Membongkar Dampak Kenaikan Tarif Cukai Rokok 2021, Termasuk Anjloknya Produksi
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, meskipun secara umum total kenaikannya 12,5 persen namun masing-masing kelompok atau golongan kenaikannya berbeda-beda.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dengan rata-rata 12,5 persen. Tarif terbaru ini akan berlaku mulai Februari 2021.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, meskipun secara umum total kenaikannya 12,5 persen namun masing-masing kelompok atau golongan kenaikannya berbeda-beda.
-
Bagaimana dampak cukai rokok terhadap industri hasil tembakau? "Kita dibatasi produksinya, tapi di lain pihak rokok ilegalnya meningkat. Kalau rokok ilegal menurut informasi dari kawan-kawan Kementerian Keuangan, itu hampir 7 persen. Kalau itu ditambahkan kepada produksi yang ada, pasti akan tidak turun," tuturnya.
-
Bagaimana Mendag memastikan pasokan tembakau dan cengkih untuk industri rokok? Mendag menambahkan, Kemendag akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait agar pasokan tembakau dan cengkih dapat memenuhi kebutuhan industri rokok dengan mengutamakan hasil petani dalam negeri.
-
Bagaimana pabrik cokelat kuno itu diubah? Pada awal abad ke-18, bangunan itu dibagi menjadi tiga bagian. Lalu sekitar 100 tahun kemudian, rumah itu diubah menjadi pabrik cokelat yang disebut Guardia (Clemente). Chocolates and pastillaje".
-
Apa yang ditemukan di pabrik cokelat kuno itu? Di dalam bangunan tersebut, arkeolog menemukan beberapa pelat timah berukir. Pelat ini digunakan untuk membuat label pada cokelat, menyebutkan coklat tersebut berasal dari pabrik Clemente Guardia. Arkeolog juga menemukan tujuh bejana keramik besar.
-
Apa daya tarik utama Curug Cipondok? Curug Cipondok di Kabupaten Subang sepertinya wajib masuk list wisata untuk akhir pekan. Bagaimana tidak, lokasi tersebut menawarkan wisata air terjun alami dengan daya tarik airnya yang berwarna biru.
-
Bagaimana rokok merusak paru-paru? Akumulasi zat-zat berbahaya dari asap rokok dalam jangka panjang menyebabkan iritasi dan peradangan kronis pada paru-paru, mengurangi kemampuan organ ini untuk bekerja dengan optimal.
Misalnya untuk produk Srigaret Keretek Mesin (SKM) 2B dan Sigaret Putih Mesin (SPM) 2B kenaikan tarif nya lebih tinggi daripada SKM 2 A dan SPM 2A. Hal itu ditujukan untuk mempersempit gap tarif atau sebagai sinyal simplifikasi.
Sementara untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) ditetapkan tarif cukainya tidak mengalami kenaikan, hal itu mempertimbangkan sektor padat karya yang masih terpuruk akibat pandemi Covid-19.
"Jadi harga banderolnya ini akan mengalami penyesuaian sesuai dengan kenaikan tarif dari masing-masing kelompok yang memang berbeda-beda meskipun secara umum total kenaikannya 12,5 persen," jelas dia dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (27/1).
Memang ada perbedaan pengenaan tarif cukai untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM), yang utamanya terletak pada kandungan lokal.
"SPM jumlah tembakaunya, baik ukuran dan berat lebih banyak menggunakan impor," kata Kepala Sub Bidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Sarno dalam webinar Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat di Jakarta, Selasa (2/2).
Menurut dia, dengan kandungan tembakau impor yang lebih banyak di SPM itu, maka tarif cukainya juga ditinggikan. SPM secara konten lokal lebih rendah karena golongan tersebut adalah rokok putih dan tidak menggunakan cengkih.
Sedangkan SKM merupakan rokok kretek yang menggunakan cengkih, menggunakan produk tembakau lokal yang lebih banyak porsinya.
Namun, besaran kenaikan tarif cukai berbeda berdasarkan golongan yakni untuk SKM I mencapai 16,9 persen atau Rp125 menjadi Rp865 per batang, SKM II-A naik 13,8 persen sebesar Rp65 menjadi Rp535 per batang dan SKM II-B naik 15,4 persen menjadi Rp525 per batang.
Untuk SPM I naik 18,4 persen sebesar Rp145 menjadi Rp935 per batang, SPM II-A naik 16,5 persen menjadi Rp565 per batang dan SPM II-B naik 18,1 persen sebesar Rp70 menjadi Rp555 per batang.
Sedangkan untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan mempertimbangkan sektor padat karya dan masa pemulihan perekonomian akibat pandemi Covid-19 sekaligus melindungi tenaga kerja.
Pemerintah tidak melakukan simplifikasi layer tarif pada 2021 yang ditujukan agar pabrikan tidak mendapat pukulan ganda dari kenaikan tarif dan dampak simplifikasi.
Namun demikian sinyal simplifikasi tetap ada dengan penyempitan gap tarif SKM-IIA dan II-B serta SPM II-A dan II-B.
Namun demikian, kenaikan cukai rokok tetap memberi dampak. Berikut dampak kenaikan tarif cukai rokok 2021:
Produksi Turun
Kementerian Keuangan memperkirakan produksi rokok akan turun hingga 3,3 persen tahun ini. Sebab, pemerintah telah menaikkan tarif cukai hasil tembakau rata-rata tertimbang sebesar 12,5 persen pada 1 Februari 2021.
"Kami sudah melakukan simulasi produksi rokok 2021 ini turun 2,2 hingga 3,3 persen," kata Kepala Sub Bidang Cukai BKF Kementerian Keuangan, Sarno dalam diskusi daring, Jakarta, Selasa (2/2).
Sarno menjelaskan, total produksi untuk keseluruhan golongan yakni Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) pada 2020 mencapai 298,4 miliar batang.
Volume produksi rokok tahun ini diperkirakan mencapai sekitar 288 miliar batang. Jika dibandingkan 2020, dengan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 23 persen, jumlah produksi rokok menurun hingga 11 persen.
Dengan kenaikan rata-rata 12,5 persen tarif cukai rokok, juga diperkirakan indeks keterjangkauan atau affordability index naik dari 12,2 persen menjadi 13,7-14 persen. Berdasarkan jenis golongan, kenaikan tarif cukai hanya terjadi untuk SKM dan SPM, sedangkan SKT tidak diberlakukan.
"Itu menunjukkan bahwa dengan kenaikan tarif cukai 2021, mengindikasikan harga rokok akan semakin tidak terjangkau di masyarakat," jelas Sarno.
Tambah Pendapatan Bea Cukai
Kepala Subbidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Sarno mengatakan, penerimaan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam menaikkan cukai. Adapun target cukai tahun ini adalah Rp173 triliun.
"Kebijakan cukai harus mampu mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Di mana target penerimaan cukai 2021 sebesar Rp173,78 triliun," ujarnya dalam diskusi daring, Jakarta, Selasa (2/2).
Sarno menjelaskan, di tahun ini kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata dikenakan sebesar 12,5 persen. Kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan tahun sebelumnya sebesar 23 persen.
Untuk jenis SKT, ditetapkan tarif cukainya tidak mengalami kenaikan. Adapun pertimbangannya dengan melihat keberadaan sektor padat karya dan mengingat masih dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi Virus Corona.
Sementara itu, untuk produk SKM II B dan SPB II B kenaikan diberlakukan lebih tinggi dari pada SKM II A dan SPB II A. Kebijakan tersebut dilakukan untuk mempersempit gap tarif sebagai sinyal simplikasi.
Jumlah Perokok Turun
Kepala Subbidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Sarno mengatakan, kenaikan cukai tembakau mampu mengendalikan jumlah pengguna. Pemerintah menargetkan perokok bisa turun 8,7 persen di 2024.
"Pertama, pengendalian konsumsi. Bagaimana menurunkan prevelensi merokok usia 10 hingga 18 tahun yang ditargetkan 2024 turun 8,7 persen," kata Sarno dalam diskusi daring, Jakarta, Senin (2/2)
Sarno melanjutkan, kenaikan cukai rokok yang dimulai awal tahun ini bakal berdampak terhadap target di 2024. "Ini menjadi simulasi bagaimana dengan kenaikan yang kita rancang 2021 sampai 2024 ini akan mampu menurunkan prevelensi merokok," katanya.
Produksi SKT Diprediksi Meningkat
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menyampaikan bahwa terdapat peluang kenaikan produksi industri kecil menengah (IKM) segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) hingga 10 persen di tengah naiknya cukai rokok yang mulai berlaku sejak 1 Februari 2020.
"Kebijakan cukai hasil tembakau pada 2020 dan 2021, serta kondisi pasar yang belum stabil memberi ruang bagi IKM dan segmen SKT berkembang melalui pengenaan beban fiskal yang relatif lebih rendah," kata Rochim dihubungi Antara, Selasa(2/2).
Menurut data Kemenperin, produksi SKT mengalami peningkatan 17,6 persen pada 2020 menjadi 55,96 miliar batang dibandingkan produksi tahun sebelumnya yakni 47,57 miliar batang.
SKT menjadi satu-satunya jenis rokok non-pabrikan yang mengalami peningkatan pada 2020, di mana produksi rokok jenis lainnya yakni Sigaret Kretek Mesin (SKM) mengalami penurunan produksi sebesar 15 persen menjadi 162,51 miliar batang pada 2020 dari 191,13 miliar batang pada 2019.
Kemudian, untuk produksi jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) mengalami penurunan hingga 28,3 persen hingga akhir 2020 menjadi 8,20 miliar batang dari 11,5 miliar batang di tahun sebelumnya.
Kendati demikian, Rochim memaparkan bahwa kenaikan cukai yang diberlakukan saat situasi pandemi Covid-19 akan membuat kinerja Industri Hasil Tembakau (IHT) ikut terpengaruh.
"Asosiasi memperkirakan, volume produksi akan kembali turun di kisaran 5 persen hingga 10 persen. Ditambah pandemi Covid-19 yang masih membebani yang berdampak pada daya beli konsumen dan meningkatnya rokok ilegal," ujar Rochim.
(mdk/idr)