Diversifikasi Energi Jadi Solusi untuk Tekan Impor LPG
Direktur Eksekutif ReForminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, pengurangan impor LPG harus menjadi prioritas. Selain konsumsinya terus membesar, produksi LPG di dalam negeri juga cenderung rendah.
Upaya pemerintah untuk memangkas ketergantungan kepada energi impor dinilai sebagai langkah yang tepat, antara lain dengan mengalihkan penggunaan Liquefied Petroleum Gas (LPG) ke energi yang bersumber dari dalam negeri sendiri.
Direktur Eksekutif ReForminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, pengurangan impor LPG harus menjadi prioritas. Selain konsumsinya terus membesar, produksi LPG di dalam negeri juga cenderung rendah.
-
Kenapa Pertamina melakukan pengujian ulang terhadap tabung gas elpiji? Setiap tabung elpiji akan diuji ulang setiap lima tahun, untuk memastikan seluruh tabung yang telah digunakan konsumen, tetap memenuhi standar keamanan yang telah ditentukan.
-
Dimana lokasi semburan gas tersebut? Beredar di media sosial semburan gas bercampur air di lahan belakang bangunan kontrakan, Kampung Leuwi Kotok, Desa Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/10).
-
Bagaimana Pertamina memastikan keamanan tabung gas elpiji yang beredar di pasaran? Setiap tabung elpiji akan diuji ulang setiap lima tahun, untuk memastikan seluruh tabung yang telah digunakan konsumen, tetap memenuhi standar keamanan yang telah ditentukan.
-
Apa yang ditunjukkan oleh kode yang tercantum pada tabung gas elpiji? Kode yang tercantum pada tabung elpiji menunjukkan tahun dimana tabung elpiji harus dites ulang.
-
Kapan semburan gas itu terjadi? Disampaikan jika kejadian tersebut berlangsung pada Rabu (11/10) sore hari setelah aktivitas kegiatan penggalian dihentikan.
-
Apa peran gas bumi di era transisi energi? Sektor hilir migas memiliki peranan penting di era transisi ekonomi, salah satunya yang terkait dengan pengoptimalan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik.
"Tren yang ada menunjukkan konsumsi dan impor LPG terus meningkat setiap tahun. Jika tidak berani melakukan perubahan, impornya akan semakin besar dan ini akan jadi beban pemerintah karena disubsidi," ujar Komaidi dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis (8/4).
Berdasarkan proyeksi Kementerian Energi dan SUmber Daya Mineral (ESDM), impor LPG sampai 2024 akan mencapai 11,98 juta ton. Sementara produksi LPG hanya sebanyak 1,97 juta ton per tahun.
Kapasitas produksi kilang LPG di dalam negeri ditargetkan sekitar 3,98 juta ton pada 2024. Akibat arus impor LPG yang kian membesar, khusus di 2021 saja pemerintah terpaksa mengalokasikan subsidi hingga senilai Rp37,85 triliun.
Menurut Komaidi, besarnya angka subsidi LPG tersebut sejatinya bisa digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur gas bumi. Selain sumber gas bumi masih sangat besar, selama ini penggunaan gas bumi terbukti lebih efisien dan aman.
Kuncinya, pemerintah serius dan konsisten untuk mendorong pembangunan infrastruktur. Dia menyayangkan beberapa program pembangunan jaringan gas (Jargas) untuk rumah tangga hingga kini hasilnya tidak optimal.
"Perlu ada konsistensi dan komitmen riil bahwa program yang baik seperti pembangunan jargas 4 juta rumah tangga bisa diwujudkan. Energi ini adalah kebutuhan yang terus menerus, karena itu perlu kebijakan yang komprehensif, jangan parsial apalagi coba-coba," tegasnya.
Di tengah beban berat subsidi LPG, sejumlah rencana memang mulai dimunculkan. Salah satunya adalah rencana program 1 juta kompor listrik yang digagas oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Program ini merupakan upaya untuk memaksimalkan cadangan listrik PLN yang mengalami kelebihan pasokan.
Komaidi menilai, program 1 juta kompor cukup baik dengan adanya upaya diversifikasi energi. Namun dia melihat pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan program sebelumnya yang juga menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi impor LPG.
"Harusnya program Jargas bisa lebih jadi prioritas. Apalagi pembangunan infrastruktur seperti jaringan pipa ini juga akan menciptakan multiplier ekonomi untuk memulihkan ekonomi akibat pandemi," tegasnya.
Kementerian ESDM sejatinya sudah memulai program jargas sejak 2009. Sesuai RPJMN yang telah ditetapkan sampai 2024 ditargetkan mampu dibangun jargas hingga 4 juta sambungan rumah tangga (SR). Meski program ini sudah berjalan lebih dari 12 tahun sampai saat ini yang terbangun 535.555 SR.
Rendahnya realisasi pembangunan jargas SR ini berdampak pada gas bumi yang sumbernya sangat besar di dalam negeri lebih banyak diekspor. Sementara untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri pemerintah lebih banyak mengandalkan LPG yang harus diimpor dan memberikan subsidi yang angkanya mencapai puluhan triliun tiap tahunnya.
"Sebenarnya semua tahu bahwa gas bumi lebih efisien. Hanya saja dibutuhkan keberanian pemerintah untuk mengambil langkah besar untuk mengoptimalkan sumber energi dalam negeri dan bukan justru mengandalkan impor yang merugikan," tegas Komaidi.
Dari segi efisiensi, Komaidi menyampaikan bahwa lokasi wilayah sangat menentukan. Artinya, untuk wilayah yang sudah memiliki infrastruktur dan pasokan gas maka Jargas relatif lebih murah. Namun, untuk wilayah yang tidak memiliki potensi gas, maka kompor listrik lebih fleksibel mengingat distribusi listrik bisa lebih menjangkau daerah yang lebih sulit sekalipun.
"Saran saya untuk wilayah yang memang memiliki sumber gas atau masih terjangkau untuk dapat dipenuhi pasokan gasnya lebih baik jargas dioptimalkan terlebih dahulu," katanya.
Optimalkan Jargas
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, penggunaan LPG harus digantikan karena mayoritas masih impor. Salah satu opsinya adalah dengan menggenjot Jaringan Gas (Jargas).
Dia mengakui, pembangunan infrastruktur Jargas biayanya cukup besar sementara APBN terbatas. Terutama untuk membangun pipa yang menghubungkan sumber gas ke rumah-rumah.
Meski demikian, pembangunan tersebut tetap perlu dilakukan sebagai investasi di masa depan. Untuk itu pemerintah harus serius dan konsisten dalam mendorong pembangunan infrastruktur. Selain sumber gas bumi masih sangat besar, selama ini penggunaan gas bumi terbukti lebih efisien dan aman.
"Biaya investasi mahal tapi cost per unit per rumah tangga justru lebih murah, bahkan dibandingkan kompor gas elpiji 3 kilogram sekalipun. Uji coba di beberapa daerah di Jawa Timur sudah diketahui bahwa cost per unit lebih murah, tapi memang biaya investasinya mahal," kata Fahmy.
"Bisa saja LPG tetap dijual di pasar tapi tanpa harga subsidi. Kalau itu bisa dilakukan, penghematan tersebut bisa untuk bangun infrastruktur Jargas," tutupnya.