OPINI: Tak Ada Bahasan Soal IKN dan Soal Kebebasan Pers dalam Pidato Presiden Prabowo
Kita tunggu apakah dua pokok wacana ini, soal IKN dan soal Kebebasan Pers, akan diangkat sang presiden anyar dalam pidato-pidato berikutnya.
Oleh: Darojatun
Pemimpin Redaksi merdeka.com
Salah satu catatan penting dalam visi hubungan luar negeri Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pertamanya usai pelantikan dan pengambilan sumpah di hadapan parlemen kita, Minggu (20/10/2024), adalah petikan dari pepatah, ”Seribu kawan terlalu sedikit tapi satu lawan saja sudah terlalu banyak…”
Pidato Prabowo yang membentang lebih dari 35 menit sungguh memikat dan langsung menggambarkan bagaimana dirinya sungguh tulus dan berhati bersih, mengutip ucapan ketua MUI, Anwar Iskandar, sebelum pembacaan doa dalam acara pelantikan tersebut. Well, dalam catatan penulis ada enam pokok pikiran utama yang coba di-highlight oleh presiden kita itu.
Pokok-pokok utama pidato perdana presiden Republik Indonesia ke-18 itu adalah menyoal (1) Pemimpin bangsa seharusnya menjadi pelayan kepentingan rakyat terutama soal gizi pangan, (2) Jangan ada kemunafikan dari para pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan, (3) Solidaritas sosial antara anak bangsa di dalam negeri dan kepada negeri lain harus diteruskan sebagai hasil pelajaran tak enaknya bangsa kita yang pernah dijajah dan ditindas bangsa lain pernah direndahkan, (4) Peningkatan pendapatan negara lewat hilirisasi yang harus diteruskan agar kita tidak terus menerus menjual murah komoditas produk negara kita.
Sementara itu menyoal tatanan politik dalam negeri dalam konteks kilas balik dan harapan ke depan, Presiden Prabowo menyingkap pandangannya dan keinginannya agar (5) Tidak ada lagi hubungan politik yang diwarnai kebencian dan adu domba, dan sorotannya pada (6) Kebijaksanaan dan kenegarawanan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maaruf Amin dalam proses transisi pemerintahan yang membuat suasana tetap sejuk di tengah banyaknya agitasi-agitasi parsial di tengah publik.
Sebanyak enam pokok pemikiran Presiden Prabowo ini mengingatkan penulis pada sebuah teori transisi politik damai versi Guillermo O’Donnell. O’Donnell (1936-2011) adalah seorang ahli politik asal Argentina yang dikenal luas karena kontribusinya dalam studi tentang transisi politik, demokrasi, dan sistem otoriter.
*Tiga Elemen Transisi O’Donnell*
Meski dalam sejumlah literatur yang dihasilkannya membahas kajian transisi dalam pengertian perubahan dari rezim otoriter ke rezim demokratis, tapi penulis perlu menegaskan bahwa tidak seperti itu perubahan yang terjadi mewarnai perpindahan kuasa pemerintahan eksekutif dari Jokowi kepada Prabowo. Konteksnya justru adalah “penyempurnaan praktik demokrasi”.
Teori “transisi demokratis” O’Donnell mengemukakan bahwa tiga elemen transisi politik tidak harus selalu berlangsung dengan kekerasan; namun bisa juga terjadi melalui negosiasi damai antara aktor-aktor politik. Proses ini sering kali melibatkan langkah-langkah dialog untuk menciptakan konsensus tentang masa depan politik serta mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam proses politik.
Satu-satunya komponen dari tiga transisi demokratis O’Donnell yang tidak diperlukan untuk muncul di Indonesia pada saat ini adalah reformasi institusional yang mengharuskan terjadinya penyesuaian struktur dan lembaga politik untuk memfasilitasi demokratisasi.
Kenapa? Karena Indonesia tidak beralih dari sebuah rezim otoriter tapi justru melanjutkan sebuah proses demokrasi yang sempat mengalami perlambanan bila dipandang dari turunnya indeks demokrasi Indonesia dan melemahnya proses penegakkan hukum dalam paruh kedua era kepemimpinan Jokowi.
Karya O’Donnell yang terkenal dan banyak kesesuaian dengan era transisi saat ini adalah sebuah buku berjudul "Transitions from Authoritarian Rule" (1986), yang membahas tentang mekanisme transisi serta tantangan yang dihadapi oleh negara-negara yang berupaya menuju perbaikan demokrasi.
Dalam catatan penulis, teori O'Donnell di atas menekankan pentingnya lingkungan sosial dan ekonomi dalam menentukan keberhasilan transisi ini. Untuk memahami lebih dalam mengenai transisi politik damai, para pembaca Merdeka.com dapat mengeksplorasi karya-karya O'Donnell, serta peneliti lain di bidang demokrasi dan transisi politik seperti Philippe Schmitter dan Larry Diamond.
*Menunggu Perpres soal IKN*
Kembali ke soal analisis harapan dan pandangan Presiden Prabowo ke depan yang tercermin dalam pidato perdananya pada Ahad ini, penulis tidak menangkap ada dua hal yang selama ini selalu mendengung di ruang publik soal kelanjutan nasib Ibu Kota Nusantara (IKN) yang masih membutuhkan sebuah perpres dari Prabowo untuk memastikan kepindahan sejumlah lembaga negara dan perwakilan pemerintahan asing dari Jakarta ke IKN.
Dalam UU IKN pasal 4 ayat 3 dinyatakan bahwa: “IKN menjadi tempat kedudukan bagi Lembaga Negara, perwakilan negara asing dan perwakilan organisasi/lembaga internasional.” Dijelaskan juga bahwa nantinya Presiden harus berkonsultasi dengan DPR dalam memindahkan ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta ke wilayah IKN di Kaltim, dengan pemindahan status ibu kota akan dilakukan pada Semester I -2024.”
Bunyi pasal 21 ayat 1 dari UU IKN juga berbunyi “Pada tanggal diundangkan Peraturan Presiden tentang pemindahan status Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), seluruh Lembaga Negara secara resmi berpindah kedudukannya dan mulai menjalankan tugas, fungsi dan perannya secara bertahap di IKN.”
Nah, pada realitasnya Perpres No 62 tahun 2022 memang belum membahas hal-hal teknis soal status peralihan ibu kota negara tapi sekadar membahas mengenai ketentuan operasional Otorita Ibu Kota Nusantara. Penulis percaya bahwa pada saatnya nanti Presiden Prabowo akan merilis perpres teknis soal pemindahan ibu kota negara yang hingga 20 Oktober 2024 belum disahkan, akan ditandatangani dan diterbitkan.
Publik pun bertanya-tanya apakah peraturan turunan yang menjadikan UU IKN menjadi sebuah realisasi operasional memungkinkan kelak Presiden Prabowo dapat menunda jadwal, mengubah garis waktu, hingga menyesuaikan alih status ibu kota negara dari Jakarta ke IKN? Tentu saja bisa.
*Ruang Kebebasan untuk Pilar Keempat Demokrasi*
Penulis percaya, bahwa Presiden Prabowo kelak akan tetap menjalankan UU IKN di tengah romantika transisi pemerintahan Jokowi-Prabowo soal aspek politis dan ekonomi IKN. Hingga kolom ini dibuat, wacana untuk mengatur agar defisit anggaran dalam RAPBN 2025 naik ke 2,8%, dari batas maksimal 3% menurut UU Keuangan, memperlihatkan bahwa tim ekonomi Presiden Prabowo sedang mengupayakan jalan tengah agar Ibu Kota Nusantara dan program Makan Bergizi Gratis terus bisa berjalan beriringan.
Selain soal IKN, satu hal lagi yang juga tidak terulas dalam pidato Presiden Prabowo adalah soal pandangan beliau mengenai sikap pemerintah ke depan terkait kebebasan pers. Bukan rahasia lagi bahwa saat ini dunia penyiaran dan penerbitan pers sedang kembang-kempis dalam hal bisnis karena kue iklan media arus utama terus tergerus kehadiran media sosial yang berpilarkan para influencer serta sejumlah pelaksanaan event hybrid onsite dan online.
Dalam kondisi ini insan media yang masih terkait dengan pelaksanaan dan pemaknaan UU Pokok Pers nomo 40 tahun 1999 dan etika jurnalistik jelas makin terpojok.
Selain harus tetap berhati-hati mendulang pendapatan melalui iklan dan kerjasama dalam kondisi bisnis yang tidak mudah ini, pada hakekatnya media mainstream juga harus tetap memiliki ruang gerak bebas yang mengembalikan fungsinya sebagai check and balances institution, sebagai pilar keempat demokrasi selain Pemerintahan (Eksekutif), DPR (Legislatif) dan lembaga kehakiman seperti Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung (Yudikatif).
Media cetak, elektronik (radio dan televisi) serta media online, harus tetap memiliki kebebasan dalam menyertakan suara masyarakat sipil yang tidak tersampaikan melalui DPR dalam turut mengontrol jalannya pemerintahan. Kita bersama jelas menantikan apakah Presiden Prabowo juga memberikan ruang kebebasan berpendapat yang besar bagi masyarakat melalui media untuk memastikan transisi demokratis ala-ala O’Donnell di atas bisa berjalan lancar juga dengan melibatkan masyarakat sipil dalam proses politik.
Kita tunggu apakah dua pokok wacana ini, soal IKN dan soal Kebebasan Pers, akan diangkat sang presiden anyar dalam pidato-pidato berikutnya. Maju terus Indonesia menuju era keemasan 2045!