Benarkah Maskapai Penerbangan Murah Tak Aman?
Banyak masyarakat yang mempersepsikan bahwa maskapai berkategori LCC memiliki safety yang patut dipertanyakan. LCC selalu dikonotasikan sebagai maskapai ‘murahan’ sehingga akan membahayakan keselamatan penumpang.
Penerbangan dengan biaya murah atau dikenal dengan sebutan Low Cost Carrier (LCC) banyak menimbulkan kekhawatiran dibenak masyarakat. Kekhawatiran ini berhubungan dengan keselamatan dari pesawat yang nanti akan ditumpanginya.
Bukan tanpa sebab, masyarakat mempertanyakan keselamatan maskapai berkategori LCC. Menengok kejadian pada tahun sebelumnya, pesawat Airbus A320 dengan nomor penerbangan QZ 8501 milik Air Asia yang jatuh pada 2014 silam. Hal yang sama juga menimpa maskapai milik Lion Air Boeing 737 Max dengan nomor penerbangan JT 610 yang jatuh pada Oktober 2018 silam.
-
Kapan AirAsia QZ8501 jatuh? Pada 28 Desember 2014, pesawat AirAsia QZ8501 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Singapura.
-
Siapa Aero Aswar? Aero Aswar bukanlah individu biasa; ia merupakan seorang atlet jet ski yang telah meraih banyak prestasi.
-
Kenapa AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata? AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata pada 28 Desember 2014 karena penyebab utamanya adalah kesalahan dalam manajemen penerbangan.
-
Siapa saja maskapai di Indonesia yang mengoperasikan Airbus A320? Di Indonesia, maskapai yang mengoperasikan keluarga A320 antara lain Indonesia AirAsia, Citilink, Pelita Air, TransNusa, dan Lion Group (oleh Batik Air dan Super Air Jet)).
-
Apa yang diresmikan oleh Etihad Airways di Bali? Pendaratan ini menandai peluncuran layanan reguler antara Abu Dhabi dengan Bali.
-
Apa yang terjadi pada penerbangan Batik Air rute Makassar ke Jakarta yang membuat penumpang panik? Dalam video tersebut terlihat pesawat dalam kondisi gelap dan disebutkan sistem air conditioner (AC) juga mati.
Tragedi pesawat jatuh ini tentu menimbulkan rasa trauma pada masyarakat. Terlebih, tragedi ini sama-sama menimpa pesawat berkategori LCC. Namun, bagaimana sebenarnya konsep dari pesawat berkategori Low Cost Carrier?
Banyak masyarakat yang mempersepsikan bahwa maskapai berkategori LCC memiliki safety yang patut dipertanyakan. LCC selalu dikonotasikan sebagai maskapai ‘murahan’ sehingga akan membahayakan keselamatan penumpang.
CEO Air Asia, Dendy Kurniawan menegaskan bahwa selama ini masyarakat memiliki konsep yang salah akan maskapai berkategori LCC, seperti AirAsia dan lainnya. Dalam semua maskapai apapun, keselamatan selalu menjadi poin utama. Yang membedakan maskapai LCC dengan maskapai full service adalah pelayanan yang diberikan terhadap penumpang.
"Bahwa yang namanya LCC ini no-frills (tidak ada tambahan). Bedanya no-frills dengan full service adalah pelayanannya pasti. Begitu kita masuk ke maskapai yang full service, kita pasti langsung ditawari berbagai macam, seperti koran, handuk, permen, minumnya mau apa. Kalau yang no-frills, tiket yang dibeli itu, yang tertera dalam base fare-nya hanya biaya untuk mengangkut kita dari poin A ke poin B," ucap Dendy Kurniawan saat ditemui Merdeka.com, Senin (9/9).
Ketika penumpang maskapai LCC membeli tiket, biasanya penumpang tidak akan mendapatkan makan, minum, bagasi (untuk penerbangan rute internasional), dan lainnya. Fokus utama maskapai LCC adalah menjual tiket dengan harga rendah dan mengantar penumpang ke tempat tujuannya. Ketika penumpang ingin menambah pelayanan lainnya, tentu mereka akan dikenakan biaya tambahan.
Hal ini berbeda ketika penumpang membeli tiket pesawat full service. Sebab, harga tiket yang dibeli sudah termasuk dalam pelayanan yang diberikan oleh maskapai tersebut. Melihat dari cost structure setiap maskapai, baik yang LCC dan full service, komponen paling besar terdapat pada fuel atau bahan bakar sebesar 40 persen.
"Fuel ini hampir 40 persen. Tidak ada pengecualian untuk maskapai besar. Artinya, biaya fuel ini dibagi rata sama semuanya, baik full service, LCC, perusahaan carter. Mereka bayarnya sama."
Komponen kedua yang paling besar adalah sewa pesawat dan maintenance pesawat. Dirinya mengungkapkan jika kebanyakan maskapai menyewa pesawat. Hal ini dilakukan untuk mencegah kerugian di saat pesawat terus menghadirkan teknologi baru.
"Kebanyakan maskapai ini sewa. Jarang yang beli. Kenapa? Bukannya tidak punya uang. Beli bisa nyicil juga kok. Jadi, kalau kita beli dan dalam lima tahun ke depan ada teknologi yang baru. Kalau kita beli terus grounded begini, mau dijual ke mana? Tidak ada yang mau beli," ungkapnya.
Operating lease dinilai sebagai keputusan yang tepat bagi semua maskapai. Di saat nanti ada teknologi yang baru keluar, mereka bisa menukar dengan yang baru dan mengembalikan pesawat yang lama.
Untuk keselamatan pun, mereka tidak sembarangan dalam merekrut tenaga kerjanya. Menurutnya, pilot dan kru kabin memiliki tipe rating yang spesifik ke pesawat tertentu. Jadi, untuk bisa mengemudikan sebuah pesawat, mereka akan mengikuti simulator minimal enam bulan.
"Misalnya tipe pesawat kita Airbus A320. Jadi, pilot dan kru kabin hanya bisa menerbangkan pesawat A320. Meski mereka bisa menerbangkan pesawat apapun, tapi kalau terbang komersial, mereka harus mengikuti simulator dulu," ucapnya.
Hal ini juga berlaku kepada kru kabin. Pasalnya, ini menyangkut masalah keselamatan sehingga kru kabin pun dituntut untuk bisa bekerja secara cepat dalam mengambil keputusan bila sesuatu terjadi. Begitu juga dengan sisi teknisi. Mereka harus memiliki sertifikasi yang spesifik.
Reporter: Rhandana Kamilia
Baca juga:
Benarkah Maskapai Penerbangan Murah Tak Aman?
Wawancara CEO AirAsia Indonesia: Resep Rahasia Tiket Murah
Genjot Devisa Pariwisata, AirAsia Lebarkan Sayap ke Timur Indonesia
Maskapai-Maskapai Penerbangan yang Hampir Bangkrut Lalu Sukses Bangkit Lagi
Dari Rugi Rp203 Miliar, Air Asia Kini Untung Rp11 Miliar
4 Rahasia Sukses Tony Fernandes Bangun Bisnis Raksasa seperti AirAsia
Pernah Luntang-Lantung Tak Punya Pekerjaan, Kini Tony Fernandes Punya 20.000 Karyawan