Kegelisahan Rakyat di Balik Kontroversi RUU TNI
Rakyat mengkritik sejumlah pasal krusial RUU TNI. Pembahasan RUU TNI ini, makin dikritik makin ngebut pembahasannya.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan usulan perbaikan atau revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), soal penambahan posisi kementerian dan lembaga menjadi 15 yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif. Penambahan itu diklaim sebagai bentuk penyesuaian dengan situasi dan keadaan saat ini.
“Jumlah 15 ini lebih banyak dari yang sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI, yaitu (1)kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, (2) Pertahanan Negara, (3) Sekretaris Militer Presiden, (4)Intelijen Negara, Sandi Negara, (5)Lembaga Ketahanan Nasional, (6)Dewan Pertahanan Nasional, (7) SAR Nasional, (8) Narkotik Nasional, dan (9) Mahkamah Agung,” kata dalam siaran tertulis.
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania, melihat masalah berawal sejak Letnan Kolonel (Letkol), yang sebelumnya akrab dikenal saat berpangkat Mayor, Teddy Indra Wijaya diangkat sebagai Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Presiden Prabowo.
"Pengangkatan ini dilakukan dengan dalih bahwa Letnan Kolonel Teddy menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden. Namun, tidak bisa diingkari bahwa pengangkatan Letnan Kolonel Teddy telah menimbulkan disrupsi di pemerintahan dan internal TNI itu sendiri," kata Christina dalam keterangannya, Senin (17/3).
Lampu Hijau dari Prabowo
Christina meyakini, Presiden Prabowo memberi lampu hijau yang divalidasi oleh kabinetnya dengan memberi citra prajurit aktif boleh dan akan kembali lagi ke dalam pemerintah.
"Sebagai negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil, UU TNI sudah mengatur jelas bahwa TNI aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil," tegas dia.
Christina mengamini, ada pengecualian untuk beberapa jabatan tinggi dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Oleh karena itu, upaya revisi dilakukan saat ini diduga menjadi tindakan yang akan mengangkangi aturan existing.
"Usulan TNI untuk dapat mengisi beberapa jabatan sipil baru ini berlawanan dengan semangat Reformasi 1988. Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga selalu konsisten menekankan ini. Tidak hanya sebagai salah satu aktor yang berperan dalam Reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tetapi juga sebagai purnawirawan yang memegang teguh prinsip supremasi sipil dan tentara profesional sebagai jati diri TNI," ujar Christina.
Dia menduga wacana untuk memperluas kesempatan TNI menjabat di ranah sipil ini mencerminkan TNI 'sukses' perlahan mengembalikan posisinya ke pemerintahan.
"Tidak lagi secara senyap, tetapi sekarang dengan mengambil langkah legalitas melalui undang-undang. Payung hukum disalahgunakan menjadi alat untuk menguntungkan beberapa pihak saja atau mengakomodir kepentingan politik tertentu," papar dia.

Kegelisah Publik Soal Dwifungsi ABRI
Saat ini, kata Christina, publik gelisah dengan potensi kembalinya Dwifungsi ABRI. Meski hal itu ramai-ramai dibantah oleh pemerintah dan TNI, namun rakyat tidak memiliki jaminan akan hal itu.
"Kebijakan terus berubah, terutama dengan situasi komunikasi politik pemerintahan saat ini yang kurang begitu baik. Akuntabilitas kebijakan ini menjadi satu hal yang hampir tidak mungkin terwujud ketika transparansi pengambilan keputusannya juga tidak ada," kata dia.
Christina mengajak, semua pihak harus belajar dari sejarah dan berkomitmen untuk amanah dan berintegritas dalam menerapkan demokrasi sebagaimana telah diperjuangkan sejak zaman Reformasi tahun 1998.
“Jangan justru kita kembali mundur semakin jauh dengan realita dan dinamika politik, demokrasi, dan kebijakan selama ini. Seharusnya orang-orang yang sekarang menjabat di pemerintahan maupun parlemen paling mengerti hal ini dan mencegah hal ini terjadi,” dorong dia.
“Wacana untuk perluasan jabatan sipil yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif harus dihentikan. Sebagai negara demokrasi, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat seharusnya memutar otak untuk semakin baik menjaga marwah demokrasi, bukan justru mencari cara untuk mengkompromikannya secara cerdik dan licik," tutup Christina.
Pasal Krusial RUU TNI
DPR sudah membentuk Panitia Kerja RUU TNI. Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengungkapkan, ada beberapa pasal yang menarik dalam DIM RUU TNI yaitu pasal 7, pasal 47, dan pasal 53.
"Pasal 7 misalnya soal operasi militer selain perang ada penambahan ayat, dari 14 menjadi 17 ayat," kata TB Hasanuddin, dalam keterangan resmi, Rabu (12/3).
Dalam penambahan ayat ini, ayat 15 berbunyi membantu pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber. Lalu, ayat 16 berbunyi, membantu pemerintah dalam melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri.
"Sementara, ayat 17 berbunyi, membantu pemerintah dalam menangulangan penyalahgunaan narkotika, precursor, dan zat adiktif lainya," ungkapnya.
Sementara untuk pasal 47, ayat 1 dijelaskan prajurit menduduki jabatan sipil bisa pensiun dini atau mengundurkan diri. Kemudian di ayat 2, mengatur prajurit aktif dapat menduduki jabatan sipil yang sebelumnya hanya di 10 K/L, dalam DIM baru ini menjadi 15 K/L.
"Lima penambahan ini adalah Kelautan dan Perikanan, Penanggulangan Bencana, Penangulangan Terorisme, Keamanan Laut, dan Kejaksaan. Kelimanya diatur dengan Undang Undang,” papar TB Hasanuddin.
Sementara, untuk pasal 39 tidak ada perubahan, aturan ini berbunyi melarang prajurit TNI untuk terlibat dalam kegiatan bisnis.
"Hal ini menunjukkan pentingnya mempertahankan larangan tersebut untuk menjaga fokus dan integritas TNI dalam menjalankan perannya sebagai alat pertahanan negara," ucapnya.
Batas Usia Pensiun
Selain itu, pasal 53 ayat 2 soal batas usia pensiun prajurit sebagaimana dimaksud ayat 1 diatur dengan ketentuan maksimal sebagai berikut:
a.Tamtama 56 tahun
b. Bintara 57 tahun
c. Perwira sampai Letnan Kolonel 58 tahun
d. Kolonel 59 tahun
e. Perwira bintang 1 paling tinggi 60 tahun
f. Perwira bintang 2 paling tinggi 61 tahun
g. Perwira bintang 3 paling tinggi 62 tahun