Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tradisi bukan penghalang

Tradisi bukan penghalang sopir bemo pemilik perpustakaan berjalan. ©2016 merdeka.com/marselinus

Merdeka.com - "Suatu saat, buku akan menjadi barang antik. Dicari orang seperti benda-benda koleksi lainnya," kata Adi (39), seorang pedagang buku di pasar loak, Kwitang, Jakarta Pusat.

Apa yang dikatakan Adi juga menjadi potret umum di Jakarta. Tradisi membaca buku belum menjadi suatu kebutuhan yang penting. Warga yang mencari buku di jejeran lapak ini kebanyakan anak sekolah atau mahasiswa.

Jakarta dan Indonesia pada umumnya memang belum terlihat seperti kota-kota maju lainnya di dunia. Warga masih nyaman dengan ponsel pintar buat mengakses informasi, ketimbang membaca buku. Baca buku masih menjadi konsumsi elite para kaum kutu buku atau mereka yang masih masih duduk di bangku pendidikan.

Orang lain juga bertanya?

Tradisi membaca di Indonesia sangat jauh dengan Jepang, Korea, China, Amerika dan negara-negara di Eropa. Di sana, sangat mudah menemukan warga tengah khusyuk membaca buku, entah itu dalam bus, kereta api, taman, hingga dalam toilet sekalipun.

Data UNESCO pada 2012 lalu memperlihatkan indeks minat baca di Indonesia. Menurut mereka, dari jumlah seribu penduduk Indonesia, hanya satu orang yang punya minat baca. Maka bisa dibayangkan dari penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta, peminat baca tidak seberapa.

Kepala Kantor Perpustakaan RI, Sri Sularsih pada 2015 mengatakan, 90 persen penduduk Indonesia usia sepuluh tahun lebih gemar menyimak televisi. Sedangkan sepuluh persennya baru tercacat mempunyai kebiasaan membaca buku.

Dibandingkan negara maju, kata Sri, warga umumnya gemar membaca 20 hingga 30 judul buku dalam setahun. Sebaliknya, Indonesia paling banyak tiga judul dalam setahun. Itupun pada usia 0 sampai sepuluh tahun.

"Artinya minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah," kata Sri dalam acara Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca di Yogyakarta, seperti dilansir dari Antara.

Pakar pendidikan, Arif Rahman menilai, rendahnya minat baca ini tak lepas dari kebudayaan Indonesia. Tradisi menularkan pengetahuan di masa lalu lebih berbentuk lisan, bukan melalui tulisan.

"Saya menduga ini karena tradisi kita itu lisan ya, bukan aksara," kata Arif kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.

Buku murah, solusi yang tak seimbang

Nursyda Syam dari Klub Baca Perempuan menilai, faktor minimnya minat baca di Indonesia disebabkan oleh dua hal. Pertama, oleh kurangnya ketersediaan buku. Kedua, masyarakat Indonesia masih menganggap sebelah mata manfaat membaca buku.

"Kondisi umumnya demikian ya, meski ada potensi akan meningkat dari segi jumlah tapi kita masih memikirkan hal yang cepat mendatangkan uang ketimbang membaca buku," kata Nursyda kepada merdeka.com.

Minimnya ketersediaan buku berbanding lurus dengan harga buku di Indonesia yang tergolong mahal. Mahalnya sebuah buku kadang menjadikan alasan kenapa minat baca buku itu kurang. Maka pasar loak seperti di Kwitang menjadi alternatif.

Lapak buku di Kwitang merupakan salah satu penyedia buku ramah dompet di Jakarta. Di sini, kita dengan mudah mendapatkan buku-buku dengan harga sangat miring.

Navira (22), seorang mahasiswa jurusan sastra di sebuah universitas di Bekasi mengaku suka mencari buku di Kwitang karena harganya sangat murah. Selain itu, kata dia, terkadang koleksi mereka lebih lengkap ketimbang toko-toko buku.

"Novel ini saya cari di toko buku tapi tidak dapat. Di sini baru saya dapat," kata Navira sembari memperlihatkan sebuah novel berjudul 'Anak Perawan di Sarang Penyamun', karya sastrawan angkatan 1960-an, Sutan Takdir Alisjahbana.

sopir bemo pemilik perpustakaan berjalan

Merdeka.com sempat menawar sebuah novel karya Dewi Lestari, 'Inteligensi Embun Pagi', terbit pada 2016. Harganya sangat murah. Awalnya dijual Rp 50 ribu. Setelah negosiasi, buku itu akhirnya dilego Rp 30 ribu. Padahal di toko buku harganya sekitar Rp 170 ribu.

Meski murah, terkadang ada hal yang tidak enak didapatkan dari buku murah. Terkadang kondisinya yang tidak bagus, seperti kertas lusuh, halaman buku tidak lengkap, hurufnya kabur, hingga lembaran-lembaran yang mudah copot.

Buku-buku dijual Adi kebanyakan merupakan buku lama. Dia menjualnya di pinggir jalan. Lelaki asal Medan itu sesekali mengibas debu di dagangannya dengan kain di tangannya. Dia mengaku buku-buku itu dibelinya dari seorang warga kebetulan pindah rumah.

Seperti kata Nursyda, Indonesia masih minim dalam ketersediaan buku, keberadaan pasar murah seperti di Kwitang berperan meningkatkan minat baca di Jakarta dan Indonesia. Paling tidak, buku bukan menjadi barang antik yang susah didapat, tapi dicari karena manfaatnya.

(mdk/ary)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Ciri-ciri Musik Tradisional dan Modern, Lengkap Beserta Contohnya
Ciri-ciri Musik Tradisional dan Modern, Lengkap Beserta Contohnya

Dengan mengetahui ciri-ciri kedua jenis musik tersebut, seseorang bisa membedakan antara musik tradisional dan modern.

Baca Selengkapnya