Melihat Akulturasi Budaya di Kota Muntok, Berawal dari Kedatangan Penambang Timah dari Negeri Cina
Akulturasi budaya di Kota Muntok berjalan seiring dengan tumbuhnya pertambangan timah. Budaya toleransi berjalan baik di kota itu.
Kota Muntok dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama pada tahun 1721 hingga 1756 Masehi. Pada masa itu, Kota Muntok memegang kekuasaan pemerintahan serta urusan penambangan bijih timah di Pulau Bangka. Hal yang menjanjikan ini mendorong kedatangan orang-orang dari berbagai negeri seperti Cina, Siam, Kamboja, dan Siantan untuk mengadu nasib di Kota Muntok.
Sejarawan Pulau Bangka, Chairul Amri, mengatakan, pada waktu itu Kota Muntok masuk dalam wilayah jajahan Belanda. Belanda kemudian mendirikan sebuah perusahaan timah bernama Bangka Tin Winning (BTW) dengan kantor pusat di Muntok.
-
Mengapa etnis Tionghoa datang ke Sumatera Barat? Kedatangan etnis Tionghoa ke daerah Minangkabau tentu saja tidak lepas dari aktivitas perdagangan di Nusantara.
-
Siapa yang memulai penambangan timah di Belitung? Belanda telah merintis penambangan timah di Belitung pada 1851 dan mendapat konsesi setahun setelahnya.
-
Kapan orang-orang Cina mulai bermukim di Padang? Menurut catatan Christine Dobbin, telah menemukan sebuah bukti jika orang-orang Cina sudah bermukim di Padang yang berasal dari Jawa sekitar tahun 1630-an.
-
Kapan pendatang asal Cina mulai masuk ke Indonesia? Mengutip jadesta.kemenparekraf.go.id, para pendatang asal Cina sendiri mulai masuk ke Indonesia pada kisaran abad ke-14 sampai abad ke-17 silam.
-
Dimana etnis Tionghoa pertama kali menetap di Sumatera Barat? Mengutip situs jalurrempah.kemdikbud.go.id, orang-orang Cina yang berniaga tepatnya pada abad ke-17 telah mendirikan pemukiman di daerah Pariaman dan menjadi pemukiman etnis Tionghoa pertama di kawasan Pantai Barat Sumatra.
-
Kapan warga Tumang mulai membuat kerajinan tembaga? Pada tahun 1976, warga setempat mulai menerapkan nilai-nilai seni pada kerajinan tembaga.
Berikut cerita selengkapnya:
Pusat Penambangan Timah
Kesuksesan Belanda menjadikan Muntok sebagai pusat penambangan melalui keberadaan BTW tidak bisa lepas dari kepiawaian pendatang penambang Hakka ke Kota Muntok. Mereka didatangkan langsung oleh para saudagar kaya waktu itu untuk dipekerjakan ke Muntok.
“Jadi mereka itulah yang menjadi penambang-penambang timah dan membawa teknologi baru. Sebelumnya warga menambang timah dengan cara konvensional di sungai-sungai, tapi setelah datang orang-orang Cina alat-alat mereka bertambah modern dan bertambah maju,” kata Chairil Amri.
Akulturasi Budaya
Berawal dari para penambang Cina, pertambangan timah di Muntok terus berkembang. Orang-orang datang dari berbagai negeri seperti dari Siam, Yaman, Arab, Cina, Belanda, dan di sana lah mereka membuat klaster sesuai dengan negeri asal mereka.
Saat itu, tercatat ada tiga klaster di Kota Muntok, yaitu klaster Cina, klaster Melayu, dan klaster Eropa. Pembagian klaster ini membawa akulturasi bagi masyarakat Muntok melalui keberadaan Masjid Jami’ dan Kelenteng Kong Fuk Miao.
“Di Muntok antara kelenteng dan masjid dibangun berdampingan dan hanya dibelah oleh satu jalan kecil menuju Benteng Kute Seribu,” ungkap Chairil dikutip dari kanal YouTube Bina Budaya.
Tempat Ibadah yang Berdiri Berdampingan
Pembangunan Kelenteng Kong Fuk Miao merupakan hasil Kongsi dari para pekerja timah keturunan Cina di Kota Muntok. Kelenteng ini didirikan pada tahun 1820 pada masa kepemimpinan Mayor Thjung A Thiam. Ia merupakan mayor kedua yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai kepala masyarakat Cina di Kota Muntok.
Pembangunan Masjid Jami’ juga tak lepas dari para tokoh Cina kaya yang menjadi mualaf dan Mayor Thjung A Thiam. Masjid itu dibangun pada tahun 1883 atas Prakarsa tokoh muslim Muntok, Abang Muhammad Nuh.
“Masjid ini dibangun secara gotong royong dengan masyarakat etnis Tionghoa. Karena dari dulu sampai sekarang orang non-muslim itu bersatu dengan masyarakat Muntok,” kata M Najieb selaku pengurus masjid.
Toleransi di Kota Muntok
Budaya toleransi berjalan baik di Kota Muntok. Saat datang waktu sholat, kegiatan latihan barongsai ataupun tari-tarian di kelenteng dihentikan sejenak. Saat mereka mengadakan perayaan pun masyarakat muslim juga ikut menyaksikan.
Begitu pula dengan masyarakat Cina, saat perayaan hari raya Qurban, masyarakat Cina juga ikut membagikan daging kurban ke masyarakat dan juga mendapatkan daging kurban itu.
“Walaupun mayoritas muslim tapi bisa menghargai yang non-muslim. Dan kita dari non-muslim juga bisa menghargai mereka. Jadi akan tumbuh kerja sama yang baik, jadi istilahnya kita kalau bertemu harus sapa, salam, dan ngomong,” kata Pak Amek, pengurus Kelenteng Kong Fuk Miao, dikutip dari kanal YouTube Bina Budaya.