Optimalkan peran EBT, Pertamina operasikan 3 unit PLTP tahun ini
Dengan tambahan tiga unit pembangkit tersebut, total kapasitas terpasang PLTP yang dimiliki Pertamina mencapai 597 MW.
Anak usaha PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan mengoperasikan tiga unit pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan total kapasitas terpasang 105 megawatt (MW) sepanjang tahun ini untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Ketiga unit pembangkit tersebut adalah PLTP Ulubelu unit tiga Lampung berkapasitas 55 MW, PLTP Lahendong unit 5 Sulawesi Utara berkapasitas 20 MW dan PLTP Karaha Bodas Jawa Barat berkapasitas 30 MW.
Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro, mengatakan hingga akhir Februari 2016, dari tiga unit pembangkit yang disiapkan perusahaan, unit 3 PLTP Ulubelu sudah mencapai 87,68 persen. Sementara dua unit pembangkit lain, yaitu unit 5 Lahendong 38,5 persen dan unit 1 Karaha Bodas mencapai 26,59 persen. Kegiatan pengeboran sumur produksi tiga pembangkit tersebut dilakukan oleh PT Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI), anak usaha Pertamina dalam jasa pengeboran.
-
Bagaimana Pertamina ingin membangun energi berkelanjutan? Dalam mewujudkan NZE 2060, imbuh Nicke, strategi Pertamina yang paling utama adalah bagaimana kita membangun atau memiliki sustainable energy. Sustainable artinya adalah semua material dan bahan bakunya dimiliki Indonesia, suplainya harus ada dan kemudian kita memiliki kemampuan untuk mengolahnya menjadi energi yang lebih baik.
-
Apa yang sedang dibangun oleh PLN untuk memfasilitasi penggunaan energi terbarukan di Indonesia? PLN sendiri saat ini sedang membangun green enabling supergrid yang dilengkapi dengan smartgrid dan flexible generations. “Karena adanya ketidaksesuaian antara lokasi energi terbarukan yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, serta jauh dari pusat demand yang berada di Jawa, maka kita rancang skenario Green Enabling Supergrid. Sehingga, potensi EBT yang tadinya tidak bisa kita manfaatkan, ke depan menjadi termanfaatkan. Selain itu, tentunya akan mampu membangkitkan kawasan dengan memunculkan episentrum ekonomi baru," jelas Darmawan.
-
Kenapa Pertamina terus mendorong transisi energi? Setelah semua negara berkomitmen terhadap penurunan karbon emisi menuju net zero emission, ada optimisme, ada kegamangan, ada kekhawatiran. Namun ini semua tidak menyurutkan langkah kita untuk terus melaksanakan energi transisi seperti yang disepakati bersama,” ungkap Nicke saat acara Pertamina Energy Forum 2023 di Ballroom Grha Pertamina (18/12).
-
Bagaimana Pertamina mengadopsi transisi energi? Pertamina mencoba mengadopsi transisi energi secara bertahap. Di satu sisi, Pertamina menjaga ketahanan energi melalui penguatan bisnis minyak dan gas. Di sisi lain, juga meningkatkan pengembangan bisnis rendah karbon untuk memenuhi target net zero emission pada 2060.
-
Kenapa Pertamina fokus pada transisi energi? Nicke mengungkap energi adalah katalis pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya disaat yang sama, Indonesia terutama Pertamina perlu mengamankan energi sekaligus mengurangi karbon untuk mendukung target pemerintah mengenai Net Zero Emission pada 2060 mendatang.
-
Mengapa Pertamina penting dalam transisi energi? Sebagai negara yang kaya akan sumber daya panas bumi (geothermal), hal ini penting dalam upaya transisi energi.
"COD (Commercial of Date) untuk unit 3 PLTP Ulubelu pada Agustus 2016, sedangkan unit 5 PLTP Lahendong dan unit 1 PLTP Karaha Boda pada Desember 2016," ujar Wianda di Jakarta, Selasa (1/3).
Dengan tambahan tiga unit pembangkit tersebut, total kapasitas terpasang PLTP yang dimiliki Pertamina mencapai 597 MW yang terdiri atas PLTP Kamojang 235 MW, PLTP Lahendong 100 MW, PLTP Ulubelu 165 MW, PLTP Sibayak 12 MW, dan PLTP Lumut Balai 55 MW.
Sepanjang 2015-2019, Pertamina akan membangun PLTP berkapasitas 907 MW dengan investasi sekitar USD 2,5 miliar. Perseroan telah menempatkan lini bisnis panas bumi sebagai salah satu prioritas proyek strategis sesuai dengan cetak biru (blue print) pengembangan panas bumi hingga 2019. Apalagi, Indonesia memiliki potensi panas bumi hampir 29.000 MW atau 40 persen di dunia, namun yang termanfaatkan baru sekitar 5 persen.
"Di saat investor lain pun tidak banyak tergerak karena berbagai hambatan yang dialami, kami terus berinvestasi di sektor panas bumi," kata dia.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yunus Saefulhak, mengakui bahwa PGE adalah perusahaan satu-satunya yang agresif dalam pengembangan panas bumi di Indonesia. Hal ini terbukti dari komitmen perusahaan dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan pemboran di beberapa wilayah kerjanya seperti Lahendong, Ulubelu, Hululais, Lumut Balai, dan Sungai Penuh.
"Sesuai UU Nomor 21 Tahun 2014, pemerintah saat ini membolehkan untuk menugaskan BUMN melakukan kegiatan pada wilayah kerja tanpa lelang. Ini merupakan terobosan untuk pengembangan panas bumi di Indonesia sehingga Pertamina akan kami berikan izin untuk melakukan kegiatan eksplorasi di beberapa wilayah kerja yang ditugaskan. Lender, investor atau partner dapat langsung bekerja sama dengan BUMN tersebut untuk menngusahakan sampai hilirnya. Pertamina akan berkontribusi lebih besar lagi," kata Yunus.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Abadi Purnomo mengatakan Pertamina telah berkecimpung di bisnis panas bumi lebih dari 30 tahun. Mereka mempunyai kapabilitas sumber daya manusia, finansial, dan penguasaan teknologi dari hulu sampai hilir. Saat ini di Indonesia baru Pertamina yang terbukti konsisten mengembangkan panas bumi.
"Saya berharap PGE bisa berkontribusi setidaknya 2.000 MW dari wilayah kerja panas bumi yang dikuasai. PGE semestinya dapat privilege pada sebagian daerah yang akan ditender," tegas Abadi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Suryadarma, menilai dari segi pengembangan panas bumi, PGE adalah satu-satunya perusahaan nasional yang sangat konsisten dalam pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Pertamina sejak 1974 tak pernah surut dalam keadaan apapun termasuk ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998. Pertamina yang tampil menyelamatkan Indonesia dalam mengambilalih proyek-proyek terkendala dan berupaya mendorong kegiatan panas bumi baik dilaksanakan sendiri oleh Pertamina maupun melalui kerjasama dengan pihak lain melalui kontrak operasi bersama (KOB).
"Ketika keadaan pengembangan panas bumi tidak banyak menarik investor karena harganya yang tidak ekonomis, PGE kemudian sebagai pelaksana kegiatan panas bumi Pertamina juga terus sangat agresif mengembangkan panas bumi. Apalagi ketika panas bumi masuk sebagai bagian dari program peningkatan peran EBT 23 persen pada 2025," jelas dia.
Apabila melihat produktifitas PGE dan kesiapan PGE termasuk dalam menyiapkan SDM dan dukungan finansial dari Pertamina dan beberapa pihak donor international, akan sangat mendukung jika pengembangan panas bumi diserahkan kepada PGE sebagaimana rezim awal pengembangan panas bumi. Akan sangat menguntungkan jika ada investor yang ingin ikut serta bisa dilakukan melalui skema kerja sama. Hal ini lebih mempermudah proses dan pemerintah juga bisa lebih fokus.
"Kontribusi akan lebih besar lagi jika PGE sebagai bagian dari BUMN untuk EBT sebagiannya diberikan penugasan saja oleh pemerintah. Pengalaman dua model skema pengembangan panas bumi di Indonesia ternyata yang masih konsisten berjalan adalah skema yang dilaksanakan PGE di masa lalu dan masih berlaku hingga saat ini," pungkas dia.
(mdk/sau)