Pengusaha muda kecam pelonggaran peredaran miras oleh Jokowi
Pelonggaran peredaran minuman keras beralkohol oleh pemerintah saat ini akan mendatangkan banyak hal negatif.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menilai pelonggaran peredaran minuman keras beralkohol oleh pemerintah saat ini akan mendatangkan banyak hal negatif. Kebijakan pelonggaran ini dinilai juga tidak terlalu berdampak signifikan terhadap perekonomian.
"Lagi-lagi isi Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah bermasalah," ujar Ketua Bidang Organisasi Badan Pengurus Pusat HIPMI, Anggawira, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (27/9).
Menurut Anggawira, jika melihat latar belakang Indonesia yang merupakan negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia, maka tidak etis kalau minuman keras dijadikan alat untuk meningkatkan daya beli dalam perekonomian. Selain itu, banyak sisi negatif yang ditimbulkan ketika konsumsi alkohol naik.
"Alkohol selama ini menjadi penyebab beberapa tindak kriminal karena pengaruhnya yang menurunkan tingkat kesadaran," tuturnya.
Negara dengan mayoritas muslim ini tahun lalu mendapatkan Rp 126,7 triliun dari hasil pajak cukai rokok dan alkohol. Kedua barang ini tergolong unik, karena meski banyak menuai kontroversi di dalamnya namun sampai sekarang nyatanya banyak masyarakat yang tetap gemar mengonsumsinya.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen Dagri) No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A, pemerintah memberikan keleluasaan pada kepala daerah untuk menentukan lokasi mana saja yang diperbolehkan menjual miras.
Awalnya, Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat oleh Rachmat Gobel mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Aturan tersebut melarang penjualan minuman kadar alkohol tinggi di minimarket.