Cloud, di luar mitra skala global Amazone AWS, Google Cloud, dan lain-lain.
Produk apa yang menjadi fokus saat ini dan sesuai dengan agenda transformasi digital dunia usaha?
Produk kami sangat banyak. Tapi yang temanya sesuai dengan transformasi digital, karena lagi hot di Indonesia adalah produk yang terkait dengan pengembangan aplikasi yang lebih lincah. Kami bukan sekadar jualan teknologi, tapi bagaimana mengubah mindset. Ini people process technology.
Istilahnya dalam teknologi adalah waterfall atau continous development. Jadi bukan hanya orang dan kultur berubah, tapi tools-nya harus memungkinkan melakukan ini.
Tahun ini, kami fokus dengan produk Open Shift, yakni layanan platform as a service (PAAS). Open Shift ini membebaskan developer untuk tidak pusing dengan infrastruktur yang dibutuhkan saat bikin aplikasi, seperti tidak harus beli server dan lain-lain. Tidak lagi bicara infrastruktur, tapi bicara platform. Ini sangat membantu developer, sehingga aplikasi bisa lebih cepat. Inilah yang sedang hot, dan mendukung digital transformation agenda kami.
Layanan ini untuk kalangan korporasi dan UKM dan sudah terbukti di negara lain. Di Indonesia baru di-deploy tahun ini. Produk ini memang seindah janjinya.
Berapa jumlah klien Red Hat Indonesia dan siapa saja mereka?
Saya tidak bisa sebutkan jumlahnya. Tapi dari name account, jumlahnya ratusan. Ada perusahaan bank besar di Indonesia, perusahaan transportasi darat ikonik di Indonesia, perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, dan pemerintah. (Pada satu kesempatan, Rouli menyebutkan PT Telkomsel, Plaza Indonesia, dan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan). Mereka semua sudah menggunakan aplikasi-aplikasi yang kritikal, bukan main-main. Tinggal bagaimana mereka mengembangkan ke model software lainnya.
Lantas, apa target bisnis Anda tahun ini?
Target dari sisi bisnis, pertumbuhannya dobel di tahun ini dari tahun lalu. Tugas saya di Indonesia adalah meningkatkan fokus industri, kemitraan, dan awareness.
Di industri telekomunikasi, bank, dan sektor publik, kami menyediakan orang business development, kemitraan, marketing, delivery, solution architect, yang incharge. Di segmen UKM juga. Jadi lengkap dari sisi end user. Mengapa? Buat saya, tiga sektor itu yang paling potensial di Indonesia.
Apa kontribusi Red Hat Indonesia bagi bangsa Indonesia yang sedang bertransformasi digital dengan target 1.000 startup baru di 2020 dan transaksi e-commerce naik menjadi USD 130 miliar?
Ini berarti kita bicara kewirausahaan, maka yang penting idenya, bukan uangnya dan hal teknis lainnya. Nah, bagaimana mempercepat ide menjadi realisasi? istilah fail fast, fail often. Red Hat bisa mendukung itu. Tinggal masalah kemauan dan kerja keras.
Yang memungkinkan itu semua terjadi, cuma satu yakni cloud. Sebab cloud itu mendemokratisasi akses. Orang dengan modal kecil sama dengan modal besar, yakni bisa menggunakan teknologi sama. Cuma perusahaan lokal masih banyak menggunakan cloud AWS Amazone atau Google Cloud. Startup memakai cloud asing, karena cloud lokal tidak canggih dan mudah digunakan.
Nah, bagaimana caranya, cloud yang dipakai yang lokal, kan sudah ada PT Indonesia Cloud. Oleh karena itu kami juga meningkatkan layanan cloud-nya supaya lebih sophisticated, bukan cuma sekadar mesin, tapi langsung platform, sehingga ide bisa dites secara cepat. Ini platform as a service.
Red Hat Indonesia melakukan kemitraan lokal, supaya bisa naik kelas untuk lebih memudahkan layanan cloud lokal. Itu visi saya, target 1 tahun ke depan, bahwa cloud lokal bisa bicara platform as a service, sehingga startup bisa dengan mudah menggunakannya.
Apa saja kebijakan penting Anda selama satu tahun ini?
Kemitraan lokal. Buat saya, kebijakan kemitraan lokal bukan saja penting untuk bisnis, sehingga Red Hat naik, tapi bagi Indonesia untuk get back ke mitra-mitra lokal kami. Tujuannya simpel, supaya win for Red Hat, juga win for Indonesia. Kontribusi open source sudah banyak digunakan dari sisi komunitas, sehingga penggunanya sudah luas sekali baik berbayar maupun tidak berbayar.
Namun, dengan kami membawa nama-nama Telkomsigma, dan lain-lain, membuat mereka lebih percaya untuk adopsi solusi open source. Jika adopsinya makin tinggi, kontribusi tentu lebih tinggi lagi, sehingga inovasi yang terjadi bisa lebih cepat. Tujuannya adalah saya ingin Red Hat Indonesia memiliki local flavour yang kental. Sebab kemitraan lokal bisa membantu Indonesia, bukan hanya Red Hat sendiri.
Apa mimpi Anda sebagai orang nomor satu di Red Hat Indonesia?
Mimpi saya, lepas dari obyektif bisnis, saya ingin Red Hat di Indonesia, lebih Indonesia. Kontribusi Red Hat terhadap pengembangan teknologi di Indonesia bisa lebih besar lagi. Open source sudah tepat untuk itu, sebab dengan sendirinya produk kami banyak yang pakai.
Sekarang bagaimana meningkatkan kontribusi orang Indonesia terhadap open source. Indonesia jangan hanya menjadi pengguna/konsumen. Saya harapkan konsumen itu berkontribusi balik ke open source.
Seperti apa sih gaya kepemimpinan Anda?
Gaya saya terbuka dan inklusif. Terbuka sama semua tim, pembuatan keputusan dan aktivitas. Contoh saat rekrut karyawan baru, saya tanyakan ke semua orang yang akan bekerja sama, meski bukan manajernya yang bersangkutan nanti.
Kalender saya juga terbuka. Saya bikin policy, semua kalender saya diketahui, jadi orang tahu saya di mana dan melakukan apa. Semua karyawan juga. Ini menjadi informasi publik. Keterbukaan dalam pembuatan keputusan, supaya tim member merasa menjadi bagian dari perusahaan.
Sebelum bergabung di Red Hat satu tahun lalu, Anda bekerja di Microsoft. Apa pembelajaran menarik dari sana?
Perlu diketahui Microsoft sudah provide produk Red hat di produk Microsoft Azure. Pembelajarannya, Microsoft atau semua perusahaan teknologi besar, tidak ada pilihan kecuali melakukan embrace open source. Karena yang antik-antik, bagus-bagus, menarik, dan keren, asal-usulnya pasti berasal dari proyek open source. Kalau mereka ignore, mereka akan kalah, seperti kata Mahatma Gandhi, "First, they ignore you, and then they laugh you, and then they fight you, and you win". Open source mirip seperti itu.
Kalau secara organisasi, apa menariknya?
Uniknya, bekerja di perusahaan open source adalah keterbukaan dan pemberdayaaan kami terhadap sumber daya manusia. saya mendapat otonomi yang luas untuk memutuskan dan menjalankan bisnis perusahaan mau dibawa ke mana. Tapi tetap ada good corporate governance, prosedur, dan proses. Kami dapat kepercayaan luar biasa, tapi saat yang sama saya dituntut accountable dan terprediksi. itu berbeda perusahaan sebelumnya, keterbukaan.
Baca juga:
Amvesindo dorong regulasi Modal Ventura Indonesia lebih kompetitif
Ini manfaat Amvesindo bagi Startup Indonesia
Demi solusi pembayaran, startup ini gandeng Veritrans
VC besar tidak diistimewakan di Amvesindo