Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Modifikasi Cuaca, Jejak yang Tertinggal dari Mandalika

Modifikasi Cuaca, Jejak yang Tertinggal dari Mandalika Pembalap MotoGP saat balapan di lintasan basah di Sirkuit Mandalika. ©2022 REUTERS/Willy Kurniawan

Merdeka.com - Di antara gegap gempita ajang Moto GP di Sirkuit Mandalika, Lombok Nusa Tenggara Barat 19 Maret lalu beserta sosok pawang hujan Rara Istiati Wulandari, ada yang luput dari perhatian banyak orang, yaitu peran Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang ikut menyukseskan gelaran internasional tersebut dari balik layar.

Apa yang dilakukan oleh BRIN? Apa dan bagaimana sebetulnya modifikasi cuaca itu?

Deputi Bidang Meteorologi Badan Geofisika (BMKG) Guswanto menjelaskan, pada dasarnya, konsep teknologi modifikasi cuaca ini hanya sebuah upaya untuk mempercepat terbentuknya hujan.

Teknologi Modifikasi Cuaca, kata Guswanto, dilakukan dengan penyemaian garam-garam yang merupakan bibit awan hujan, atau dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan inti kondensasi, pada awan target pembenihan.

"Syarat utama untuk berhasilnya TMC adalah adanya awan-awan konvektif yang berpotensi sebagai awan hujan," ujar Guswanto kepada merdeka.com, pekan lalu.

Awan konvektif adalah awan yang terbentuk akibat proses naiknya udara hangat membawa uap air.

TMC sebagian besar menggunakan garam (NaCL) sebagai bahan semai hujan karena sifatnya yang akan menyerap uap air yang berada di sekitarnya dan menjadi inti kondensasi. Pada saat inti kondensasi yang satu bergabung dengan yang lain, inti-inti kondensasi yang terjadi akan terus menyerap uap air. Pada akhirnya awan akan tumbuh semakin besar, berbanding lurus dengan jumlah uap air yang diserap dan jumlah inti kondensasi yang membentuk awan tersebut.

Suatu inti kondensasi memiliki kapasitas dalam menyerap uap air, ketika akan mencapai titik jenuhnya, inti kondensasi dengan uap air yang menempel pada permukaan dapat membentuk sebuah tetes awan. Namun pada saat inti kondensasi mencapai titik jenuhnya, kita akan melihat awan yang berwarna kelabu dan cenderung kehitam-hitaman. Inti-inti kondensasi tersebut terus menyerap uap air dan menyebabkan suatu kondisi lewat titik jenuh, sehingga tiba pada kondisi terbentuknya endapan yang turun ke permukaan bumi karena gaya gravitasi. Proses ini biasanya dikenal dengan istilah presipitasi, yang mana presipitasi dapat berupa hujan air dan hujan es.

Dua metode modifikasi cuaca

Teknologi Modifikasi Cuaca biasanya dikaitkan dengan upaya menghentikan hujan di suatu lokasi. Yang lebih tepat sebetulnya adalah modifikasi cuaca bertujuan menambah curah hujan atau mengurangi curah hujan di suatu lokasi.

Menurut Guswanto, istilah menghentikan hujan atau tidak biasanya tergantung lokasi di mana awan hujan itu berada. Misalnya awan itu berada di Mandalika, sedangkan arah dan kecepatan angin Timur Laut mendorong awan tadi bergeser ke Barat Daya, maka hujan tidak akan terjadi di Mandalika. Hujan cenderung terjadi di wilayah Kuta Lombok.

TMC ini juga bisa digunakan saat musim kemarau untuk mencegah atau memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.

"Tetap syarat utamanya adalah adanya awan hujan yang berpotensi disemai," kata dia.

Budi Harsoyo, koordinator laboratorium pengelolaan Tim Modifikasi Cuaca-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membeberkan dua metode untuk melakukan modifikasi cuaca. Yang pertama adalah metode dinamis dengan menggunakan pesawat.

Dengan metode dinamis menggunakan pesawat ini juga ada dua mode bahan semai. Satu adalah bahan semai garam yang umum dipakai. Garamnya yang sudah sangat halus seperti bedak atau bubuk (powder).

"Kita taburkan di puncak awan. Jadi kalau ada awan kita terbang di punggung-punggung awan atau puncak awan untuk menaburkan bahan semai itu, harus masuk ke dalam awan.

Proses itu, kata Budi, dilakukan pada ketinggian kurang lebih sekitar 9.000 hingga 11.000 kaki.

Metode kedua adalah dengan menggunakan bahan semai flar. Flar ini seperti kembang api atau suar, mirip yang biasa dibawa suporter bola.

"Kami pasang di sayap pesawat, tapi kami menyemainya dari dasar awan. Dengan asap dari suar itu partikel garam akan naik," jelas Budi saat diwawancara merdeka.com pekan lalu.

Ketinggian pesawat untuk metode kedua ini kurang lebih sekitar 3.000 sampai 4.000 kaki di dasar awan.

Metode pertama menyemai di puncak awan. Metode kedua di dasar awan.

"Tujuannya sama menginjeksi bahan semai supaya mempercepat proses fisika awan," kata Budi. Menurut dia, proses TMC ini bisa memakan dana hingga Rp 150-200 juta per hari.

Bukan menggeser awan

Dengan demikian modifikasi cuaca bukan berarti bisa menggeser awan hujan.

"Yang kami lakukan hanya mempercepat proses terjadinya hujan sehingga bisa dikondisikan apakah hujan nya mau ditambahkan di daerah situ atau justru dikurangi," kata dia.

Modifikasi cuaca itu intinya adalah memasukkan partikel bahan semai ke dalam awan supaya proses fisika terjadi di dalam awan itu sehingga membuat proses terjadinya hujan jadi lebih cepat.

"Artinya karena kita semai maka awan itu bisa jatuh menjadi hujan lebih dulu di tempat yang memang sengaja kita arahkan," ujar Budi.

Terkait soal pawang hujan yang jadi pertanyaan banyak orang, Budi menuturkan dia tidak ingin berpolemik dalam masalah itu. Budi mengaku hanya ingin memberikan edukasi kepada masyarakat.

"Kembali kepada keyakinan masing-masing ya. Ibaratnya begini, orang sakit itu ada yang datang ke dokter atau ke rumah sakit. Tapi ada juga orang yang datangnya ke tabib atau tempat-tempat pengobatan alternatif. Kira-kira begitulah."

(mdk/pan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP