Kelat-kelit Jokowi semakin bikin sulit
Merdeka.com - Janganlah berbohong. Sekali kamu berbohong maka kamu akan menutupi kebohonganmu dengan kebohongan-kebohongan yang lain.
Demikian nasihat orang bijak untuk menegakkan moral kebaikan. Presiden Jokowi mungkin tidak berbohong saat berbicara tentang kemelut KPK versus Polri. Namun tidak bisa dipungkiri, dia lebih banyak berkelit saat mana seharusnya dia bisa bertindak tegas.
Kelitan satu disusul oleh kelitan lain, karena hasrat membuat keputusan yang bisa menyenangkan semua orang. Padahal setiap orang atau sekelompok punya kepentingan sendiri-sendiri, sehingga mustahil sebuah keputusan bisa menyenangkan semua orang.
-
Mengapa Jokowi digugat? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang pecat Jokowi? Pengumuman tersebut disampaikan oleh Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP, Komarudin Watubun, dalam sebuah konferensi pers yang berlangsung di Jakarta.
-
Kenapa PDIP baru pecat Jokowi setelah Pilpres? Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memutuskan untuk menunda pengumuman terkait pemecatan. Langkah ini diambil demi menjaga kehormatan Jokowi sebagai Presiden dan untuk menghindari munculnya spekulasi negatif yang bisa berpengaruh selama masa kontestasi politik.
-
Apa gugatan yang dilayangkan ke Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang menggugat Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
-
Siapa saja yang dipecat selain Jokowi? Selain Jokowi, Gibran, dan Bobby, terdapat 27 kader lain yang juga menerima sanksi berupa pemecatan. Keputusan ini menunjukkan bahwa tindakan tegas diambil terhadap semua pihak yang terlibat dalam pelanggaran.
Dalam dua pekan terkahir, Jokowi berkali-kali menegaskan dirinya menunggu proses hukum yang tengah berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menyidangkan gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG) atas penetapan tersangka oleh KPK. Sebelumnya, melalui Buya Syafi’i, Jokowi juga menyatakan tidak akan melantik BG.
Dua pesan itu menunjukkan, Jokowi berharap PN Jakarta Selatan menolak gugatan BG sehingga statusnya tetap sebagai tersangka. Tentu tidak pada tempatnya seorang tersangka – apalagi sudah disahkan pengadilan – dilantik menjadi Kapolri. Jokowi pun minta Kompolnas untuk mengajukan calon-calon lain.
Tetapi apa lacur, skenario Jokowi berantakan, karena PN Jakarta Selatan membuat putusan di luar perkiraan banyak orang. Menurut hakim tunggal Sarpin Rizaldi, surat perintah penyidikan (sprindik) yang menetapkan BG sebagai tersangka oleh KPK, tidak sah dan tak berdasarkan hukum.
Apapun alasannya, suka atau tidak suka dengan putusan tersebut, lepas sudah status tersangka BG. Hal ini tentu memaksa Jokowi untuk melantiknya, sebab sesuai kata-katanya, proses hukum harus dilalui, harus dihormati. Para pendukung BG pun langsung mendesak agar Jokowi dilantik.
Di sisi lain, Jokowi tidak bisa begitu saja mengabaikan tuntutan publik, tuntutan akal sehat, bahwa BG tidak pantas menjadi Kapolri. Memang dia sudah memenangkan praperadilan, tetapi hampir semua ahli hukum, termasuk para mantan hakim agung, menilai putusan hakim Sapin itu salah, melampaui ketentuan undang-undang, karena penetapan tersangka bukan obyek yang bisa dipraperadilankan.
Apakah kali ini Jokowi masih bisa berkelit untuk menghindari dua tuntutan tersebut? Lantas apa dalih yang digunakan, mengingat putusan praperidilan bersifat final? Jokowi menghadapi situasi yang sulit, bahkan lebih sulit dari sebelumnya.
Pada saat mendapat tekanan dari KMP (Kalla-Mega-Paloh) untuk segera mencalonkan BG, Jokowi bimbang, mengingat nama jenderal itu sudah distabilo merah oleh KPK dan PPATK saat dicalonkan jadi menteri. Tetapi karena tekanan bertubi, Jokowi sampaikan nama BG ke DPR, dengan harapan publik akan marah dan DPR akan menolak.
Tapi harapan tidak sesuai kenyataan. Publik memang marah, tetapi DPR tetap memproses pencalonan BG. Bahkan ketika KPK menetapkan BG sebagai tersangka, Komisi III DPR tetap melakukan uji kelayakan dan kepatutuan, selanjutnya sidang paripurna DPR menerima pencalonan BG sebagai Kapolri.
Sesaat setelah KPK menetapkan BG sebagai tersangkat, dan sebelum DPR menetapkan sebagai calon Kapolri, sebenarnya Jokowi punya waktu untuk menarik pencalonan BG. Tetapi hal itu tidak dilakukan. Alasannya, menghormati proses politik di DPR, apalagi dia sendiri selaku presiden yang mengajukan nama itu.
Proses politik sebetulnya bisa dihentikan oleh proses hukum, karena sebagai negara hukum, negeri ini menganut supremasi hukum. Jadi ketika KPK menetapkan BG sebagai tersangka, mestinya Jokowi mengambil jalan hukum: membatalkan pencalonan BG dan mengajukan calon baru.
Tapi hal itu tidak dilakukan. Jokowi berkelit, proses hukum belum selesai. Apalagi BG mengajukan gugatan praperadilan. Publik pun sabar menunggu putusan praperadilan. Nah, setelah hakim Sarpin memenangkan gugatan BG, apa Jokowi hendak berkelit lagi?
Sangat mungkin jika dia berpegang pada moral anti korupsi. Apalagi jika KPK mengajukan peninjauan kembali atas putusan putusan hakim Sapin ke MA. Memang putusan praperdilan bersifat final, tidak bisa dibanding, tidak bisa dikasasi. Tetapi jika kesadaran hukum menyatakan bahwa putusan itu salah, MA tidak bisa menolaknya untuk tidak melakukan peninjauan kembali.
Presidennya sudah banyak. MA pernah membatalkan putusan praperadilan yang mempersoalkan status tersangka dalam kasus Chevron. MA juga pernah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tentang sengketa pilkada Depok. Padahal menurut UU No 32/2005 putusan pengadilan tinggi itu bersifat final.
Jokowi memang harus berpikir panjang soal dampak pelantikan BG. Dia akan dimusuhi publik karena mencederai janji memberantas korupsi. Lebih dari itu pelantikan BG berarti penghancuran KPK, sebab proses hukum yang ditimpakan Polri ke pimpinan KPK akan semakin agresif. Bisa-bisa semua komisioner KPK ditahan. Ambruklah institusi anti korupsi itu diterjang “saudaranya” sendiri.
(mdk/war)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
PDIP menanggapi isu pergantin Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG).
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi buka suara terkait tudingan menghambat dan menjegal langkah politik Anies Baswedan di Pilkada Serentak, Jumat (30/8).
Baca SelengkapnyaJokowi telah menunjukkan bahwa ia solid bersama relawannya dengan memberikan jabatan di kabinet, ketimbang PDIP sebagai partainya.
Baca SelengkapnyaBambang Widjojanto mengungkit wacana perpanjangan masa jabatan presiden
Baca SelengkapnyaSebelum menjabat Wakapolri, dia pernah menjadi ajudan presiden.
Baca SelengkapnyaKeresahan Presiden Jokowi itu dikatakan Yusril saat diskusi dengannya terkait gugatan batas usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca SelengkapnyaNawawi Pomolango resmi dilantik menggantikan Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara.
Baca SelengkapnyaLuhut mengungkapkan, bahwa Presiden Jokowi adalah sosok yang sangat mendengarkan pendapat seluruh pihak.
Baca SelengkapnyaPrabowo mengaku kewalahan mengimbangi Jokowi dalam bekerja.
Baca SelengkapnyaKomjen (Purn) Budi Waseso atau Buwas menanggapi soal namanya disebut dalam Sidang Sengketa Hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi.
Baca SelengkapnyaKunto menerangkan, dengan menunjuk relawannya, Jokowi juga tidak harus konsultasi dengan pimpinan parpol jika ingin mengambil kebijakan di Kominfo.
Baca SelengkapnyaMenurut Mahfud, putusan MK tersebut sudah jelas salah lantaran melanggar etik.
Baca Selengkapnya