Kisah Perjuangan Ahmad Tohari, Memilih Pulang ke Kampung Halaman untuk Kembangkan Budaya Banyumas
Ia rela meninggalkan jabatan seorang redaktur dan pulang ke kampung halaman untuk menjadi seorang novelis.

Ia rela meninggalkan jabatan seorang redaktur dan pulang ke kampung halaman untuk menjadi seorang novelis.

Kisah Perjuangan Ahmad Tohari, Memilih Pulang ke Kampung Halaman untuk Kembangkan Budaya Banyumas

Ahmad Tohari lahir di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas pada 13 Juni 1948. Ia dibesarkan pada masyarakat petani.
Sejak kecil, Ahmad Tohari sudah hobi membaca. Ayahnya, Muhammad Diryat adalah seorang ketua Partai Nahdlatul Ulama ranting Jatilawang. Oleh karena itu, ia setiap hari diharuskan membaca koran partai.
“Setiap hari ada koran datang, walaupun telat tujuh hari. Dari sana muncul kegiatan membaca yang membuat saya kecanduan,” kata Tohari, mengutip kanal YouTube Kancabudaya.
Kebiasaan membaca koran itu mengantar Tohari kecil untuk gemar membaca buku. Dari sana ia terinspirasi untuk menulis. Ia pun rajin membuat catatan harian.
“Saya mulai membangun kemampuan berbahasa dan kemampuan menyusun kata-kata dan kalimat sejak saya SMA,” ujarnya.
Pada tahun 1979, Tohari hijrah ke Jakarta untuk menjadi redaktur di Harian Merdeka. Di sela kesibukannya mengedit laporan wartawan lapangan Harian Merdeka, ia menyempatkan diri untuk menulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.
“Sering setiap hari saya ada waktu menganggur, yaitu saat wartawan belum datang setor tulisan. Saat itulah saya terinspirasi untuk mengisi waktu menulis novel,” kata Tohari.
Namun lama-lama Ahmad Tohari menyadari bahwa rutinitasnya menulis novel tidak bisa dilakukan paruh waktu. Ia pun harus meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang redaktur.
“Saya berjibaku meninggalkan gaji seorang redaktur, pulang ke kampung sini untuk menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, yang artinya saya memulai masa pengangguran yang pahit,” kata Tohari.
Tahun 1982, Ahmad Tohari pulang kampung ke Tinggarjaya. Rekan Tohari sesama penulis Hairus Salim mengatakan bahwa tuntutan kerja yang sangat ketat membuat Tohari tidak punya ruang.

Senada dengan Hairus, puteri Ahmad Tohari, Listia Suprobo, melihat bahwa keputusan ayahnya pulang kampung merupakan bagian dari proses pencarian jati diri.
“Tumbuh kembang kepribadiannya memang keras. Dia harus melalui banyak kesunyian, kemudian saat memasuki situasi yang tidak mudah itu, secara eksistensial dia lagi berjuang,” kata Listia.
Ahmad Tohari mengatakan bahwa ia ingin menulis hanya karena ingin membahas kehidupan masyarakat-masyaraka miskin. Bagi Tohari, novel Ronggeng Dukuh Paruk isinya sangat religius.
“Buku ini menceritakan seorang perempuan yang hidup di alam yang sangat tidak beradab, di mana dia sudah dilelang keperawanannya saat umur belasan tahun. Jadi buku ini merupakan perjalanan dari alam gelap menuju alam terang,” kata Tohari.
Selama tinggal di kampung halamannya, Tohari giat mengembangkan budaya Banyumas. Dia membuat kamus dialek Banyumas, novel Bahasa Banyumas, dan majalah berbahasa Banyumas

“Sebagian besar mimpi saya tetap. Kewajiban seorang ayah mengangkat anak-anaknya ke tempat yang bermartabat sudah saya lakukan. Jadi saya akan tetap di jalan kesusasteraan saya yaitu jalan menuju ‘sangkan lan paraning dumadi’,”
pungkas Tohari, mengutip kanal YouTube Kancabudaya.