Berdasar Psikologi, Ini 5 Cara untuk Mulai Ajarkan Anak Konsekuensi dari Perbuatannya
Anak perlu mulai bertanggungjawab atas hal yang dilakukannya dan memahami konsekuensi atas tindakannya. Pada usia berapa idealnya hal ini dilakukan?

Sebagai orang tua, melihat anak mengambil keputusan yang keliru sering kali memunculkan dorongan untuk segera turun tangan dan memperbaikinya. Namun, terkadang, membiarkan anak mengalami konsekuensi alami dari perbuatannya dapat menjadi cara terbaik untuk mengajarkan tanggung jawab dan pemahaman tentang sebab-akibat.
Konsekuensi alami adalah hasil langsung dari tindakan atau kelalaian seseorang tanpa campur tangan pihak lain. Dengan membiarkan anak mengalami konsekuensi ini, mereka akan belajar memahami hubungan antara tindakan dan dampaknya, sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir kritis serta pengambilan keputusan yang lebih baik di masa depan.
Namun, bagaimana cara menerapkan metode ini dengan efektif? Dilansir dari Parents, berikut lima langkah berdasarkan pandangan para psikolog untuk membantu anak memahami konsekuensi dari perbuatannya.
1. Identifikasi Konsekuensi yang Alami
Sebelum membiarkan anak mengalami konsekuensi dari tindakannya, orang tua perlu mengidentifikasi konsekuensi alami yang sesuai. Konsekuensi ini harus berhubungan langsung dengan perbuatan anak dan bersifat mendidik, bukan hukuman
Contoh sederhana adalah jika anak memilih untuk tidak mengenakan jaket saat cuaca dingin, ia akan merasakan kedinginan. Jika anak tidak menyelesaikan tugas sekolahnya, ia mungkin mendapatkan nilai buruk atau teguran dari guru. Dengan demikian, anak akan memahami bahwa setiap tindakan memiliki akibat yang harus ditanggungnya sendiri.
2. Jelaskan Hubungan antara Perbuatan dan Konsekuensi
Menurut Dr. Joseph Laino, asisten direktur operasi klinis dan profesor klinis di NYU Langone, orang tua perlu membantu anak memahami hubungan antara perilaku dan konsekuensinya. Ia menekankan pentingnya membimbing anak untuk melihat hubungan sebab-akibat dalam berbagai situasi.
“Orang tua sebaiknya tetap bersikap tenang, mendukung, dan reflektif,” ujar Dr. Laino. “Tujuan dari konsekuensi alami adalah untuk menjadi pengalaman belajar bagi anak, bukan sebagai ajang menyalahkan atau mengkritik.”
Sebagai contoh, jika seorang anak lupa meletakkan mainannya di tempat yang semestinya dan kemudian kehilangan mainan tersebut, orang tua dapat menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena keteledorannya sendiri. Ini akan membantu anak memahami pentingnya menjaga barang-barangnya dengan baik.

3. Tetap Tetapkan Batasan dan Aturan
Meskipun konsekuensi alami merupakan alat yang baik untuk mendidik anak, orang tua tetap perlu menetapkan batasan yang jelas, terutama dalam hal yang menyangkut keselamatan. Tidak semua konsekuensi dapat dibiarkan terjadi begitu saja.
Dr. Laino menekankan bahwa, “Keamanan selalu menjadi prioritas utama dibandingkan dengan membiarkan anak belajar melalui konsekuensi alami.” Oleh karena itu, aturan yang berkaitan dengan keselamatan, seperti mengenakan helm saat bersepeda atau menggunakan tabir surya saat berada di bawah terik matahari, tetap harus ditegakkan.
4. Konsisten dalam Menerapkan Konsekuensi
Agar anak benar-benar memahami hubungan antara tindakan dan akibatnya, konsistensi sangat penting. Jika orang tua hanya sesekali membiarkan konsekuensi alami terjadi, anak mungkin tidak akan menginternalisasi pelajaran tersebut dengan baik.
Misalnya, jika seorang anak lupa mengerjakan tugasnya dan orang tua selalu membantu menyelesaikannya, anak tidak akan pernah merasakan konsekuensi dari kelalaiannya. Namun, jika orang tua secara konsisten membiarkan anak menanggung akibat dari tidak mengerjakan tugas—misalnya mendapatkan nilai yang kurang memuaskan—anak akan belajar bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri.

5. Dukung Anak dengan Empati dan Dorongan Positif
Mengalami konsekuensi alami bisa menjadi pengalaman yang sulit bagi anak, terutama jika hasilnya tidak menyenangkan. Oleh karena itu, peran orang tua adalah memberikan dukungan emosional tanpa menyelamatkan anak dari akibat tindakannya.
Alih-alih mengatakan, “Ibu sudah bilang, kan?” atau “Itu akibatnya kalau kamu tidak mendengarkan,” orang tua sebaiknya mengungkapkan empati dan mendorong anak untuk berpikir tentang bagaimana ia dapat mengambil keputusan yang lebih baik di masa depan.
Dr. Laino menekankan pentingnya pendekatan yang membangun: “Orang tua dapat mengapresiasi langkah yang diambil anak untuk memperbaiki kesalahannya. Ini akan membantu memperkuat perilaku yang lebih adaptif.”
Sebagai contoh, jika seorang anak menghabiskan uang jajannya dalam satu hari dan kemudian tidak bisa membeli apa pun di sisa minggu itu, orang tua bisa berkata, “Kamu pasti merasa kecewa karena tidak bisa membeli sesuatu yang kamu inginkan. Apa yang bisa kamu lakukan agar hal ini tidak terjadi lagi?” Dengan cara ini, anak akan belajar merencanakan pengeluaran dengan lebih baik di masa mendatang.
Mengajarkan anak tentang konsekuensi alami adalah salah satu cara efektif untuk membantu mereka memahami pentingnya tanggung jawab dan berpikir sebelum bertindak. Dengan membiarkan anak mengalami dampak langsung dari tindakannya, orang tua memberi mereka kesempatan untuk belajar dari pengalaman nyata tanpa perlu hukuman yang keras.
Namun, penting untuk memastikan bahwa konsekuensi tersebut tidak membahayakan anak, tetap berhubungan langsung dengan tindakan mereka, dan diberikan dengan pendekatan yang mendukung serta membangun. Dengan cara ini, anak akan tumbuh menjadi individu yang lebih mandiri, bertanggung jawab, dan mampu membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.