Kerap Tak Disadari! Penyakit Tulang Belakang yang Tak Diobati Bisa Sebabkan Depresi
Depresi tidak secara langsung menyebabkan nyeri tulang belakang, namun jika tidak diatasi, kondisi ini bisa berpotensi menimbulkan masalah tersebut.

Penyakit pada tulang belakang sering kali diasosiasikan dengan disabilitas fisik atau kelumpuhan. Selain itu, nyeri pada tulang belakang yang tidak mendapatkan penanganan dalam waktu lama juga dapat berhubungan dengan disabilitas mental, seperti depresi. Nicko Perdana Hardiansyah, dokter spesialis ortopedi konsultan tulang belakang di RS EMC Pulomas, menjelaskan bahwa meskipun kedua hal ini tidak memiliki hubungan langsung, keduanya bisa saling memengaruhi. "Disabilitas mental sebetulnya tidak berkaitan secara langsung, tapi pada penelitiannya ketika seseorang sakit tulang belakang tiga bulan berturut-turut tidak ada penanganan maka dia ada potensi depresi," ungkap Nicko setelah menjadi pembicara dalam acara Liputan6 Update Spesial Healthy Monday di SCTV Tower, Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Depresi bisa muncul karena pasien merasa tidak mampu menjalani aktivitas sehari-hari. Hal ini dapat menyebabkan penurunan produktivitas karena pasien tidak dapat bekerja, dan dapat juga mengakibatkan berkurangnya rasa percaya diri. Oleh karena itu, untuk menghindari depresi dan mencegah penyakit semakin parah, Nicko menyarankan agar segera berkonsultasi dengan dokter untuk memastikan kondisi kesehatan. Dia juga menekankan pentingnya bagi pasien untuk tidak merasa takut atau ragu untuk menemui dokter, karena sebagian besar nyeri tulang belakang tidak berbahaya. "Jadi sebaiknya konsultasi buat pastikan, karena 80-90 persen sebetulnya kondisinya enggak bahaya kok asal ketahuan," tutupnya.
Nicko menjelaskan bahwa kasus penyakit tulang belakang yang dapat menyebabkan disabilitas fisik tergolong jarang. "Sebenarnya, kasus penyakit tulang belakang yang serius tidak banyak, mungkin hanya berkisar antara 1 hingga 5 persen. Namun, jika kondisinya cukup parah, kelumpuhan menjadi risiko utama yang ditakuti oleh pasien," ungkap Nicko. Ia menambahkan bahwa kelumpuhan secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, kelumpuhan yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri, dan kedua, yang disebabkan oleh risiko dari tindakan medis yang dilakukan di area atau titik saraf yang berbahaya. "Apabila hal ini terjadi, pasien akan menjadi penyandang disabilitas dan memerlukan alat bantu untuk beraktivitas," jelas Nicko setelah acara Talkshow Hybrid Spine Center EMC Healthcare dengan tema Nyeri Tulang Belakang? No Worries, Ini Solusinya!.
Nicko menekankan bahwa saat ini, angka disabilitas setelah menjalani operasi tulang belakang telah menurun secara signifikan dibandingkan sebelumnya. Hal ini bukan tanpa sebab, melainkan berkat kemajuan teknologi kesehatan yang semakin berkembang. "Sekarang angkanya jauh lebih kecil dibandingkan zaman dahulu karena alatnya makin canggih dan modern," ujarnya.
Salah satu inovasi yang berperan dalam menurunkan risiko terjadinya disabilitas fisik pasca-operasi adalah eagle eye yang menggunakan teknologi augmented reality. Teknologi ini memberikan bantuan dalam proses pemasangan pen atau implan pada tulang belakang dengan lebih akurat. Dengan menggunakan alat seperti kacamata virtual reality, dokter dapat menentukan lokasi yang tepat untuk penempatan pen dan menghindari area saraf yang berbahaya yang dapat menyebabkan kelumpuhan. "Jadi, risiko menjadi sangat minimal, bukan berarti nol persen, tapi jadi sangat minimal," ucap Nicko.

Pada kesempatan yang sama, Harmantya Mahadhipta, dokter spesialis ortopedi dan traumatologi konsultan tulang belakang di RS EMC Tangerang, memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai augmented reality (AR). Ia menyatakan bahwa AR merupakan teknologi yang mengintegrasikan objek virtual dalam bentuk dua dimensi atau tiga dimensi ke dalam lingkungan nyata, sehingga dapat diproyeksikan sebagai kenyataan secara langsung. Teknologi augmented reality ini dapat digunakan untuk berbagai indera, termasuk pendengaran dan sentuhan.
Sistem AR telah diterapkan di Spine Center RS EMC Grha Kedoya Tangerang dan telah mendapatkan persetujuan FDA 510(k) untuk prosedur operasi tulang belakang intraoperatif yang memerlukan panduan presisi. Augmented reality memberikan bantuan kepada dokter dalam pemasangan implan dengan tingkat presisi yang tinggi, mirip dengan cara kerja robot atau GPS yang menawarkan peta atau rute yang memandu dokter selama proses operasi. Selain itu, alat ini juga mampu mengubah data pencitraan pasien menjadi hologram tiga dimensi yang terlihat melalui lensa khusus. Hologram tersebut dapat ditempelkan pada tubuh pasien, sehingga dokter dapat berkonsentrasi langsung pada area yang akan dioperasi tanpa harus melihat ke monitor terpisah.