CT: 32 orang penolak PLTU Batang tak mau investasi Rp 40 T masuk
Pemerintah memberikan tenggat waktu hingga 2015 sebelum membawa masalah ini ke pengadilan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung membantah kalau persoalan pembebasan lahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah mentok. Dia percaya, warga yang menolak dipindah masih bisa dibujuk, asal menggunakan akal sehat.
CT, panggilan akrab menko, kecewa mengetahui tinggal 32 kepala keluarga yang menolak dipindah dari calon lokasi PLTU. Mereka ngotot meminta ganti rugi RP 300.000 per meter, sedangkan pemerintah dan rekanan swasta berkukuh hanya mau menawarkan Rp 100.000 per meter.
"Itu terserah Batang-nya, pemda Batang, masyarakat Batang. Kalau mereka mau ada investasi Rp 40 triliun masuk yang bisa membangkitkan ekonomi di Batang, segera beresin," ujarnya di Jakarta, Kamis (7/8).
Menko mengingatkan bahwa PLTU Batang berdaya 2 X 1.000 Mega Watt ini bukan untuk kepentingan segelintir pihak, melainkan pemenuhan kebutuhan listrik warga di Pulau Jawa. Kalau pembangkit berbahan batu bara dengan emisi rendah ini gagal dibangun, maka Jawa mengalami krisis listrik pada 2017.
"Masa 32 orang itu mengganggu pembangunan proyek Rp 40 triliun," kata CT.
Pemerintah pusat saat ini memilih bersabar dengan kengototan warga. Ketika sudah masuk 2015, jurus terakhir akan dipakai, yakni mekanisme pembebasan lahan dengan UU nomor 2 tahun 2013. Warga tidak bisa lagi mengelak, dan harus ke pengadilan buat merampungkan jual-beli tanah dengan PT Bhimasena Power Indonesia selaku kontraktor pembebasan lahan.
Atas dasar itu, CT tidak terlalu khawatir Japan Bank for International Cooperation (JBIC) merasa dirugikan, lalu mundur sebagai promotor PLTU Batang. "Kita melihat pembebasan tanah secara normal tidak memungkinkan, oleh karenanya kita menggunakan UU nomor 2 dalam pembebasan tanah Batang," kata CT.