AJI Semarang Buka Suara Soal Dugaan Intervensi Wartawan di Kasus Polisi Tembak Siswa SMK 4 Semarang
Terungkapnya dugaan keterlibatan wartawan dalam mengintervensi kasus ini bermula dari pengakuan seorang kerabat keluarga korban berinisial S.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam dugaan tindakan wartawan mengintervensi kasus GRO (17) pelajar ditembak polisi agar tidak dibuka ke publik.
Terungkapnya dugaan keterlibatan wartawan dalam mengintervensi kasus ini bermula dari pengakuan seorang kerabat keluarga korban berinisial S.
Kronologi Wartawan Intervensi
Keluarga mengaku usai terjadinya peristiwa penembakan yang menewaskan almarhum GRO, didatangi Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar bersama seorang wartawan bercirikan berbadan gempal, Selasa (3/12).
Perwakilan keluarga ini telah ditunjukkan foto seorang wartawan yang dimaksud dan dia membenarkan.
Dalam pertemuan tersebut, keluarga GRO diminta oleh polisi dan wartawan ini untuk menandatangani surat pernyataan serta video yang intinya mereka sudah mengikhlaskan kematian almarhum.
Namun keluarga menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Alasan keluarga menolak karena pernyataan Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar tidak sesuai fakta sebenarnya.
Respons AJI
Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan mengatakan, perbuatan jurnalis atau wartawan yang berusaha menutupi peristiwa kematian GRO merupakan tindakan serius yang menciderai profesi jurnalis.
Tindakan tersebut juga jauh dari semangat elemen jurnalisme yakni jurnalis harus menyampaikan kebenaran pada sebuah pemberitaan tanpa adanya kepentingan tertentu.
"Tindakan cawe-cawe jurnalis dalam kasus GRO berpotensi menyalahi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik," kata Aris, Selasa (3/12).
Dalam Pasal 4 UU Pers menyebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers maka pers nasional memiliki hak mencari, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Namun, wartawan ini dalam kasus GRO malah ada upaya menghalang-halangi sesama rekan jurnalis untuk meliput kasus tersebut.
Dalihnya, Kapolrestabes Semarang akan merilis kasus tersebut tetapi selepas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Di dalam Pasal 18 UU Pers sudah sangat jelas tertulis Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kerja pers secara melawan hukum dapat dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
"Mirisnya, potensi pelanggaran ini malah dilakukan oleh wartawan itu sendiri," ungkapnya.
Selain itu, upaya intervensi wartawan terhadap kasus Gamma tidak sesuai dengan kode etik AJI meliputi jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka.
Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
"Sikap dari wartawan itu sangat jauh dari tanggung jawabnya sebagai seorang wartawan," ujarnya.
Menurutnya kasus ini menjadi tamparan keras bagi wajah jurnalisme di Semarang. Agar jurnalis memiliki prinsip keberpihakan kepada publik, kebenaran, dan keadilan.
"Tugas jurnalis juga sudah diikat dalam UU Pers dan Kode Etik sehingga jurnalis diminta supaya menaati rambu-rambu tersebut. Wartawan bukan Humas Polri," tandasnya.