Airlangga Pastikan Program B40 di 2024 Bisa Hemat Devisa hingga Rp404 Triliun
Sebagai informasi, B40 merupakan bahan bakar campuran solar sebanyak 60 persen dan bahan bakar nabati (BBN) dari kelapa sawit sebesar 40 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan program biodiesel 40 persen (B40) akan mulai berjalan pada 2025 mendatang. Airlangga mengklaim, Indonesia menjadi negara satu-satunya yang menaikkan level B35 menjadi B40.
Sebagai informasi, B40 merupakan bahan bakar campuran solar sebanyak 60 persen dan bahan bakar nabati (BBN) dari kelapa sawit sebesar 40 persen.
"Indonesia juga satu-satunya negara yang mendorong mandatory diesel dan ini sudah kita laksanakan B35 dan akan dinaikkan menjadi B40 di tahun 2025," kata Airlangga dalam acara Kumparan Green Initiative di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (24/9).
Airlangga menyebutkan program Biodiesel 40 ini memanfaatkan 54,52 juta kilo liter (kl) dan mengurangi impor solar. Dia memperkirakan potensi devisa negara yang diselamatkan sekitar Rp404 triliun akibat turunnya impor solar.
"Devisa yang diselamatkan sebesar Rp404,32 triliun," ucapnya.
Stok CPO untuk B40
Harus diakui pemberlakuan B40 akan menyedot banyak penggunaan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai bahan dasar untuk BBM tersebut. Namun, Airlangga memastikan pasokan CPO akan tetap mencukupi untuk kebutuhan B40.
"Cukup, (CPO) cukup. Sekarang kan (sudah biodiesel) B35," tegasnya.
Selain itu, pemerintah juga mendorong pemanfaatan BBM rendah sulfur. Penggunaan BBM rendah sulfur ini dimaksudkan untuk menekan emisi karbon.
"Indonesia merencanakan berbagai mitigasi, termasuk perubahan RON ke RON yang lebih tinggi. Alhamdulillah RON 88 sudah tidak ada dan kita juga mendorong program berbasis baterai listrik," tutur dia.
Harga Referensi CPO Periode September Naik
Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis Harga Referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPDP-KS), atau dikenal sebagai Pungutan Ekspor (PE), periode 1—30 September 2024, sebesar USD839,53/MT.
Nilai ini meningkat USD19,42 atau 2,32 persen dari periode Agustus 2024 yang tercatat sebesar USD820,11/MT. Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) Nomor 1204 tahun 2024 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Periode 1—30 September 2024.
“Saat ini, Harga Referensi CPO meningkat menjauhi ambang batas sebesar USD 680/MT. Untuk itu, merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang berlaku saat ini, pemerintah mengenakan Bea Keluar (BK) CPO sebesar USD 52/MT dan Pungutan Ekspor CPO sebesar USD 90/MT untuk periode 1—30 September 2024,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim, Rabu (4/9).
Isy mengatakan, penetapan BK CPO periode 1—30 September 2024 merujuk pada Kolom Angka 5 Lampiran Huruf C PMK Nomor 38 Tahun 2024 sebesar USD 33/MT. Sementara itu, Pungutan Ekspor CPO periode 1—30 September 2024 merujuk pada Lampiran Huruf C PMK Nomor 103/PMK.05/2022 jo. 154/PMK.05/2022 sebesar USD 90/MT.
Sumber penetapan HR CPO berasal dari rata-rata harga selama periode 25 Juli—24 Agustus 2024 pada sejumlah rujukan, yaitu Bursa CPO di Indonesia sebesar USD 804,96/MT, Bursa CPO di Malaysia sebesar USD 874,10/MT, dan Pasar Lelang CPO Rotterdam sebesar USD 970,41/MT.
Adapun berdasarkan Permendag Nomor 46 Tahun 2022, bila terdapat perbedaan harga rata-rata pada tiga sumber harga sebesar lebih dari USD 40, maka perhitungan HR CPO menggunakan rata-rata dari dua sumber harga yang menjadi median dan sumber harga terdekat dari median, yaitu Bursa CPO di Malaysia dan Bursa CPO di Indonesia. Sesuai dengan perhitungan tersebut, maka dapat ditetapkan HR CPO sebesar USD 839,53/MT.
“Peningkatan HR CPO ini dipengaruhi peningkatan harga minyak nabati lainnya, yaitu minyak kedelai, dan peningkatan permintaan yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi. Dalam hal ini, ada penurunan produksi di Malaysia,” jelas Isy.