Kisah Perang Saudara Antara Raja Panjalu dan Raja Jenggala, Tak Puas dengan Warisan Orang Tua
Raja Airlangga membagi kerajaan untuk kedua putranya. Upaya itu disebut sia-sia karena kedua putranya melakukan perang saudara.
Pembagian kerajaan yang dilakukan Airlangga disebut sia-sia.
Kisah Perang Saudara Antara Raja Panjalu dan Raja Jenggala, Tak Puas dengan Warisan Orang Tua
Pembagian Kerajaan
Akhir November 1042, Raja Airlangga membagi wilayah kerajaan Kahuripan menjadi dua, yakni Panjalu dan Jenggala. Wilayah Panjalu berpusat di ibu kota baru, yaitu Daha. Wilayah Jenggala berpusat di ibu kota lama, Kahuripan.
(Foto: Dok. FISIP UI)
-
Kenapa Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Pandanaran berselisih? Karyono mengatakan, kemungkinan perselisihan dipicu oleh perbedaan keyakinan. Berdasarkan penuturannya, Kiai Pandanaran merupakan seorang muslim, sementara Kiai Tunggul Wulung merupakan seorang budha.
-
Bagaimana para jawara banten melawan penjajah? Luar biasanya, para jawara tersebut mampu melawan kekuatan senjata berteknologi tinggi Belanda dan Jepang hanya dengan tangan kosong. Mereka sudah terkenal kebal sejak dulu, melalui ilmu tradisional yang digunakan dengan bijak.
-
Kenapa Raja Majapahit marah? Mendengar banyak warga lokal masuk Islam, Raja Majapahit marah besar khawatir kekuasaannya hancur.
-
Siapa yang punya darah keturunan Majapahit? Pria tua ini bukanlah orang sembarangan. Dia masih memiliki darah keturunan Kerajaan Majapahit. Pesan leluhurnya juga masih dipegang teguh. Bahkan kakek ini juga masih menjunjung tradisi ageman Jawa Kuno.
-
Apa peninggalan Kerajaan Panai? Di beberapa kawasan Padanglawas telah ditemukan beragam candi-candi yang diduga peninggalan dari Kerajaan Panai sebanyak 16 bangunan.
-
Siapa raja pertama Kerajaan Kanjuruhan? Melalui prasasti ini, diketahui bahwa raja pertama kerajaan ini adalah Dewasimha, yang kemudian digantikan oleh Sang Liswa.
Warisan untuk Kedua Putranya
Airlangga membagi kerajaan untuk kedua putranya. Kerajaan Panjalu dipimpin oleh Sri Samarawijaya, sementara Kerajaan Jenggala dipimpin Mapanji Garasakan.
Perang Saudara
Perang saudara pecah setelah pembelahan kerajaan oleh Airlangga. Persaingan kedua putranya tidak berakhir setelah masing-masing menjadi raja. Mereka justru saling serang.
Pada 1044, Raja Jenggala (Mapanji Garasakan) mengesahkan Desa Turun Hyang sebagai daerah perdikan (bebas pajak). Pengasahan desa perdikan itu sebagai penghargaan kepada penduduk desa yang setia membantu Jenggala melawan Kerajaan Panjalu.
Selanjutnya, pada 1052, Garasakan memberikan anugerah kepada Desa Malenga karena masyarakatnya membantu Jenggala dalam pertempuran melawan Raja Tanjung, yang merupakan anak buah Kerajaan Panjalu.
Babak Penting Sejarah
Perang saudara antara Raja Jenggala dengan Raja Panjalu mengakibatkan konflik berkepanjangan antara dua kerajaan. Perang ini menunjukkan kerumitan politik dalam upaya mempertahankan dan merebut kekuasaan setelah pembelahan kerajaan.
Pembelahan yang dilakukan oleh Raja Airlangga tidak mengakhiri persaingan antara kedua putranya yang sudah ada sejak masa kejayaan Kerajaan Kahuripan.
Perang saudara antara Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu jadi babak penting dalam sejarah Jawa kuno. Peristiwa ini mencerminkan perpecahan politik dan perubahan kepemimpinan setelah pembelahan wilayah oleh Raja Airlangga pada 1042.
Kematian Raja Jenggala
Prasasti Banjaran (1052) mengisahkan tentang putra mahkota Jenggala bernama Alanjung Ahyes yang melarikan diri ke hutan Marsma, karena ibu kota Jenggala, yaitu Kahuripan diserang musuh. Alanjung Ahyes berhasil merebut kembali takhta Jenggala berkat bantuan para pemuka Desa Banjaran.
Mengutip kk.sttbandung.ac.id, Raja Garasakan diperkirakan tewas tahun 1052 karena serangan musuh. Adapun musuh Jenggala yang paling kuat saat itu adalah Kerajaan Panjalu/Kadiri. Namun tidak diketahui pasti apakah raja Kadiri saat itu masih Sri Samarawijaya atau bukan.
Kerajaan Panjalu
Kerajaan Panjalu yang juga dikenal sebagai Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Samarawijaya di Kadiri dikenal sebagai masa kegelapan. Pasalnya sang raja tidak meninggalkan bukti prasasti.
Samarawijaya naik takhta tahun 1042, atau setelah Airlangga turun takhta menjadi pendeta (berdasarkan berita dari prasasti Pamwatan dan prasasti Gandhakuti).