Pemerintah Pernah Ngutang ke Rakyat untuk Pembangunan Usai Merdeka
Dewan Pertimbangan pusat bagian ekonomi pada masa Jepang, mengusulkan agar pemerintah menarik dana dari masyarakat.
Masyarakat pernah meminjamkan uang untuk negara meski akhirnya tak pernah dikembalikan.
Pemerintah Pernah Ngutang ke Rakyat untuk Pembangunan Usai Merdeka
Dalam buku berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia karya Oey Beng To, usai Soekarno memproklamirkan Indonesia sebagai negara merdeka, jerat kesulitan dana masih menghinggapi Indonesia.
Ketika pusat pemerintah di Jakarta dianggap tidak lagi cukup kondusif, pemerintah saat itu memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta.
Cadangan emas batangan dan candu, menjadi modal untuk memindahkan pusat pemerintahan Indonesia.
Namun, aset tersebut dinilai tidak cukup untuk "mengamankan" Indonesia dari seragam agresi militer Belanda ataupun Jepang. Hingga akhirnya, Prawoto Soemodilogo, bekas Dewan Pertimbangan pusat bagian ekonomi pada masa Jepang, mengusulkan agar pemerintah menarik dana dari masyarakat. Status dana itu adalah pinjaman negara.
Usulan Prawoto itu cukup menarik bagi pejabat negara saat itu. Hingga kemudian, Menteri Keuangan Soerachman Tjokroadisoerjo membahas gagasan ini dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Hasil pembahasan tersebut menyepakati adanya pinjaman negara dari masyarakat Indonesia dan warga negara asing.
Namun di satu sisi, pemerintah masih ragu dengan gagasan ini. Sebab, pemerintah tidak yakin masyarakat akan mau memberikan pinjaman kepada negara.
Terlebih lagi, saat itu pemerintah menargetkan dana yang bisa terkumpul sebesar Rp1 miliar. Dana itu akan dialokasikan untuk persiapan pendirian bank sirkulasi, uang milik Republik, menutup defisit anggaran modal awal, untuk kredit bank, dan proyek rekonstruksi. Keraguan pemerintah itu nyatanya tidak terjadi. Masyarakat justru merespon positif atas program tersebut.
Pada 29 April tahun 1946, program pinjaman nasional secara resmi dikeluarkan melalui Undang-Undang Nomor nomor 4 tahun 1946. Isi dari undang-undang itu menyatakan bahwa warga memberikan pinjaman ke negara dalam bentuk uang Rupiah dengan bukti surat pengakuan utang atau obligasi, yang hanya dapat dimiliki warga negara. Obligasi itu tidak dapat dipindahtangan kepada orang lain.
Dalam Undang-Undang itu juga tertulis bahwa negara akan mengganti utang dan bunga kepada warga selambat-lambatnya 40 tahun setelah pinjaman nasional itu digulirkan. Hanya dalam waktu 45 hari setelah pengumuman pinjaman nasional, dana yang terkumpul sudah mencapai Rp500 juta.
Namun, masalah muncul saat negara tidak mampu mengembalikan pinjaman masyarakat karena buruknya pencatatan dokumentasi dan pengarsipan. Negara gagal membayar pokok pinjaman dan bunganya ke para kreditur.