Raja-Raja Lalim yang Menghancurkan Pakuan Pajajaran dari Dalam
Kehancuran Pakuan Pajajaran tak hanya dipicu oleh serangan Banten. Di dalam keraton, raja-rajanya sibuk berpesta pora dan tak memikirkan rakyat
Penulis: Arsya Muhammad
Sri Baduga Maharaja membawa Pakuan Pajajaran ke puncak kejayaannya. Wilayahnya membentang di Jawa Bagian Barat.
Orang-orang Portugis menulis kerajaan orang-orang Sunda itu sebagai kerajaan yang makmur dan diperintah oleh raja yang adil.
Jayadewata awalnya memperoleh tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala. Lalu dia mendapat tahta Pakuan dari mertuanya Prabu Susuk Tunggal.
Dengan demikian Jayadewata mempersatukan dua kerajaan di Tanah Sunda.
Dia dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran tahun 1482 dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Selama masa pemerintahannya, Sri Baduga membangun aneka infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja meninggal pada tahun 1521, setelah 39 tahun berkuasa. Sosoknya sering disebut sebagai Prabu Siliwangi di kalangan masyarakat Sunda.
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah putera mahkota Pajajaran, Prabu Surawisesa. Naskah Carita Parahyangan menyebutnya sebagai raja yang gagah berani.
“Selama 14 tahun memerintah, dia melakukan 15 kali pertempuran,” tulis Sejarawan Saleh Danasasmita dalam buku Sejarah Bogor.
Masa pemerintahan Surawisesa memang diwarnai dengan sejumlah peperangan. Saat itu Cirebon sudah memisahkan diri dari Pajajaran.
Perang saudara terjadi antara Surawisesa sebagai penguasa Pajajaran dengan Cakrabuana dan keponakannya Syarif Hidayat, penguasa Cirebon.
Antara Surawisesa dan Cakrabuana sebenarnya masih saudara satu ayah, tetapi berbeda ibu. Dengan demikian Syarif Hidayat pun masih keponakan Surawisesa, dan berakar dari Pakuan Pajajaran.
Cirebon menjalin aliansi militer dengan Demak. Sementara Pajajajaran bersekutu dengan Portugis.
Tahun 1531, kedua negara sama-sama lelah berperang. Kedua pihak sepakat untuk menghentikan perang.
Kemunduran Pakuan Pajajaran
Tahun 1935 Surawisesa mangkat. Dia digantikan puteranya Ratu Dewata.
Berbeda dengan ayahnya yang dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani, Ratu Dewata menghabiskan waktunya untuk melakukan tapa dan aneka ritual keagamaan.
Sebagai raja, dia mengesampingkan urusan negara dan hanya memikirkan upacara keagamaan.
Biasanya hal ini dilakukan oleh para raja yang sudah mundur dari jabatannya dan kemudian menjauhkan diri dari urusan duniawi.
“Tapabrata yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah dia turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya,” tulis Saleh Danasasmita.
Raja selanjutnya adalah Ratu Sakti yang naik tahta tahun 1543. Jika Ratu Dewata dikenal sangat alim, maka penggantinya dikenal keras dan kejam.
Sederetan kekejaman mewarnai masa pemerintahan Ratu Sakti yang hanya delapan tahun.
Raja lalim ini membunuh rakyat yang tidak berdosa, dan merampas harta mereka untuk kerajaan.
Ratu Sakti juga membuat skandal dengan mengawini wanita yang sudah bertunangan.
“Masih ditambah lagi dengan membuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu mantan para selir ayahnya.”
Meninggalkan Keraton Pakuan
Raja berikutnya tak lebih baik. Nilakendra naik tahta tahun 1551. Carita Parahyangan menulis raja ini hanya memikirkan makanan lezat dan pesta mewah di keraton.
Kelaparan mulai terjadi di lingkungan kerajaan. Tak ada lagi cerita kemakmuran Pakuan Pajajaran seperti di era Sri Baduga Maharaja.
Di tengah segala kesulitan rakyat, Nilakendra malah memperindah keraton. Membangun bangunan yang dihiasi emas dan segala kemewahan lainnya.
Nilakendra yang memperdalam ajaran tantra ini juga membuat sebuah bendera keramat yang dipercaya akan menolak musuh-musuh yang menyerang. Faktanya, Laskar Banten sama sekali tidak takut akan panji-panji Nilakendra.
Pasukan Pakuan Pajajaran dikalahkan dan Nilakendra pun memilih meninggalkan keraton di Dayeuh Pakuan yang sudah menjadi pusat pemerintahan selama ratusan tahun sejak era leluhurnya.
Semenjak itu wilayah Pakuan Pajajaran mulai ditinggalkan juga oleh para penduduk dan prajuritnya secara bertahan.
Raja terakhir Pakuan Pajajaran Nusa Mulya atau Suryakencana, kemudian tidak bertahta lagi di wilayah Dayeuh Pakuan atau Bogor saat ini, tetapi di Pulosari Pandeglang.
Baru 12 tahun kemudian, pada tahun 1579 serangan Banten berhasil menerobos benteng pertahanan Pajajaran.
Menghancurkan Keraton dan menghapuskan hegemoni Pajajaran di Tanah Sunda untuk selamanya.