LTE diduga hanya permainan vendor agar produknya laku
Apakah Indonesia benar-benar membutuhkan LTE?
Ada yang menarik dari acara yang digelar Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) belum lama ini, terutama saat Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Muhammad Budi Setiawan melontarkan pertanyaan apakah Indonesia sudah benar-benar siap menerapkan LTE.
"Apakah kita benar-benar membutuhkan LTE? Mengingat fakta yang ada bahwa masih sekitar 70 persen pelanggan seluler yang masih menggunakan layan 2G, sedangkan layanan 3G saja belum secara maksimal disediakan operator," katanya, belum lama ini.
Dia melanjutkan jangan bicara dari sisi pandang vendor karena sesuai dengan misi mencari keuntungannya maka vendor LTE seperti Huawei, Ericsson, Alcatel, dan Nokia tentu akan sangat mendorong agar LTE segera dilaksanakan di Indonesia.
Pemerintah melihat ada banyak masalah yang menghadang selain masalah investasi yang seharusnya nanti akan dilakukan oleh operator, seperti masalah ketersediaan frekuensi juga menjadi penting, terutama dengan adanya putusan MA yang meminta agar proses digitalisasi di moratorium, artinya penggunaan frekuensi di 700 MHz akan tertunda dan digital dividend juga tertunda.
Pandangan berbeda disampaikan oleh Mastel, bahwa Indonesia harus secepatnya menerapkan LTE agar tidak tertinggal dari negara lainnya.
"Bila LTE tidak buru buru digelar di Indonesia, sedangkan pada 2015 teknologi 5G sudah akan memasuki pasaran, maka nanti kita menjadi sangat terlambat, karena baru saja gelar 4G, sudah datang 5G, dan seterusnya," kata Direktur Eksekutif Mastel Eddy Thoyib.
Eddy mengakui di daerah pinggiran kota, masih banyak masyarakat yang sudah merasa cukup dengan teknologi 2G, yang hanya dimanfaatkan untuk SMS dan telepon, apalagi handset untuk 3G masih cukup mahal bagi masyarakat perdesaan.
Teknologi LTE pernah diujicoba di Indonesia saat pertemuan APEC, 5-7 Oktober 2013 di Bali. Difasilitasi Nokia Solutions and Networks, jaringan LTE Telkomsel mencatat kecepatan unduh tertinggi 70 Mbps.