Indonesia Terancam Jadi Negara Pengimpor Net Migas Jika Tak Lakukan Ini
Jika pengembangan lapangan migas terus tertunda, maka diperkirakan di tahun 2042, Indonesia akan menjadi negara pengimpor net migas.
Saat ini, produksi gas alam nasional masih mampu memenuhi kebutuhan domestik, bahkan bisa diekspor ke negara lain.
Indonesia Terancam Jadi Negara Pengimpor Net Migas Jika Tak Lakukan Ini
Indonesia Terancam Jadi Negara Pengimpor Net Migas Jika Tak Lakukan Ini
Indonesia saat ini dinilai perlu mempercepat pengembangan lapangan minyak dan gas bumi (migas) untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia, sesuai Visi Indonesia 2045.
- Masa Depan Migas di Tengah Perubahan Iklim dan Transisi Energi
- Berada di Indonesia, Ini Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Terbesar di ASEAN
- Akhirnya, Indonesia Kantongi Rp16,2 Triliun dari Amerika Serikat untuk Proyek Transisi Energi
- Ternyata Tak Mudah Bangun Pembangkit Nuklir di Indonesia, Ini Dia Sejumlah Hambatannya
Saat ini, produksi gas alam nasional masih mampu memenuhi kebutuhan domestik, bahkan bisa diekspor ke negara lain.
Namun berdasarkan hasil riset dan analisis Rystad Energy, produksi gas alam dari lapangan-lapangan yang ada sekarang diperkirakan hanya berkontribusi sebesar 35 persen dari total produksi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam 20 tahun ke depan.
Sementara, 65 persen sisanya berasal dari produksi lapangan-lapangan gas baru.
'Data ini menunjukkan peran penting kegiatan eksplorasi secara masif dan pengembangan lapangan migas baru untuk menunda beban impor,' kata Country Head Indonesia Rystad Energy, Sofwan Hadi.
Sejauh ini, beberapa lapangan gas baru sedang dalam proses pengembangan, antara lain Lapangan Andaman di lepas pantai Aceh, Lapangan Mako di kawasan Natuna, IDD Fase 2 (Gendalo dan Gendang) di Kalimantan Timur, Asap Kido Merah di Papua dan Lapangan Abadi, Masela di Maluku.
Produksi gas dari lapangan-lapangan yang baru dikembangkan tersebut diproyeksikan akan memberikan kontribusi sekitar 60 persen bagi produksi gas nasional di 2030, dan naik menjadi 80 persen di 2035.
Namun tanpa dibarengi penemuan cadangan baru dan pengembangan lapangan, lonjakan produksi gas nasional dikhawatirkan hanya terjadi sesaat, sebelum kemudian mengalami penurunan menjelang 2040.
Padahal, volume konsumsi gas diperkirakan naik 298 persen pada tahun 2050 seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Terlebih dalam era transisi energi menuju net zero emission di 2060, peranan gas akan semakin kuat, oleh karena itu pengembangan lapangan gas harus segera di lakukan.
“Perusahaan eksplorasi dan produksi migas memegang peranan penting dalam proses pengembangan lapangan melalui percepatan FID (Final Investment Decision) mengingat mayoritas proyek yang ada masih berada pada fase penemuan cadangan (pre-FID),” kata Sofwan.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), gas alam mendominasi hasil kegiatan eksplorasi di Indonesia dalam satu dekade terakhir.
Dari sisi salur gas, alokasi gas untuk domestik juga terus mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Bahkan sejak 2012, porsi salur gas bagi sektor domestik lebih besar dibanding alokasi untuk ekspor. Hingga Juni 2023, produksi gas nasional yang dialokasikan untuk domestik di tahun ini mencapai 3.636,82 BBTUD.
Sementara porsi gas yang diekspor mencapai 1.960,71 BBTUD.
'Pemerintah berkomitmen untuk terus memenuhi kebutuhan dalam negeri, di mana salur gas untuk domestik saat ini sudah mencapai 65 persen,' kata Nanang.
Tahun ini, ICIOG mengusung tema 'Advancing Energy Security Through Sustainable Oil and Gas Exploration and Development'.