Aset konglomerasi lembaga jasa keuangan Indonesia capai Rp 5.142 T
"OJK telah mempersiapkan infrastruktur pengawasan di sisi internal," kata Ketua DK OJK Muliaman.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat total aset 50 grup konglomerasi keuangan di Indonesia mencapai sebesar Rp 5.142 triliun. Angka ini lebih dari setengah atau sekitar 70,5 persen dari total aset industri jasa keuangan Indonesia sebesar Rp 7.289 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menuturkan, sesuai kewenangannya dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2011, OJK akan mengatur dan mengawasi 50 konglomerasi keuangan yang telah melaporkan struktur dan anggota konglomerasi keuangannya.
Sesuai Peraturan OJK No.17/POJK.03/2014 tanggal 19 November 2014, entitas utama wajib menyampaikan laporan mengenai lembaga jasa keuangan (LJK) yang menjadi entitas utama dan LJK yang menjadi anggota konglomerasi keuangan.
"Untuk melakukan pengawasan yang konsisten dan efektif terhadap konglomerasi keuangan ini, OJK telah mempersiapkan infrastruktur pengawasan di sisi internal," kata Muliaman di Jakarta, Jumaat (26/6).
OJK mengklasifikasikan 50 konglomerasi keuangan tersebut dalam 3 jenis. Di antaranya, 14 konglomerasi keuangan bersifat vertikal, 28 konglomerasi keuangan bersifat horisontal dan 8 konglomerasi keuangan bersifat mixed.
Selanjutnya, dari 50 konglomerasi keuangan itu terdiri dari 229 LJK. Dengan rincian 35 entitas utama dari sektor perbankan, 1 entitas utama dari sektor pasar modal, 13 entitas utama dari sektor IKNB dan 1 LJK khusus.
Muliaman menekankan pentingnya pola pengawasan terintegrasi terhadap industri jasa keuangan. Pasalnya sekarang ini perkembangan globalisasi ekonomi, teknologi informasi, dan inovasi produk serta aktivitas lembaga jasa keuangan sudah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-masing sektor jasa keuangan.
"Dengan pelaksanaan pengawasan terintegrasi ini, diharapkan seluruh konglomerasi keuangan dapat bersinergi, tumbuh dan berkembang dengan tetap mempertahankan asas-asas prudential sehingga dapat mendukung pertumbuhan industri jasa keuangan nasional secara khusus dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara umum," ungkapnya.
Dia menambahkan, selama tiga bulan ke depan, OJK akan mengundang para pimpinan konglomerasi keuangan untuk memastikan kesiapan industri jasa keuangan dalam menerapkan ketentuan OJK tentang manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi. Ini untuk memberikan arah kebijakan ke depan mengenai pengawasan Konglomerasi Keuangan.
"OJK sebagai Regulator memiliki komitmen penuh untuk mengembangkan pengawasan terintegrasi terhadap Konglomerasi Keuangan sesuai roadmap yang telah disusun," terangnya.
Sebelumnya, OJK menyatakan siap mencoba sistem pengawasan terintegrasi untuk Lembaga Jasa Keuangan kategori konglomerasi. Perusahaan memiliki banyak anak usaha, wajib berhati-hati menjaga risiko, serta mempertahankan kecukupan modal seandainya muncul situasi krisis.
Implementasi kewenangan baru OJK ini sebagai awalan berlaku buat bank BUKU (Bank Umum Kategori Usaha) IV, misalnya Grup Bank Mandiri, Grup BRI, atau Grup BCA.
Kepala Departemen Pengembangan, Pengawasan, dan Manajemen Krisis OJK Boedi Armanto menyasar bank-bank besar lebih dulu, karena anak usahanya relatif sudah terpetakan. Dia optimis kerangka kerja, prosedur, pedoman, dan infrastruktur pengawasan konglomerasi terintegrasi, rampung akhir tahun ini.
"Kita harap implementasi Juni 2015, terutama pada konglomerasi bank-bank BUKU IV. Dan akhir 2015, seluruh konglomerasi keuangan sudah melaksanakan," ujarnya di Kantor Pusat OJK, Jakarta.
Dari pemetaan sementara OJK, ada 31 konglomerasi jasa keuangan di Tanah Air. Perusahaan-perusahaan ini menguasai 70 persen aset industri keuangan Indonesia, dengan nilai setara Rp 5.300 triliun. Bank besar dikenal publik rata-rata masuk daftar itu.
Selain tiga bank yang disebut sebelumnya, ada Grup Mega, Danamon, Recapital, atau MNC Group (Bank Bumiputera). Perusahaan keuangan asing juga masuk dalam radar konglomerasi versi OJK, di antaranya raksasa perbankan Singapura seperti OCBC dan UOB, Sumitomo (Jepang), atau JP Morgan (Amerika Serikat).
Hasil pemetaan OJK menunjukkan perusahaan yang beranak-pinak di Indonesia memang kebanyakan bank. Awalnya menghimpun dana masyarakat, mereka menelurkan bisnis lain mulai dari asuransi, lembaga pembiayaan, sampai bisnis-bisnis tak ada kaitannya dengan jasa keuangan. Boedi menyebut, konglomerasi non-bank ternama seperti Bakrie Group atau Astra Group juga dipantau tapi masih menyusul belakangan.
"Pengawasan memang terutama masih yang bank. In-progress, walaupun sebenarnya kita sudah ada datanya, kita coba lebih dalam melihat konglomerasi keuangan non-bank," ungkapnya.
OJK bakal menetapkan risiko dari seluruh usaha yang dijalankan konglomerasi, mencakup kredit, hukum, kepatuhan, maupun likuiditas. Salah satu paling khas, adalah pemantauan OJK dalam hal risiko transaksi intra grup dan asuransi. Nantinya lembaga superbody ini akan punya ranking, mana konglomerasi sehat, dan mana yang punya peluang terjebak krisis.
"Kalau risikonya besar, tapi kontrolnya bagus, maka nett risk-nya bagus. Earning dan capital semuanya kita rating, dan pada akhirnya ada integrated risk rating. Kalau ratingnya bagus, berarti risikonya kecil," ungkap Boedi.