6 Ekor Komodo Hasil Perkawinan 'Rangga' dan 'Rinca' Dilepasliarkan di Habitat Aslinya
Komodo-komodo itu hasil breeding di Lembaga Konservasi TSI I Cisarua.
Enam ekor Komodo ini merupakan keturunan lahir atau menetas pada tanggal 27 Februari 2020
6 Ekor Komodo Hasil Perkawinan 'Rangga' dan 'Rinca' Dilepasliarkan di Habitat Aslinya
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem melakukan pelepasliaran biawak Komodo (Varanus komodoensis) sebanyak enam ekor.
Komodo-komodo itu hasil breeding di Lembaga Konservasi TSI I Cisarua, dengan dukungan dari PT Smelting-peleburan tembaga pertama di Indonesia, kembali ke habitatnya di Cagar Alam (CA) Wae Wuul, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (23/9).
Biawak Komodo sendiri merupakan spesies yang dilindungi undang-undang, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018, dan dikategorikan sebagai spesies Endangered dalam daftar merah IUCN.
Enam ekor Komodo ini merupakan keturunan lahir atau menetas pada tanggal 27 Februari 2020 dari indukan Komodo Jantan yang Bernama Rangga dan betina Bernama Rinca. Kedua indukan tersebut sampai dengan saat ini masih sehat dan produktif di fasilitas Lembaga Konservasi TSI Cisarua.
Menurut Direktur Jenderal KSDAE KLHK Satyawan Pudyatmoko, Lembaga Konservasi Taman Safari Indonesia Cisarua di bawah supervisi dari Direktorat Jenderal KSDAE telah melakukan upaya penyiapan enam ekor Komodo tersebut sejak lahir untuk dapat dilepasliarkan ke habitat alaminya melalui berbagai perlakuan.Antara lain berupa pembatasan perjumpaan dengan manusia, pola pemberian makanan yang dapat melatih insting berburu mangsa (hidup), dan menciptakan rona lingkungan seperti adanya pohon untuk memanjat sebagaimana di habitat alaminya.
Satyawan Pudyatmoko menambahkan, penilaian kesiapan enam ekor Komodo untuk dilepasliarkan juga dilakukan dengan bantuan ahli dari pusat penelitian ekologi terapan BRIN, dengan indikator antara lain, agresifitas dan keliaran, berburu dan memakan mangsa, memanjat pohon dan adaptasi.
Dia menjelaskan, pemilihan lokasi pelepasliaran ke habitat alam di Cagar Alam Wae Wuul juga dilakukan atas dasar hasil kajian pemetaan genetik (haplotype) dimana dari hasil kajian tersebut diketahui bahwa ke enam individu tersebut secara genetik berasal dari populasi biawak Komodo yang ada di CA Wae Wuul.
Selain itu telah dilakukan pula survei lapangan untuk melihat kondisi habitat, ketersedian pakan, keamanan dari gangguan dan beberapa indikator lainnya yang penentuannya telah melibatkan ahli dari BRIN.
"Pelepasliaran ke enam ekor Biawak Komodo ini juga telah melalui upaya adaptasi selama kurang lebih 40 hari mulai tanggal 15 Agustus sampai dengan tanggal 23 September 2023 di Kandang Habituasi dalam Kawasan CA Wae Wuul,"
ujarnya.
merdeka.com
Proses habituasi tersebut bertujuan agar ke enam Biawak Komodo tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan mampu untuk bertahan hidup di alam liar yang dilakukan antara lain dengan meminimalisir kontak fisik/visual dengan manusia, meminimalisir modifikasi kandang habituasi atau mempertahankan suasana lingkungan alami, dan meningkatkan pengamatan.
Berdasarkan hasil pemantauan selama proses habituasi, keenam Biawak Komodo tersebut menunjukkan catatan yang cukup baik dalam beberapa indikator yang menjadi parameter kesiapan untuk dilepasliarkan. Yaitu agresivitas, kemampuan adaptasi terhadap cuaca, kemampuan menghindari predator, dan insting berburu.
Selain itu, sebagai upaya edukasi terhadap generasi muda dan Masyarakat terkait pentingnya upaya konservasi satwa Biawak Komodo sebagai satwa nasional Indonesia yang dilindungi Undang-undang beserta pelestarian habitatnya, telah dilakukan pula kegiatan-kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, pelajar, dan para pihak terkait di Kabupaten Manggarai Barat serta di sekitar CA Wae Wuul pada tanggal 13 Juni 2023 berlokasi Dusun Menjaga Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo.
Pihaknya akan tetap dilakukan monitoring secara terus menerus selama 3 (tiga) tahun melalui pemantauan data yang diambil dari GPS telemetry yang telah dipasang pada ke enam ekor Biawak Komodo yang dilepasliarkan tersebut, dan pemantauan melalui kamera trap yang akan dipasang di lokasi CA Wae Wuul.
Menurut Pudyatmoko, pelepasliaran ini merupakan bukti nyata bahwa konservasi exsitu dapat mendukung konservasi in-situ, atau dikenal dengan strategi ex-situ linked to in-situ.
Dia berharap agar Komodo yang dilepasliarkan ini dapat mendukung kelestarian dan peningkatan populasi komodo di habitat aslinya.