Lahan warga di lokasi turbin, runyamkan nasib PLTU Batang
Proyek yang rencananya dimulai sejak 2010 itu hingga saat ini masih terganjal penolakan pembebasan lahan oleh warga.
Kebutuhan pembebasan lahan untuk memuluskan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, tinggal 29 hektare. Akan tetapi, rata-rata itu justru tanah warga yang berada di calon lokasi fasilitas kunci, semisal turbin atau generator.
Hal itu diungkapkan Direktur Bisnis dan Manajemen Resiko (BMR) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Murtaqi Syamsuddin selepas rapat di Kemenko Perekonomian, akarta, Jumat (25/4). Proyek dengan skema Kerja Sama Publik-Swasta (KPS) itu molor sejak pertama kali dicanangkan pada 2010.
"Kalau tidak bisa dibebaskan, tidak bisa dibangun walaupun ini tinggal sekitar 10 persen dari total kebutuhan lahan. Karena tanah itu lokasinya di tempat boiler, di turbin. Tidak bisa dicicil (pembebasan lahannya), karena itu lokasi utamanya," ungkapnya.
Selepas rapat dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, investor diarahkan untuk mencari pendekatan sosial menghadapi penolakan warga menyerahkan tanahnya. Murtaqi menilai, PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) selaku pelaksana pembangunan PLTU terlalu mengedepankan cara akuisisi lahan dengan hitungan bisnis.
"Ya ini lebih pada masalah sosial, karena pembebasan oleh BPI kan pendekatannya secara business to business," ujarnya.
PT BPI menawarkan harga ganti rugi pembebasan tanah sebesar Rp 100.000 per meter. Akan tetapi, warga di Desa Ujungnegoro dan Karanggeneng, Kecamatan Kandeman, Batang, menolak harga yang ditawarkan dan sempat meminta ganti rugi naik hingga Rp 400.000 per meter.
Dari total luas tanah yang dibutuhkan seluas 226 hektar, saat ini BPI telah merealisasikan 197,46 hektar.
Ditemui terpisah, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menilai pengembang dan investor PLTU Batang sudah memahami tidak bisa terlalu kaku menghadapi masyarakat. Beberapa strategi sudah disiapkan, agar lahan terbebaskan semua Oktober mendatang.
"Kita minta pengembang agar semua masalah itu diselesaikan. Kita optimis dengan pelbagai pendekatan menyelesaikan itu," kata Hatta.
PLTU bertenaga 2 x 1.000 Megawatt ini adalah pembangkit bertenaga batu bara terbesar dan tercanggih di Indonesia. Diwacanakan hendak mulai peletakan batu pertama pada 2010, nyatanya megaproyek ini molor empat tahun. Bahkan target operasional yang dipatok 2017, juga ikut terlambat setahun.
Fasilitas ini memasok 30 persen untuk Pulau Jawa. Jika terlambat dibangun pada 2017 akan terjadi defisit listrik di pulau utama Indonesia itu. Proyek PLTU terbesar di Indonesia ini senilai USD 4 miliar atau Rp 40 triliun, dengan dana kucuran Rp 40 triliun yang sebagian besar didanai dengan utang dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC).