Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Profil

Raden Mas Soerjopranoto

Profil Raden Mas Soerjopranoto | Merdeka.com

Lahir pada 11 Januari 1871, Soerjopranoto adalah seorang keturunan keraton, ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Aryo Suryaningrat yang merupakan putra tertua dari Paku Alam III yang tidak dapat meneruskan gelar sebagai raja keran buta.. Raden Mas Soerjopranoto adalah kakak dari Soewardi Soeryaningrat atau yang kini dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Terlahir di lingkungan keraton Yogyakarta, Soerjopranoto mendapatkan pendidikan yang memadai, baik pendidikan sekolah maupun budi pekerti, tercatat kurang lebih 3500 judul buku dari berbagai pengetahuan terkumpul di perpustakaan pria yang memiliki nama kecil Iskandar ini.

Jenjang pendidikan yang telah ia kenyam mulai dari Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS), dilanjutkan di Klein Ambtenaren Cursus (Kursus Pegawai Rendah) yang kurang lebih setingkat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan jika sekarang setara SMP. Raden Mas Soerjopranoto kemudian disekolahkan lagi di MLS (Middelbare Landbouw School) yang merupakan  Sekolah Menengah Pertanian, Bogor dan selang babarapa waktu pria yang memiliki istri bernama Djauharin Insjiah ini melanjutkan sekolahnya di Sekolah Pertanian Eropeesch Afdeling.

Sering kali pria darah biru yang ingin mencopot gelar R. M. atau Raden Mas-nya ini disekolahkan karena pemikiran-pemikirannya yang kritis yang dianggap membahayakan Belanda. Iskandar muda saat itu berulangkali mencoba membentuk organisasi-organisasi yang mencoba memberi kesejahteraan dan menyadarkan masyarakat tentang harga diri mereka agar tidak mudah lagi ditipu oleh kolonial Belanda, seperti Mardi Kaskaya yang merupakan organisasi mirip sebuah koperasi simpan pinjam yang didirikan pada tahun 1900, namun karena keberadaannya membuat sedikit ‘keonaran’ karena para rentenir pada masa itu merasa ruang geraknya terganggu, akhirnya Soerjopranoto disekolahkan di MLS, sekolah menengah pertanian di Bogor tersebut oleh kolonial Belanda. Selain Mardi Kaskaya, Soerjopranoto juga mendirikan organisasi masyarakat lain yaitu Societeit Sutrohardjoyang merupakan sebuah perpustakaan sederhana.

Setelah menempuh pendidikan Klein Ambtenaren Cursus, Soerjopranoto kemudian menjadi pegawai kantor pemerintah kolonial di Tuban, namun kemudian dipecat karena memukul seorang pejabat kolonial Belanda. Setelah dari Tuban, Soerjopranoto kemudian bekerja sebagai wedono sentono di Praja Pakualaman dengan pangkat panji, yaitu jabatan itu kurang lebih sama dengan kepala bagian administrasi istana. Setelah itu, karena pergerakan dan pikiran-pikirannya yang dianggap mengganggu oleh kolonial Belanda, Soerjopranoto kemudian dipekerjakan Controleurs-Kantoor, Gresik. Saat bergabung dengan Boedi Oetomo bersama adiknya, Ki Hajar Dewantara, Soerjopranoto menjabat sebagai Sekretasis Pengurus Besar yang berkedudukan di Yogyakarta.

Soerjopranoto dikenal sangat aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan, salah satunya adalah Boedi Oetomo. Selain itu, Soerjopranoto pernah menjadi anggota Dewan Komisaris dalam Perasuransian jiwa O.L.Mij Boemi Poetera. Karena Soerjopranoto menganggap bahwa Boedi Oetomo kurang berpihak pada rakyat dan pergerakannya dinilai lambat, pria yang meninggal pada usia 88 tahun ini mengundurkan diri dan membentuk Barisan Kerja Adhi Dharma yang bergerak dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan hokum yang seluruhnya menggunakan azas gotong-royong.

Soerjopranoto juga mendirikan sekolah untuk rakyat yaitu S.R., S.M.P., Sekolah Guru, Schakel-School. Beberapa usahanya yang lain antara lain mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf dan kerajinan tangan bagi kaum wanita serta membuka biro-biro penasihat hukum, khusus diperuntukkan bagi orang-orang desa, yang ketika itu kurang terpelajar. Soerjopranoto juga sempat menerbitkan buku yang berjudul "Pemimpin Landraad Civiel" yang berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti dan "Kekuatan Bathin" (de kracht die overwint). Pergerakan inilah yang kemudian dianggap berbahaya oleh kolonial Belanda sehingga pergerakan tersebut dihentikan.

Pada tahun 1911 Soerjopranoto turut berpartisipasi dalam Partai Sarikat Islam dan dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919 Soerjopranoto mengemukakan, bahwa menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata tapi bisa secara moral, protes-protes, dan jika perlu dengan "pemogokan", kesemua itu harus dilakukan secara serentak. Soerjopranoto dikemudian hari memimpin suatu pemogokan umum dikalangan kaum pekerja pabrik-pabrik gula yang bergabung dalam Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia pada tahun 1917 P.F.B. ( Personeel Fabrieks Bond).

Pada tahun 1919, PFB bergabung dengan PPPB bersama dengan 22 serikat lainnya, termasuk VSTP, dalam sebuah federasi bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dan terbentuklah nilah federasi buruh pertama dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1933, Soerjopranoto dipecat dari keanggotaan SI karena membongkar kasus korupsi. Karena kondisi fisiknya yang mulai menurun, pada tahun 1935 Soerjopranoto mengurusi dan mengajar di sekolah Adhi Dharma dan setelah proklamasi kemerdekaan,
Soerjopranoto sering juga mengajar di sekolah bentukan adiknya, Ki Hajar Dewantara, yaitu sekolah Taman Siswa. Pada 15 oktober 1959, Suryopranoto menghembuskan nafas terakhirnya di Cimahi, Jawa Barat dan dimakamkan di makam keluarga di Yogyakarta. Beliau mendapat gelar “Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI” yang disahkan oleh Presiden Soekarno.

Riset dan analisis: Riska Tulus Wibawati