Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Pemilu serentak, belajar dari kekonyolan dan kearifan

Pemilu serentak, belajar dari kekonyolan dan kearifan MK. ©2013 Merdeka.com/Imam Buhori

Merdeka.com - Mahkamah Konstitusi membuat putusan penting, Rabu (23/1) kemarin. Lembaga peradilan konstitusi ini menyatakan, bahwa pemilu serentak adalah konstitusional. Sebaliknya, model penyelenggaraan pemilu selama ini tidak sesuai dengan UUD 1945.

Yang dimaksud pemilu serentak oleh MK adalah pemilu untuk memilih anggota DPD, DPR , DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, atau biasa dikenal dengan istilah pemilu legislatif, yang diselenggarakan berbarengan waktunya dengan pemilu presiden.

Meskipun MK menilai bahwa penyelenggaraan pemilu selama ini – di mana pemilu legislatif diselenggarakan terlebih dahulu, baru kemudian disusul pemilu presiden – tidak konstitusional, MK masih menolerir Pemilu 2014 masih diselenggarakan terpisah antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden.

Alasannya, jika pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan dalam waktu bersamaan pada Pemilu 2014, maka akan timbul kekacauan, karena persiapan-persiapan teknis belum dilakukan. Sementara proses penyelenggaraan pemilu legislatif sudah berjalan jauh, yang kini memasuki tahapan kampanye.

Putusan MK ini mengundang kritik keras dari para politisi yang ingin agar pemilu serentak dilakukan secepatnya. Katanya, MK tidak konsisten karena membiarkan pelanggaran konstitusi pada Pemilu 2014. Bahkan para ahli tata negara bilang, MK tidak hanya melanggar putusannya sendiri, tetapi juga melanggar konstitusi.

Tetapi rupanya MK belajar dari kekonyolan dan kearifan putusan sebelumnya. Putusan konyol itu terdapat dalam Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 yang dikeluarkan oleh MK pada Desember 2008; sedang putusan arif terdapat dalam Putusan MK No 11-17/PUU-I/2003, yang dikeluarkan MK pada Februari 2004. Yang satu menjelang Pemilu 2009, sedang yang satunya lagi menjelang Pemilu 2004.

Amar Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan, bahwa penetapan calon anggota legislatif terpilih sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2008 – yang menyatakan bahwa calon terpilih ditetapkan berdasarkan BPP 30 persen atau nomor urut – dinyatakan melanggar konstitusi.

Meskipun amar putusan itu tidak pernah menyatakan bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, Ketua MK Mahfud MD secara terbuka mendesak KPU untuk membuat peraturan yang menyatakan bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Secara hukum dan teknis pemilu, putusan MK itu mengandung banyak masalah, sehingga mengundang perdebatan di lingkungan ahli pemilu dan hukum tata negara. Namun bukan di situ masalah utama putusan tersebut, melainkan pada implementasinya.

Putusan itu dibacakan pada 22 Desember 2008, saat mana Pemilu 2009 sudah menempuh beberapa tahapan: penetapan daerah pemilihan, pendaftaran pemilih, pendaftaran partai politik peserta pemilu, pencalonan, dan kampanye. Dengan kata lain daftar calon anggota legislatif sudah ditetapkan oleh KPU .

Menurut UU No 10/2008 daftar calon itu diajukan partai politik yang disusun berdasarkan nomor urut. Di sinilah masalahnya, daftar calon disusun berdasar nomor urut, tetapi menurut MK calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Dalam praktik pemilu di manapun, jika daftar calon disusun berdasarkan nomor urut, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pula.

Oleh karena itu, jika mau konsisten dengan putusannya MK mestinya juga mengubah pasal UU No 10/2008 yang mengatur daftar calon berdasarkan nomor urut menjadi daftar calon berdasarkan abjad, atau berdasarkan hasil undian. Tetap jika hal itu dilakukan, berarti MK harus memaksa KPU dan partai politik untuk menyusun kembali daftar calon. Tentu saja hal ini berdampak pada pelaksanaan jadwal pemilu berikutnya.

Para ahli dan pelaksana pemilu dipaksa MK mengabaikan prinsip pengaturan pemilu yang baik dan benar itu. Tidak apa karena MK yang posisinya setengah dewa itu memang bisa membuat keputusan macam apa saja, meskipun mereka tidak paham atas implikasi-implikasi atas pelaksanaan.

Atas putusan MK bahwa calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak itu segera mengubah perilaku partai politik dan calon dalam proses pemilu berikutnya pada Pemilu 2009. Partai politik menjadi kehilangan kendali atas gerakan calon-calonnya, karena para calon melakukan kampanye seintensif dan semasif mungkin demi meraih suara terbanyak.

Mereka mengabaikan program partai, juga etika mencari suara, sehingga sikut-sikutan antarcalon dalam satu partai tidak terhindarkan. Akibatnya politik uang merajalela pada masa pemilu, dan jumlah calon yang jatuh miskin dan gila meningkat pada pascapemilu. Para bajingan dan orang populer pun lebih banyak menguasai kursi parlemen. Inilah buah kekonyolan putusan MK yang mengubah aturan main pemilu di tengah-tengah proses penyelenggaraan pemilu.

Semua itu kontras dengan Putusan MK No 11-17/PUU-I/2003, yang dibacakan oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie pada Maret 2003. Dalam putusan ini MK membatalkan salah satu pasal dalam UU No 12/2003 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2004. Pasal yang dinyatakan inkonstitusional adalah pasal yang melarang orang-orang yang terlibat organisasi terlarang dan peristiwa G 30 S/PKI untuk menjadi calon anggota legislatif.

Tetapi Jimly dkk menyadari, pasal itu tidak bisa segera diterapkan, karena pada saat dibacakan pada 24 Maret 2004, tahapan Pemilu 2004 sedang berjalan. Daftar calon sudah ditetapkan, bahkan sudah memasuki tahapan kampanye. Oleh karena itu dalam amar putusannya MK minta putusan ini baru berlaku pada pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2009.

Coba Anda bayangkan, kalau saat itu MK pimpinan Jimly memaksakan KPU agar daftar calon diubah untuk menampung kemungkinan tampilnya orang-orang yang tadinya dilarang menjadi calon. Pemilu pasti kacau balau. Dalam hal ini, Jimly dkk mengambil keputusan lebih arif karena memperhitungkan implikasi pelaksanaannya.

Berbeda dengan Mahfud MD dkk yang memaksakan penerapan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak di tengah tahapan-tahapan yang berjalan. Karena itu putusan MK saat itu sesungguhnya juga punya kontribusi atas amburadulnya penyelenggaraan Pemilu 2009.

(mdk/tts)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Jimly Asshiddiqie: Penggunaan Hak Angket Pemilu Jangan Melebar ke Pemakzulan Presiden
Jimly Asshiddiqie: Penggunaan Hak Angket Pemilu Jangan Melebar ke Pemakzulan Presiden

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie meminta anggota DPR RI tak mempelebar penggunaan hak angket menjadi pemakzulan Presiden.

Baca Selengkapnya
Isu Pemakzulan Jokowi Cuma Taktik Pengalihan Isu
Isu Pemakzulan Jokowi Cuma Taktik Pengalihan Isu

Ia menduga, wacana pemakzulan mungkin adalah taktik pengalihan isu atau refleksi kekhawatiran pendukung calon lain akan kekalahan.

Baca Selengkapnya
Ketua MKMK Ingin Batalkan Putusan MK Tambah Syarat Capres dan Cawapres, Tapi Apa Bisa?
Ketua MKMK Ingin Batalkan Putusan MK Tambah Syarat Capres dan Cawapres, Tapi Apa Bisa?

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengaku belum yakin dapat membatalkan putusan MK.

Baca Selengkapnya
Jokowi: Saya Tidak akan Berkampanye
Jokowi: Saya Tidak akan Berkampanye

Hal ini disampaikan Jokowi menjawab kabar yang menyebutkan dirinya akan ikut kampanye akbar terakhir pada 10 Februari 2024.

Baca Selengkapnya
Jokowi Benar-Benar Tak Ikut Kampanye, Ini Respons Ganjar
Jokowi Benar-Benar Tak Ikut Kampanye, Ini Respons Ganjar

Calon Presiden nomor urut 03 Ganjar Pranowo mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang tidak langsung terlibat dalam kampanye salah satu paslon Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Jimmly Asshidiqie Kaget, Banyak Jenderal Ikut Demo Pemilu
VIDEO: Jimmly Asshidiqie Kaget, Banyak Jenderal Ikut Demo Pemilu "Ini Pertama Kali"

Jimmly melihat, lebih banyak para jenderal dan guru besar yang berdemo, dibandingkan para mahasiswa

Baca Selengkapnya
Mahfud Yakin Jimly Asshiddiqie Cs Kredibel Usut Dugaan Pelanggaran Etik Hakim MK
Mahfud Yakin Jimly Asshiddiqie Cs Kredibel Usut Dugaan Pelanggaran Etik Hakim MK

MKMK itu dibentuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik putusan batas usia capres cawapres.

Baca Selengkapnya