Tahun Pemilu Disebut Paling Disukai Hacker, Ini Buktinya
Berikut fakta mengenai jelang tahun pemilu yang disukai hacker.
Berikut fakta mengenai jelang tahun pemilu yang disukai hacker.
Tahun Pemilu Disebut Paling Disukai Hacker, Ini Buktinya
Laporan dari Pusat Keamanan Siber Kanada ungkapkan bahwa serangan siber yang menargetkan pemilihan umum (pemilu) telah meningkat di seluruh dunia.
Dilansir dari Jurist, Senin (11/12), laporan tersebut menyatakan bahwa proporsi pemilu yang menjadi sasaran serangan siber ini telah meningkat, dari 10 persen pada tahun 2015 menjadi 26 persen pada tahun 2022.
-
Apa target utama hacker pemilu? Mereka bekerja dengan membekukan basis data pemilih lokal. Maka itu ransomware menduduki peringkat teratas ancaman siber saat pemilu.
-
Kapan serangan siber pemilu terjadi? Laporan tersebut menyatakan bahwa proporsi pemilu yang menjadi sasaran serangan siber ini telah meningkat, dari 10 persen pada tahun 2015 menjadi 26 persen pada tahun 2022.
-
Apa saja serangan yang dilakukan hacker? 'Terkadang, hampir setengah dari serangan ini menargetkan negara-negara anggota NATO, dan lebih dari 40 persen ditujukan terhadap pemerintah atau organisasi sektor swasta yang terlibat dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur penting,' jelas Tom Burt dari Microsoft.
-
Siapa saja hacker yang menyerang? Laporan tersebut secara detail menjelaskan serangan-serangan yang dilakukan pemerintah dari Rusia, China, Iran, dan Korea Utara, serta beberapa kelompok peretas di wilayah Palestina dan peretas bayaran yang disewa negara-negara lain.
-
Siapa yang diserang menjelang Pemilu? 'Jadi media center ini bukan media center capres-capresan, jadi tidak untuk capres-capres tapi ini untuk pelurusan informasi data dari pemerintah sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi yang valid ataupun serangan yang diterima (untuk pemerintah). Sekarangkan banyak juga serangan yang kami terima, urusan capres tapi serangannya ke Pemerintah,' imbuhnya.
-
Kenapa hacker menyerang negara-negara tertentu? Laporan tersebut secara detail menjelaskan serangan-serangan yang dilakukan pemerintah dari Rusia, China, Iran, dan Korea Utara, serta beberapa kelompok peretas di wilayah Palestina dan peretas bayaran yang disewa negara-negara lain.
25 hingga 35 persen negara yang menjadi target sasaran serangan pada tahun 2015 hingga 2022 ini adalah negara-negara NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan OECD (Organization for Economics Cooperation and Development).
Menurut laporan tersebut, terdapat dua negara yang bertanggung jawab atas sebagian besar serangan siber yang terjadi sejak tahun 2021, yaitu Rusia dan China.
Ditemukan bahwa aktivitas yang sering dilakukan oleh pemerintah Rusia dan China adalah upaya untuk menghambat situs otoritas pemilihan, mengakses informasi pribadi pemilih, hingga memindai sistem pemilihan online untuk dicari kelemahannya.
Yang makin meresahkan, laporan menunjukkan bahwa serangan siber akan semakin sulit untuk dilacak.Kehadiran teknologi-teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI) kini disalahgunakan untuk membuat dan menyebarkan konten palsu yang merupakan bagian dari serangan siber.
Oleh karena itu, sebagian besar kasus tidak dapat diatribusikan dan pihak yang bertanggung jawab atas aktivitas berbahaya ini menjadi anonim.
Insiden serangan siber yang menargetkan proses demokratis memang telah lazim terjadi dalam waktu beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2020, Komite Intelijen dan Keamanan Inggris telah menemukan bahwa Rusia telah campur tangan dalam referendum kemerdekaan Skotlandia pada tahun 2014.
Pada Agustus tahun ini, Komisi Pemilihan Inggris juga telah menemukan bahwa terjadi sasaran serangan siber kompleks pada tahun 2022 di mana pelaku serangan mengakses data pemilih dan sistem email negara tersebut.
Sementara itu di Indonesia, masyarakat baru-baru ini dibuat gelisah oleh aksi seorang hacker anonim dengan nama alias Jimbo yang mengklaim telah melakukan peretasan situs KPU.