Rumitnya urus izin usaha fintech di Tanah Air
"Peraturan di Bank Indonesia sendiri cukup banyak, tidak hanya tekfin dan regulatory sandbox, tetapi payment gateway, uang elektronik, dompet elektronik, dan transfer dana. Ada lebih dari 30 anggota kami yang sedang mendaftar untuk mendapatkan izin tersebut."
Industri keuangan berbasis digital atau dikenal dengan sebutan fintech (financial technology) kian menjamur di tanah air. Produk layanan keuangan yang ditawarkan pun beragam, mulai dari lending (pinjaman) hingga sistem pembayaran kredit.
Sayangnya, perusahaan-perusahaan fintech tersebut belum semua mengantongi izin dari regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
-
Bagaimana Finnet mendukung transformasi digital di Indonesia? Kami didukung dengan IT Infrastructure yang handal dan memiliki lisensi terlengkap di Perusahaan sejenis. Kami yakin Finnet dapat menjadi One Stop Solution yang tumbuh bersama mitra untuk bersama-sama mendigitalkan sistem pembayaran di Indoensia.
-
Apa saja fungsi utama bank pemerintah di Indonesia? Bank pemerintah memiliki sejumlah fungsi penting dalam mengelola keuangan negara dan menyelenggarakan sistem keuangan. Berikut adalah beberapa fungsi utama bank pemerintah: 1. Manajemen Keuangan Publik Bank pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola keuangan publik, termasuk penerimaan dan pengeluaran negara. Mereka memproses transaksi keuangan pemerintah, mengelola anggaran, dan memastikan keseimbangan keuangan yang sehat. 2. Penyediaan Layanan Perbankan untuk Pemerintah Bank pemerintah menyediakan layanan perbankan khusus untuk pemerintah. Ini termasuk penempatan dana pemerintah, pembiayaan proyek-proyek pembangunan, dan pelaksanaan transaksi keuangan pemerintah secara efisien. 3. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Bank pemerintah seringkali menjadi pelaksana kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank sentral. Mereka dapat berpartisipasi dalam pengaturan suku bunga, kontrol uang beredar, dan kebijakan lainnya untuk mencapai tujuan stabilitas ekonomi. 4. Pembiayaan Pembangunan. Salah satu peran kunci bank pemerintah adalah memberikan pembiayaan untuk proyek-proyek pembangunan nasional. Mereka dapat memberikan pinjaman jangka panjang untuk mendukung sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, energi, dan industri. 5. Dukungan terhadap Sektor-sektor Kunci. Bank pemerintah dapat memberikan dukungan finansial khusus untuk sektor-sektor yang dianggap strategis bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat mencakup sektor pertanian, pendidikan, dan kesehatan. 6. Penyelenggaraan Program Pemerintah. Bank pemerintah dapat menjadi penyelenggara program-program pemerintah, seperti program bantuan sosial atau program kredit bagi sektor-sektor tertentu. 7. Pengelolaan Risiko Keuangan. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga keuangan yang besar, bank pemerintah juga berperan dalam mengelola risiko keuangan. Hal ini mencakup pemantauan dan penilaian risiko, serta penerapan strategi untuk mengurangi dampak risiko keuangan yang mungkin timbul. 8. Mendukung Kestabilan Sistem Keuangan. Bank pemerintah dapat berkontribusi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Mereka memiliki peran penting dalam menangani krisis keuangan dan memberikan dukungan finansial guna mencegah dampak yang lebih besar pada perekonomian.
-
Kapan Bank Jago mulai berinovasi dan menghadirkan aplikasi keuangan? Berdiri Sebagai Bank Artos pada 1992 Akar dari bank digital yang satu ini adalah PT Bank Artos Indonesia yang berdiri pada 1992 di Bandung.
-
Kenapa Bank Indonesia mengembangkan Rupiah Digital? Selain menjadi mata uang yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal dalam ekosistem digital di masa depan, Rupiah Digital juga menjadi solusi yang memastikan Rupiah tetap menjadi satu-satunya mata uang yang sah di NKRI.
-
Apa yang diraih oleh Bank Syariah Indonesia? BSI mendapatkan penghargaan sebagai The Indonesia Customer Experience of The Year – Banking Award dalam ajang Asian Experience Awards 2023.
-
Kenapa OJK meluncurkan roadmap Fintech P2P lending? Peluncuran roadmap ini merupakan upaya OJK untuk mewujudkan industri fintech peer to peer (P2P) lending yang sehat, berintegritas, dan berorientasi pada inklusi keuangan dan pelindungan konsumen serta berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, M. Ajisatria Sulaeman mengatakan saat ini sudah ada 30 anggota asosiasi yang sedang dalam proses mendaftarkan perusahaannya ke BI.
"Peraturan di Bank Indonesia sendiri cukup banyak, tidak hanya tekfin dan regulatory sandbox, tetapi payment gateway, uang elektronik, dompet elektronik, dan transfer dana. Ada lebih dari 30 anggota kami yang sedang mendaftar untuk mendapatkan izin tersebut," kata Ajisatria.
Pendaftaran fintech sendiri terbagi dua. Untuk fintech berbasi pinjam meminjam atau Peer to Peer Lending (P2PL) berada di bawah pengurusan OJK. Sedangkan yang berada di bawah pengawasan BI adalah yang terkait sistem pembayaran.
Ajisatria mengungkapkan, pengurusan perizinan bukan tanpa batu sandungan. Banyak kendala yang dihadapi perusahaan fintech saat hendak mengurus pendaftaran untuk memperoleh izin operasi.
"Kendala utama pengurusan izin di Bank Indonesia adalah mekanisme mereka yang PRE audit, artinya seluruh dokumen dan sistem harus sudah siap sebelum memohon izin," ujarnya.
Dia mengatakan, pendaftaran di OJK lebih mudah dibanding Bank Indonesia. "Ini berbeda dengan OJK lending dimana diperbolehkan untuk mendaftar dan beroperasi dengan dokumen-dokumen awal, lalu diberikan waktu satu tahun untuk melengkapi dokumen SOP, memperbaiki sistem, dan merampungkan audit. Jadi kalau di OJK, mekanismenya POST audit," terangnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakaan saat ini baru segelintir perusahaan fintech yang telah terdaftar.
"Jadi ada 44 yang terdfatar di OJK kalau gak salah tapi kan dari segi jumlah fintech lebih dari 180 perusahaan. Artinya, belum ada setengahnya yang terdfatar ke dalam OJK," kata Bhima.
Bhima mengungkapkan, para pelaku industri fintech kebanyakan mengeluhkan soal rumitnya birokrasi. "Ada beberapa akeluahan dari teman-teman di fintech, salah satunya sih ada perizinan yang cukup rumit dalam hal pendaftaran, jadi mereka mengurus perizinannya tuh makan waktu dan makan biaya," ujarnya.
Bhima mengungkapkan, ada sekitar 14 kementerian dan lembaga K/L) yang memegang andil dalam proses regulasi fintech. Perusahaan harus mengurus administrasi di 14 K/L tersebut.
"Bayangkan ada 14 K/L, jadi kayak pendaftaran untuk sistem pembayarannya ke BI, untuk pembayaran pinjam meminjam ke OJK. Nanti untuk pendaftaran soal aplikasinya di Kemenkominfo, izin lain lainnya ada di Kementerian Perdagangan dan segala macam. Jadi 14 K/L itu aturan tentang fintechnya tumpang tindih."
Bhima menyayangkan regulator yang terkesan lamban mengelola fintech di tanah air. Padahal, kemajuan teknologi semakin hari semakin berjalan cepat dan tidak terbendung.
"Sedangkaan perubahan teknologinya begitu cepat, jadi kalau saya daftar hari ini, setahun baru selesai kan ? Padahall teknologinya sudah berubah, (begitu dapat izin) Saya sudah harus daftarin teknologi yang terbaru lagi. Nah itu yang membuat birokrasinya menjadi penghambat fintech untuk mendaftar."
Selain itu, proses pendaftaran juga memakan dana yang tidak sedikit. Sebab pendaftaran memerlukan beberapa proses yang melibatkan pihak ketiga untuk melakukan pengecekan sistem kemanan.
"Mengecek soal kemanan sistem itu biasanya pakai pihak ketiga, jadi untuk start up yang modalnya masih kecil mendaftarkan fintech itu butuh biaya yang cukup mahal karena ada uji sistem biar gak bisa dihack sistemnya, keamanan data nasabah dan segala macam, nah itu yang jadi hambatan, birokrasi dan mahalnya perizinan."
Selain itu, perusahaan juga harus memakai jasa konsultan hukum dan bidang lainnya selama proses pendaftaran hingga memperoleh izin. "Tiap fintechnya beda, tergantung makin rumitnya teknologinya di a makin mahal (biayanya). Ya harus nyewa konsultan bidang hukum, konsultan bidang IT, ya itu kan cukup menguras kantong juga buat start up."
Bhima mengatakan, seharusnya BI dan OJK tidak mengedepankan ego sektoral dalam mengelola perizinan fintech.
Dia menyarankan, seharusnya BI bersama OJK berjalan bersama dan membuat perizinan fintech menjadi hanya satu pintu. Hal itu bisa mengharmonisasikan seluruh aturan mengenai fintech yang selama ini masih tumpang tindih.
"Karena masalahnya itu belum ada satu pintu perizinan, belum ada single window policy. Jadi BI juga punya kewenangan, OJK juga punya kewenangan, masih ada ego sektoral di situ. Jadi proses perizinannya makan waktu lama."
Menurut Bhima, akan lebih baik jika BI bersama OJK membentuk satgas khusus untuk mengurus pendaftaran fintech.
"Harusnya memang dibentuk single window policy atau perizinan terpadu satu pintu, jadi antara BI dan OJK membentuk satgas khusus fintech. Jai pendaftarannya satu pintu. Itu di Thailand seperti itu, kemudian di Australia seperti itu juga. Makanya perkembangan fintech di sana cukup pesat karena perizinannya hanya dalam satu pintu tadi."
Selain itu, Bhima memandang BI dan OJK ada kecenderungan untuk menghentikan operasional (suspend) fintech. Padahal, akan lebih baik jika fintech dibiarkan berjalan selama proses.
"Jadi banyak banget fintech yang udah mau daftar nih, tapi kan harusnya operasionalnya bisa jalan dulu lah, tiba - tiba disuspend, dihentikan sementara operasinya kayak waktu itu ada Tokopedia, ada grab pay. Pendekatannya OJK dna BI ke arah melarang dulu dibandingkan merangkul. Makanya gak banyak fintech yang terdaftar dalam sistem."
Baca juga:
Begini cara OJK atur industri fintech sebelum aturan diterbitkan
Per Januari, volume bisnis fintech di Tanah Air tembus Rp 3,5 triliun
Platform online penyedia kredit ini incar transaksi 200.000 per hari
OJK percepat finalisasi payung hukum fintech
Kenali 5 ciri penipuan pinjam uang cepat secara online