Airlangga tugas ganda, perindustrian terancam merana
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat ini merangkap jabatan sebagai menteri dan Ketua Umum Partai Golkar. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi yang melarang menterinya merangkap jabatan. Rangkap jabatan ini pun dinilai bisa mengganggu pertumbuhan industri Tanah Air.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto resmi menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar menggantikan Setya Novanto. Pengukuhan itu dilaksanakan dalam acara penutupan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Jakarta Convention Center (JCC) pada Desember 2017.
"Saya hormati sebagai ketua umum yang terpilih menjadi nahkoda baru saya mengucapkan terima kasih dari hati yang tulus atas kepercayaan dari saudara-saudara Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim saya menerima amanah dan berjanji untuk bekerja sebaik-baiknya dalam mewujudkan harapan kita," ucap Airlangga.
-
Bagaimana Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Golkar? Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Partai Golkar ke-11 sejak pertama kali dipimpin Djuhartono tahun 1964.
-
Bagaimana Airlangga Hartarto mengelola potensi konflik di dalam Partai Golkar? Lanjut Dedi, Airlangga juga mampu merawat infrastruktur partai dengan mengelola potensi konflik yang baik.
-
Apa yang diklaim Airlangga sebagai pencapaian Partai Golkar? "Dengan demikian Partai Golkar mengalami kenaikan dan dengan Partai Golkar mengalami kenaikan, Partai Golkar juga yang mendukung Pak Prabowo dan Mas Gibran bisa berkontribusi kepada kemenangan Bapak Prabowo Subianto dan Mas Gibran Rakabuming Raka," tutup Airlangga.
-
Apa alasan Nurdin Halid menilai Airlangga Hartarto layak memimpin Golkar? "Sangat layak, Erlangga memimpin Golkar," ujarnya kepada wartawan, Rabu (3/4). Nurdin mengaku di Pemilu 2024, Golkar perolehan kursi di DPR RI meningkat menjadi 102. Padahal di Pemilu 2019, Golkar hanya meraih 85 kursi. "Dari 85 kursi menjadi 102, itu tidak mudah. Sangat layak (memimpin kembali Golkar)," tuturnnya.
-
Siapa yang menyampaikan keinginan aklamasi untuk Airlangga Hartarto dalam memimpin Golkar? Untuk informasi, kabar adanya keinginan aklamasi dari DPD I dalam penunjukkan Airlangga kembali memimpin Partai Golkar disampaikan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Lodewijk F. Paulus.
-
Kenapa banyak Ketua DPD Golkar ingin Airlangga Hartarto kembali memimpin secara aklamasi? "Makanya cukup rasional jika DPD ingin aklamasi untuk AH," jelasnya. Dia menambahkan, tidak mudah untuk Golkar meraup suara maksimal di Pemilu karena tidak ada kader yang bertarung di Pilpres 2024.
Sayangnya, keputusan tersebut menuai banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan. Hal ini juga mengingatkan kembali kepada pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menegaskan semua menteri-menterinya harus melepas jabatan di partai politik. Menteri yang masuk dalam kabinetnya tidak boleh menjabat di partai.
"Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua," ujar Jokowi pada 26 Agustus 2014 lalu. Alhasil, tak ada satupun di kabinet Jokowi yang punya jabatan penting di partai politik hingga kini.
Namun, pernyataan ini seolah tidak dibuktikan. Di mana pada reshuffle kabinet beberapa hari lalu, Presiden Jokowi tidak mencopot Airlangga dari jabatannya sebagai menteri. Sementara, dia melengser Khofifah Indar Parawansa dari Kabinet Kerja, dan diganti dengan Sekretaris Jenderal Golkar, Idrus Marham.
Alasannya, karena masa pemerintahan kabinet kerjanya akan berakhir pada 2019 mendatang. Sehingga, tidak memungkinkan untuk mencari orang baru untuk menggantikan Airlangga.
"Ini kan tinggal satu tahun (periode kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla) saja praktis ini kita. Kalau ditaruh orang (Menteri Perindustrian) baru, ini belajar bisa 6 bulan kalau enggak cepat bisa setahun kuasai itu," ungkap Jokowi.
Selain itu, Jokowi juga melihat Airlangga memiliki kapabilitas yang bagus. Selama menjabat sebagai Menperin, mantan Ketua Komisi VII DPR itu dinilai bekerja optimal.
"Kita lihat memang di Menperin pak Airlangga ngerti betul yang berkaitan dengan makro konsep makro industri di negara kita, hilirisasi ke depan seperti apa," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana menilai, keputusan Presiden Jokowi ini tidak konsisten. Tak hanya itu, dia juga menilai adanya perbedaan perlakuan dari presiden dengan menempatkan dua kursi menteri untuk Golkar.
"Dulu presiden bilang tidak boleh merangkap, sekarang boleh. Harus ada konsistensi. Kalau yang dulu diminta berhenti, sekarang tidak. Dibilang satu tahun (masa jabatan) kan jadi tidak konsisten. Sama saja, Idrus Marham masuk (jadi Mensos) juga jadinya ada perbedaan perlakuan," kata Azam saat dihubungi merdeka.com, Kamis (18/1).
Dia menambahkan, rangkap jabatan ini dinilai akan mengganggu kinerja Airlangga sebagai menteri. Mengingat tugas sebagai menteri maupun ketua umum sama-sama berat.
"Tugas ketua umum kan berat, tugas menteri juga berat. Sehingga pasti konsentrasi tidak fokus. Bagaimana menghidupkan industri dengan kondisi demikian di samping dia mendapat amanat jadi ketua umum. Kan jadi repot," imbuhnya.
Terlebih lagi, tahun 2018 disebut juga sebagai tahun politik karena adanya Pilkada Serentak. Tentunya tugas ketua umum partai akan menjadi lebih berat. Dikhawatirkan, hal ini akan mengganggu pertumbuhan industri Tanah Air.
"Apalagi masih banyak industri yang membutuhkan perhatian khusus. Mungkin kalau kementerian yang tidak strategis mungkin (rangkap jabatan) tidak akan berpengaruh. Tapi perindustrian kan kementerian yang strategis," tegasnya.
Meski begitu, dia tetap menyerahkannya kepada pemerintah. Menurutnya, dampak dari rangkap jabatan ini akan terlihat di kemudian hari. "Kita kembalikan ke presiden dan pemerintah, konsisten atau tidak biar rakyat yang menilai. Jadi biarkanlah kalau sudah kebijakannya presiden, ya kita lihat saja," tandasnya.
Baca juga:
Ini alasan Jokowi tak copot Menperin Airlangga dari kabinet kerja
Ini cara WHM AR genjot program CSR di sekitar pabrik
Tingkatkan produksi baja, Kemenperin percepat pembangunan industri di 3 wilayah
Pemerintah diminta jaga keandalan pasokan gas di Sumut
2017, realisasi investasi sektor perindustrian capai Rp 288,71 triliun