Tangkal Hoaks Terkait Pilkada dengan Literasi Digital
Peningkatan akses informasi lebih mudah, memilih sumber informasi yang kredibel, hingga menganalisis data dari berbagai sudut pandang dirasa sangat penting.
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk menangkal hoaks selama Pilkada 2024. Salah satunya dengan literasi digital. Pegiat Literasi Digital Rosarita Niken Widiastuti menilai kemampuan literasi digital yang baik pada semua orang sangat penting dan urgent untuk menangkal hoaks maupun kebohongan informasi, yang banyak beredar pada suasana pemilu seperti sekarang ini.
Untuk itu, menurutnya, peningkatan akses informasi yang lebih mudah, memilih sumber informasi yang kredibel, hingga menganalisis data dari berbagai sudut pandang dirasa sangat penting. Masyarakat, terutama generasi muda, dengan literasi digital yang baik diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemilu secara aktif.
"Karena literasi digital dapat membantu masyarakat mengenali hoaks, disinformasi, maupun manipulasi informasi dalam dunia digital, sehingga mereka dapat menghindari pengaruh negatif terhadap keputusan politik mereka," kata Rosarita Niken Widiastuti.
Hal itu dia sampaikan dalam zoom meeting 'Menangkal Disinformasi di Pilkada: Membangun Literasi Digital untuk Pemilih', yang digelar Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, beberapa waktu lalu.
Menurut Rosarita Niken Widiastuti, digitalisasi memang membawa pengaruh positif dalam cara kita berpartisipasi dalam demokrasi. Memungkinkan akses mudah ke informasi, meningkatkan transparansi, juga mempercepat proses pemilu.
Namun tantangan digitalisasi juga hadir seiring dampak positif tadi, yaitu kemungkinan adanya penyebaran informasi yang salah, serangan siber, dan kecurangan digital yang dapat mengancam integritas proses demokrasi.
Sementara itu, konsultan kebijakan dan politik Arya Rifqi Waradana dalam paparannya menyebut literasi digital adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi secara efektif, aman, dan bertanggung jawab.
Tentu yang dimaksud adalah aman dari potensi adanya ancaman atau kejahatan siber, maupun dari hoaks atau disinformasi yang beredar, terutama di masa-masa menjelang Pilkada.
"Hoaks adalah sebuah kebohongan informasi yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu secara intrinsik maupun ekstrinsik," jelas Arya Rifqi Wardana.
Sedangkan Creative Director Podcast Wildan Mammoth Anandya Khairunnisa dalam paparannya pada webinar tersebut menyadari bahwa tujuan disinformasi Pilkada adalah memanipulasi pemahaman pemilih terhadap isu-isu politik atau kandidat tertentu.
Manipulasi pemahaman pemilih dilakukan dalam hal pemanfaatan emosi, konten provokatif untuk menarik perhatian dan memicu kemarahan, memungkinkan konten tersebut menjadi viral, memperkuat efek polarisasi di masyarakat.
Ketika wacana politik terinfusi dengan ujaran kebencian, disinformasi dan ujaran kebencian itu sendiri jadi bisa sulit dibedakan, karena keduanya memperkuat polarisasi dan intoleransi antar kelompok di masyarakat.