Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tersebab 'tafsir' Ahwa dalam AD/RT

Tersebab 'tafsir' Ahwa dalam AD/RT Ketua PBNU Said Aqil Siraj. ©2014 merdeka.com/dwi narwoko

Merdeka.com - Sistem Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) untuk pemilihan rois aam dalam Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, ditolak salah satunya disebabkan sistem tersebut dianggap melanggar AD/RT organisasi. Sejumlah Pengurus Cabang NU (PCNU) paling getol menyuarakan penolakan tersebut.

Seperti disampaikan Dewan Mustasyar PCNU Kabupaten Probolinggo dan Kota Kraksaan, Hasan Aminudin. Hasan, yang juga Anggota Komisi VIII DPR itu mengatakan sistem Ahwa bisa melecehkan rais syuriah. "Ahwa melecehkan rais syuriah seluruh Indonesia. Itu yang pertama. Yang kedua, itu melanggar AD/ART. Kalau mau menerapkan Ahwa, ubah dulu AD/ART, baru diterapkan lima tahun mendatang kalau disetujui muktamirin (peserta muktamar)," ujarnya beberapa waktu lalu.

Dalam Muktamar di Jombang kali ini, mantan bupati Probolinggo dua periode ini pun mengaku terang-terangan mendukung mantan Ketum PBNU Hasyim Muzadi, sebagai rais aam. Dia juga mengajak seluruh rais syuriah se-Indonesia untuk mendukung kiai yang pernah mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati pada 2004 lalu itu.

Sementara untuk calon ketua tanfidziyah, Hasan mengaku masih istikharah di antara tiga nama, yaitu; Salahuddin Wahid atau Gus Solah (Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang), Said Aqil Siradj (Ketum PBNU sekarang), dan As'ad Said Ali (Waketum PBNU). "Tapi kalau untuk rais aam, ndak boleh digugat, Kiai Hasyim," kata Hasan sambil menegaskan 70 persen rais syuriah seluruh Indonesia menolak Ahwa.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj membantah bila sistem Ahwa melanggar AD/RT. Dia menjelaskan, AD/RT NU pasal 41 ayat (1) huruf (a) itu bunyinya seperti ini, rais am dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaannya.

Jadi, dia melanjutkan, ada dua mekanisme yang bisa dijadikan opsi pemilihan dan penetapan rais am, yakni musyawarah mufakat dan pemungutan suara. "Musyawarah mufakat itu dalam terminologi kitab kuningnya ya disebut Ahwa. Itu sangat islami, dan dipakai oleh Khulafaurasyidin seperti itu. Mereka dipilih oleh orang-orang alim, bukan voting atau demokrasi. Kalau demokrasi itu kan konsep barat," ujar Said menjelaskan.

NU menggunakan voting, kata Said, itu terjadi tatkala organisasi Islam terbesar di Indonesia itu menjadi partai. "Dan perlu diketahui Ahwa ini terbukti membawa NU berkualitas. Misalnya waktu tahun 80-an ketika Gus Dur menjadi ketua PBNU menggantikan Pak Idham yang sudah 28 tahun menjadi ketua PBNU."

Said menduga, tentangan terhadap sistem Ahwa itu karena ada orang yang merasa terhalangi untuk maju sebagai rais aam maupun ketua tanfidz. "Kalau voting dia optimis menang, tapi kalau menggunakan kiai sepuh merasa pesimis, tidak menang. Orang kok mati-matian mengejar jabatan rois aam, padahal kiai dulu menolak. Apalagi sampai kampanye," katanya.

Dulu pada tahun 71-an, Said menceritakan, waktu Kiai Wahab Chasbullah sebagai rois aam sakit, Kiai Bisri Syansuri diajukan untuk menggantikannya. Namun Kiai Bisri menolak. "Selama Kiai Wahab masih ada, jangan saya. Kiai Bisri baru mau setelah Kiai Wahab almarhum. Itu tahun 71-an. Tawadluknya seperti itu," terang Said.

Kemudian Kiai Mahrus waktu akan terpilih sebagai rois aam juga lari pulang. "Kiai Mahrus bilang, 'bukan maqom saya jadi rois aam, itu jabatan sakral, rois aam itu benteng spiritual'. Jadi kriterianya dia harus wira'i, selain memiliki ilmu lebih, terutama dia harus ahli fiqih, harus alim dan perilakunya terjaga," terang Said menegaskan.

Kendati demikian, sistem Ahwa masih bisa berubah dalam Muktamar di Jombang nanti. Sebab sebelum pemilihan rois aam dilakukan, lebih dahulu sistem tersebut akan dikembalikan kepada Muktamirin (peserta rapat) untuk dibahas kembali. "Di sana masih terbuka untuk diubah kembali, apakah memakai Ahwa atau lewat voting," kata seorang panitia Muktamar yang menolak disebut nama.

Sistem Ahwa pernah dipakai dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada Desember 1984. Sistem Ahwa waktu itu dipakai untuk mengobati NU yang sedang sakit parah. Hasilnya Gus Dur terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, sementara Kiai Achmad Siddiq sebagai Rois Aam.

Dalam sistem Ahwa kali ini, sebanyak 546 pengurus cabang, wilayah, dan pengurus cabang istimewa, masing-masing mengusulkan maksimal sembilan ulama calon rois aam. Artinya, bila semua pengurus cabang, wilayah dan cabang istimewa itu mengusulkan sembilan nama ulama, maka akan ada 4.914 calon yang akan masuk ke panitia pemilihan.

"Tapi usulan bisa di bawah sembilan nama, boleh lima, empat. Dari nama-nama itu akan dirangking, nama ulama paling banyak diusulkan dia akan ada dirangking satu, kedua dan seterusnya. Mekanisme seperti itu akan dibuka secara transparan kepada peserta rapat, termasuk rangking dan lainnya." (mdk/mtf)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Qiyas Adalah Sumber Hukum Islam yang Keempat, Berikut Contohnya
Qiyas Adalah Sumber Hukum Islam yang Keempat, Berikut Contohnya

Qiyas dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain.

Baca Selengkapnya