Serangan FITRA atas proyek ambisius Jokowi pembangkit 35.000 MW
Kritik keras muncul lantaran adanya 16 proyek berdaya 4.648 MW sudah dibuka pengadaannya melalui penunjukan langsung.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-7 persen, maka tiap tahun pemerintah harus menambah kapasitas listrik sebesar 7.000 MW. Atas dasar itu pemerintahan Jokowi-JK berambisi membangun proyek listrik berkapasitas 35.000 MW dalam kurun waktu lima tahun, 2015-2019.
Total kebutuhan dana untuk proyek atau program ini menembus Rp 1.127 triliun. Terdiri atas Rp 512 triliun untuk proyek yang dikerjakan PLN dan 615 triliun yang dikerjakan swasta. Pendanaan PLN diperuntukkan bagi proyek pembangkitan Rp 199 triliun dan transmisi serta gardu induk Rp 313 triliun. Sementara, kebutuhan pendanaan IPP Rp 615 triliun seluruhnya untuk pembangkitan.
-
Apa yang menjadi pemicu semangat Jakarta Electric PLN untuk bangkit? Ketertinggalan menjadi sesuatu yang memacu semangat. Hal inilah yang berhasil dibuktikan oleh Jakarta Electric PLN yang berhasil comeback atas Gresik Petrokimia Pupuk Indonesia.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Bagaimana pengaruh Presiden Jokowi pada Pilkada Jateng? Peta kompetisi Pemilihan Gubernur Jawa Tengah berdasarkan temuan survei ini tampak masih cair. Semua kandidat masih berpeluang untuk saling mengungguli. Selain faktor popularitas calon, faktor Jokowi Effect, melalui tingkat kepuasan kepada presiden dapat berpengaruh," imbuh dia.
-
Kenapa pemerintah mendorong penggunaan kendaraan listrik? Hal tersebut guna menekan penggunaan bahan bakar fosil, mengurangi emisi karbon, dan mendorong transformasi industri serta mendorong ketahanan energi nasional.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Apa yang Jokowi lakukan di Lampung? Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengunjungi Lampung. Salah satu tujuan kunjungan ini untuk mengecek jalan rusak di wilayah tersebut.
Dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 0074.K/21/MEM/2015 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015-2024, sudah ditetapkan 109 proyek yang masuk dalam program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.
Dari 109 proyek pembangkit berdaya total 36.585 MW, 74 proyek berkapasitas 25.904 MW di antaranya akan dikerjakan dengan skema pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) dan 35 proyek lainnya berdaya 10.681 MW dikerjakan PLN.
Dari data Kementerian ESDM, dari 74 proyek IPP, sebanyak 21 berkapasitas 10.348 MW tengah memasuki proses pengadaan yakni sudah melewati masa pendaftaran.
Kritik keras mulai muncul lantaran adanya 16 proyek IPP berdaya 4.648 MW sudah dibuka pengadaannya melalui penunjukan langsung. PLN mengacu Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik. Ada 37 proyek IPP berkapasitas 10.908 MW akan dibuka pengadaannya melalui mekanisme pelelangan.
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencium potensi bau anyir di balik proyek pengadaan pembangkit listrik dengan mekanisme tunjuk langsung. Mekanisme ini membuka celah aksi kongkalikong BUMN dengan investor, ataupun elit politik dengan pebisnis.
Beberapa proyek yang boleh dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung yakni pekerjaan pengadaan dan penyaluran benih unggul meliputi benih padi, jagung, kedelai serta pupuk yang meliputi urea, NPA, dan ZA kepada petani.
Ini diperbolehkan demi menjamin ketersediaan benih pupuk secara tepat dan cepat untuk pelaksanaan peningkatan ketahanan pangan. "Jadi bukan pengadaan infrastruktur kelistrikan," ungkap Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto di kantornya, kemarin.
Tidak hanya itu, Yenny juga melontarkan beragam kritik pedas lainnya. Merdeka.com mencatatnya. Berikut paparannya.
Ajang bancakan politisi dan korporasi
Mekanisme penunjukan langsung yang dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk beberapa proyek pembangkit listrik 35.000 MW mengundang kontroversi. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengkritik keras cara PLN yang dinilai menyuburkan praktik kongkalikong di negeri ini.
Dasar hukum yang digunakan PLN untuk penunjukan langsung adalah Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik dari PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara, PLTG/PLTMG dan PLTA oleh PLN melalui Pemilihan Langsung dan Penunjukan Langsung. Menurut FITRA, payung hukum ini bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010, Perpres Nomor 35 Tahun 2011, Perpres Nomor 70 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 4 Tahun 2015.
"Aturan tersebut artinya melanggar. Penunjukan langsung yang dilakukan oleh PLN ini didasari atas aturan kilat. Sehingga penunjukan langsung ini menjadi bisa ekspansi bahan bancakan elit politik dan korporasi," ujar Sekretaris Jendral FITRA, Yenny Sucipto di Kantornya, Jakarta, Minggu (19/4).
Cederai persaingan usaha
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai proses pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme penunjukan langsung yang dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bertentangan dengan UU keuangan negara dan UU BUMN.
Sekretaris Jenderal FITRA, Yenny Sucipto mengatakan penunjukan langsung bertentangan dengan UU BUMN No. 19 Tahun 2003 dan UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003.
Mengacu pada dua UU itu, segala sesuatu baik berupa uang maupun barang dapat dijadikan milik negara yang salah satunya meliputi kekayaan negara yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang dan termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan BUMN masuk sebagai kategori kekayaan negara.
Yenny juga menegaskan, mekanisme penunjukan langsung yang dilakukan PLN bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
"Secara khusus Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), menganalisa UU BUMN, UU Kekayaan Negara dan Inpres atau Perpres Pengadaan Barang dan Jasa," jelas dia.
Asing berkuasa
Program dan proyek ambisius pemerintahan Jokowi-JK, pembangkit listrik 35.000 MW, menyimpan segudang kerugian yang nantinya harus ditanggung negara dan rakyat Indonesia. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melihat keseluruhan program pengadaan listrik ini pada akhirnya bakal membebani masyarakat.
Sekretaris Jenderal FITRA, Yenny Sucipto mengatakan, semua bermula dari ketergantungan pemerintah terhadap sektor swasta dalam proyek pembangkit listrik. "Ini berpotensi terjadi komersialisasi sehingga merugikan masyarakat," di Kantor FITRA, Jakarta, Minggu (19/4).
Dalam pandangannya, dengan komersialisasi bakal mempengaruhi harga atau tarif listrik yang berpotensi terus naik lantaran harga akan disesuaikan dengan mekanisme pasar.
"Lebih banyak aturan mengarah pada mekanisme pasar dan ikut pada aturan swasta. Kita lihat di APBN 2015 TDL naik dan bebannya tinggi pada rakyat," jelas dia.
Peran pemerintah dalam proyek pembangkit listrik tidak sebanding dengan yang diberikan pihak swasta pada negara.
"Saat swasta mendominasi dalam investasinya, kontribusi pada negara hanya pada dividen saja," ucapnya.
PLN asal tunjuk perusahaan
Pemerintah sudah menentukan 109 proyek pembangkit listrik dengan total 35.000 MW yang akan dikerjakan dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dari keseluruhan proyek tersebut, sejauh ini ada 16 proyek yang menggunakan mekanisme penunjukan langsung.
Mekanisme ini mendapat kritik keras dari Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Selain dituding bakal merugikan negara serta rakyat sekaligus melanggar aturan dan menyuburkan praktik kongkalikong, langkah yang diambil PLN juga berpotensi menyimpang.
DITRA menilai, proses pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme penunjukan langsung yang dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak transparan karena tidak diumumkan ke publik.
Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto mengatakan, PLN tidak mengungkapkan perusahaan mana saja yang memenuhi kriteria kemampuan dan keahlian dalam pembangunan proyek ini.
"Akibatnya disinyalir perusahaan yang akan ditunjuk langsung adalah perusahaan yang belum berpengalaman, tidak mempunyai kekuatan finansial yang memadai. Ditunjuk karena mempunyai kedekatan politik," ujarnya di Kantor Fitra, Jakarta, Minggu (19/4).
Jaminan dari bank BUMN masuk utang pemerintah
FITRA juga memperkirakan potensi kerugian negara dari proyek-proyek pembangkit listrik bernilai ratusan triliun, baik yang dikerjakan PLN maupun swasta.
Total kebutuhan pendanaan proyek listrik 35.000 MW selama periode 2015-2019 mencapai Rp 1.127 triliun. Terdiri dari PLN sebesar Rp 512 triliun dan swasta (independent power producer) Rp 615 triliun.
"Jaminan dari bank BUMN dan masuk dalam kategori utang pemerintah," ujar Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto.
Menurut dia, jika pemisahan keuangan negara tidak jelas dan dipaksa untuk penunjukan langsung, maka negara tidak akan mendapatkan keuntungan, efektivitas dan efisiensi anggaran dari proses ini.
"Dana APBN tidak sampai 50 persen karena dari APBNP 2015 Rp 5 triliun (PMN untuk PLN) khusus untuk ini. Dan PLN keluarkan hanya Rp 50 triliun. Kekurangan ini bagaimana. Dominasi utang dan IPP sangat besar," katanya.
(mdk/noe)