Jalan Hilir Jokowi
Setelah merebut hulu, Jokowi merangsek ke hilir. Dan ini bukan hanya tentang kedaulatan, ini tentang cara berdagang ribuan lowongan bagi kita
Setelah merebut hulu, Jokowi merangsek ke hilir. Dan ini bukan hanya tentang kedaulatan, ini tentang cara berdagang, ribuan lowongan bagi kita, dan tentang terbang tinggi yang pada masa liberalisasi ini, memang memerlukan nyali.
Dan inilah mantra baru itu. Hilirisasi. Terdengar asing bagi telinga kita, tapi belakangan kian sering jadi perdebatan di layar televisi, begitu banyak podcast, halaman media massa, obrolan kaum pedagang, hingga tuan-tuan di negeri jauh di belahan jagat Eropa. Mereka geram. Lalu menggugat. Menyeret kita ke hadapan organisasi perdagangan dunia.
Apa gerangan hilirisasi ini. Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo, yang memantik angkara murka para pemimpin dari benua makmur itu. Penjelasan bisa panjang lebar. Tapi marilah kita memahami hilirisasi ini, sesederhana kita memahami pisang goreng, yang kita kudap bersama kawan, bersama secangkir kopi, mungkin dengan satu telapak kaki nangkring bahagia di atas kursi.
Bayangkan jika kita hanya menjual pisang. Meski kita tahu bahwa sekian merek pisang goreng, yang kita beli pada sebuah kedai, yang membuat pemilik bisnis ini meraup uang segunung, bukan karena mereka punya hamparan kebun, atau bahkan sehimpun pohon pisang pun tak punya, tapi karena mereka pintar mengolah sang pisang. Menginfus nilai tambah pada setandan. Untung lebih besar. Muka mereka lebih glowing.
Berapa nilai tambah dari dagang pirang goreng ini. Atau pisang sale. Njelimet, tapi tak sulit menghitungnya. Orang-orang pintar negeri ini sudah mereken. Masuk saja ke mesin pencari. Ketik nilai tambah pisang goreng. Kita akan bertemu dengan begitu banyak materi skripsi, riset dan penelitian. Ada periset yang menghitung nilai tambah itu sekitar Rp4000/kg. Tinggal kali bagi. Berapa kilogram pisang yang tandas dalam sehari.
Lalu bayangkan, jika semua hasil bumi nusantara ini, yang sekian puluh tahun dikirim mentah-mentah ke negeri tuan-tuan yang sewot itu, kita olah dulu sebelum dilabuh. Untung berlipat kali. Kita sebut dua barang saja. Kita mulai dari barang yang membuat Jokowi, belakangan ini seperti dikeroyok 27 negara. Dikecam oleh mereka yang sudah sekian puluh tahun ini kaya raya dari mengolah isi perut tanah kita: Nikel.
Apa gerangan sih Nikel ini? Mari kita mendengar kaum ahli. Baca buku berjudul Nikel Indonesia. Ditulis oleh Irwandy Arif. Dia lulusan Sarjana Teknik Pertambangan ITB. Master dalam bidang teknik industri. Meraih gelar master dan doktor bidang teknik pertambangan di negeri Prancis. Seorang professor. Sempat jadi dekan. Berpuluh tahun menggali ilmu dari perut bumi. Nikel, kata Irwandy, adalah unsur logam. Ditemukan di kerak bumi. Penghantar listrik.
Dan, sesungguhnya kita hidup bersama si Nikel ini saban hari. Bersama kaki juga jemari. Mereka yang punya mobil atau motor, tentu akrab dengan benda-benda ini: bumper, velg, dan knalpot. Jika kita melihat bagian luar ketiga benda itu agak mengkilap, itu karena ada campuran si Nikel itu. Dia juga jadi bahan penting untuk bikin Baterai. Dan Baterai berbahan Nikel ada di jemari kita. Bahan untuk smartphone, perkakas listrik, komputer portabel, dan mobil listrik yang hari-hari ini mulai hilir mudik. Di jalanan kota-kota kita.
Sudahkah bisa membayangkan nilai tambah si Nikel itu? Jika iya, mari memahami jalan pikiran Jokowi. Tentang hilirisasi itu. Dari kata dasar hilir. Lawan dari hulu. Sekian dasawarsa ini, kita jual si Nikel itu langsung dari hulu. Digali. Diproses. Lalu dikirim nun jauh kepada sekian pabrik di negeri orang dalam bentuk biji. Kita dapat uang dari situ. Oleh Jokowi cara dagang ini diubah. Kita olah dulu. Ekspor biji Nikel dihentikan.
Artinya, kita bikin pabrik sendiri? Persis. Tapi karena uang kita memang kurang, orang kaya dari negeri seberang tentu saja boleh investasi. Harus dibangun di atas tanah kita. Bukan di negeri orang. Dan Jokowi bergerak cepat. Bangun pabrik raksasa. Lokasinya di Batang, yang dijuluki kota pelabuhan. Pinggir pantai Jawa Tengah. Total lahan 4.300 hektare.
Luas sekali memang. Karena itu akan jadi kawasan terpadu. Pemodal asal Korea Selatan, Konsorsium LG sudah mengambil kapling 275 hektar. Mereka bangun pabrik baterai kendaraan. Kerjasama dengan BUMN kita. Total uang yang dibenamkan oleh kelompok ini sekitar Rp.142 triliun.
Pabrik itu sudah dibuka Presiden Jokowi. Pada 8 Juni 2022. Dalam hajatan peresmian itu, Jokowi bilang begini: ini adalah investasi pertama dunia yang sudah terintegrasi. Dari hulu hingga hilir. Dari gali tanah, dapat biji Nikel, bangun smelter pengolahan, prekusor pabrik katoda, baterai, hingga bangun pabrik mobil listrik. Keren to? Sudahlah. Angkat saja jempol kita untuk Jokowi. Toh kita akan nikmati. Uang negara akan banyak. Lagi pula, mungkin harga mobil listrik akan lebih murah.
Dan masih ada tambahannya. Apa itu? Pabrik daur ulang baterai. Semua dibikin di sini. "Dari hulu sampai hilir, end to end, semuanya dikerjakan," begitu Jokowi menjelaskan tentang rencana raksasa ini. Sanak saudara kita sudah bekerja di sana. Jumlahnya 20 ribu orang. Lalu bayangkan jika bejibun pemodal juga bangun pabrik di situ. Ribuan lowongan terbuka. Dan itu baru dari satu hasil isi tanah kita: Nikel.
Jalan hilir untuk Nikel ini, sesungguhnya sudah dihela semenjak empat tahun lalu. Tahun 2019. Hasil mencenggangkan pula. Mari melihat perbandingan. Melihat angka. Tahun 2018 nilai ekspor biji Nikel kita sebesar Rp.46,5 triliun. Setelah hilirisasi digeber, melangit menjadi Rp323 triliun tahun 2021. Dan jumlah itu terus terbang pada 2022. Sekitar Rp465 triliun.
Nilai ekspor yang berlipat kali itu, mendongkrak penerimaan negara. Simak angka-angka ini. Tentang sumbangan sektor mineral dan pertambangan. Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tahun 2021 sebesar 75 triliun. Melonjak menjadi 183 triliun pada 2022. Dan bilangan itu bakal terus menukik. Seiring kian banyak hasil bumi, yang diolah di negeri kita sendiri.
Angka-angka yang sumringah itu, memacu pemerintah mehilirisasi segala yang berharga dari dalam tanah kita. Ada Batubara, Bauksit, Tembaga, Timah, dan sekian benda yang selama ini bikin kita untung kecil, yang membuat kita terlihat sekadar sebagai ladang tambang bagi sekian negara makmur. Dan itu semua baru dari hasil bumi di kedalaman tanah. Belum lagi yang kita tanam. Di atas tanah negeri yang berjebah ini.
Mari membahas harta di atas tanah itu. Mendengar cerita tentang Minyak Kepala Sawit. Orang dagang menyebutnya Crude Palm Oil (CPO). Yang keturunannya ada di dapur kita. Minyak goreng, yang melezatkan tahu tempe di meja makan. Ada di kamar mandi kita. Dalam sabun batang, sabun cair, juga shampo pembasmi ketombe. Ada di meja rias istri kita. Face oil. Bikin wajah glowing. Remajakan muka. Fresh.
Dan beginilah kabar gembiranya. Dari semua negara di muka bumi ini, kita adalah raja sawit. Menguasai 59 persen pasar dunia. Disusul saudara serumpun. Malaysia menguasai 25 persen pasar. Separuh dari yang kita punya pun tak sampai.
Tapi inilah kabar nelangsanya. Untuk semua produk turunan Sawit, kita adalah price taker. Malaysia yang justru menjadi price maker. Semua produk turunan, kita beli dengan harga pasar internasinal. Malaysia yang memiliki barang turunan bebas mendikte. Yang kecil lebih punya otot, yang raksasa ringkih dan penurut. Miskin teruslah kita.
Kok bisa begitu?. Lagi-lagi soal cara berdagang tadi. Malaysia menggeber hilirisasi. Kita tidak. Cuma dihulu. Lewat hilirisasi itu, Malaysia bikin banyak kemasan produk. Dengan cara itu, si tetangga itu menang dihampir segenap medan laga. Untuk setiap produk turunan. Dan, lantaran kita terus-terusan kirim mentahan, jadilah kita seperti melindungi Malaysia dari persaingan dengan si nomor satu: ya, bangsa kita ini.
Memang sudah lama kita bikin hilirisasi. Cuma tak banyak. Hingga tahun 2011, dari lahan sawit kita yang begitu luas, barang turunan itu cuma 54 jenis. Malaysia masih unggul. Masa Jokowi digeber. Hingga tahun 2022, sudah ada 168 jenis produk hilir dari seantero Indonesia. Menyerap sekitar 5,2 juta tenaga kerja. Serta menghidupi sekitar 20 juta orang.
Bila terus digeber, tahun 2045 Indonesia bakal jadi pusat industri turunan minyak sawit dunia. Barang kita bakal tersaji di meja makan, kamar mandi, serta meja rias penduduk bumi. Seorang analis bisnis menghitung setidaknya 25 juta pekerja bakal terserap. Dari hulu hingga hilir. Persis itulah, visi 2045 Presiden Jokowi itu.
Masalah kita tinggal satu. Disandera masa lalu. Ini yang bikin kita susah move on. Karena terus direcoki tuan-tuan sekian negara maju itu. Menuduh kita tak setia. Lalu mendesak. Menyerang. Agar hilirisisasi itu dihentikan. Kita seperti gadis remaja yang terjebak pada ikatan perjodohan. Memilih cinta sendiri, itu berarti memilih hukuman. Kok bisa begitu?
Kita mundur sejenak ke 29 tahun silam. Tahun 1994. Ketika perjanjian itu diteken World Trade Organization (WTO). Sebuah organisasi perdagangan dunia. Anggotanya 164 negara. April 1994 itu, organisasi ini menyepakati apa yang disebut sebagai General Agreement on Tariffs and Trade. Disingkat GATT. Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan.
Hilirisasi yang digeber Jokowi, begitu tuduhan negara-negara kaya itu, melanggar Pasal 11 ayat 1 dari perjanjian itu. Pasal yang tidak membolehkan adanya larangan atau batasan perdagangan. Tidak boleh ada batasan kuota. Izin impor. Izin ekspor. Serta sekian batasan lain. Larangan ekspor biji Nikel berarti melanggar pasal itu. Kita dianggap tak setia.
Itulah sebabnya Uni Eropa membawa kita ke Dispute Settlement Body (DSB). Sebuah badan penyelesaian sengketa di WTO. Gugatan itu sudah masuk tahun 2020. Meski digertak hingga ke muka hakim, Jokowi pantang surut. Hilirisasi terus digeber. Bulan Oktober 2022, hakim ketuk palu. Kita kalah. Tapi Jokowi naik banding, Desember 2022.
Bola harusnya sudah di tangan Majelis Banding WTO. Kita menunggu. Tapi majelis itu belum bersidang. Dia tersandera juga. Sebab Amerika Serikat mendesak reformasi struktur majelis ini. Jadilah kita menunggu. Setidaknya hingga 2024. Itupun masih antre. Sebab kasus banding yang lama-lama belum juga tuntas. Kirsuh di tubuh majelis itu dijadikan celah oleh Jokowi. Hilirisasi terus dikebut.
Tapi senggolan berikutnya susul menyikut. Datang dari Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga keuangan dunia yang selama ini terkesan begitu murah hati memuji kita. Menyebut ekonomi Indonesia lebih kinclong ketimbang dunia. Presiden Jokowi, desak lembaga itu, perlu secara bertahap mencabut larangan ekspor Nikel. Sebab, "Kebijakan tidak boleh menjadi sandungan persaingan."
Tapi Jokowi jalan terus. Sebab dia tampaknya yakin, kirim barang mentah justru menyandung kita dalam banyak hal. Dalam kisruh Sawit, ekspor CPO menyebabkan hilangnya minyak goreng dari pasar hingga rak minimarket. Kirim biji Nikel menyandung kita, karena harga barang turunan jadi mahal. Itulah sebabnya, dalam Sidang Kabinet Paripurna, 3 Juli lalu, perintah Jokowi terang dan tegas. Hilirisasi jalan terus.
Dan, Jokowi menyadari gugatan di WTO tak bisa dianggap sepele. Juga senggolan IMF itu. Itulah sebabnya dia menambah jumlah kawan. Selain Jepang, China, dan Korea, Jokowi juga mengundang tetangga jauh dari tenggara, Australia. Saat bertamu ke Sydney awal Juli ini, dia bertemu para pemilik raksasa tambang. Tawarkan hilirisasi. Kerja bersama membangun pabrik baterai mobil listik.
Semenjak kita dijajah, hingga 79 tahun sesudah proklamasi, segenap hal dari dalam tanah, juga di atasnya, belumlah sepenuhnya untuk kita. Jokowi meliuk lewat hilir. Tidak mudah memang. Tapi bukankah tempat terhormat dalam ingatan anak dan cucu kita adalah para pahlawan, mereka yang bernyali, ketimbang kita yang membungkuk. Merdeka!