Aplikasi Temu dari China Bikin Resah Eropa, Dikhawatirkan Jual Barang Ilegal
Aplikasi Temu tidak hanya meresahkan Eropa, masyarakat Asia juga mengkritik produk-produk dan sistem kerja Temu.
Komisi Eropa akan memulai penyelidikan terhadap platform ritel daring asal China, Temu. Langkah ini diambil setelah mempertimbangkan adanya pelanggaran aturan terkait penjualan produk ilegal secara daring.
Bloomberg melaporkan Komisi Eropa sudah meminta klarifikasi Temu pada 11 Oktober lalu berdasarkan Undang-Undang Layanan Digital, yang menanyakan langkah apa yang diambilnya untuk menghentikan penjualan produk ilegal di platformnya.
Temu, sebagai unit PDD Holdings, diberi batas akhir merespon pertanyaan Komisi Eropa pada 21 Oktober. Komisi saat itu mengatakan akan menentukan langkah selanjutnya setelah menilai tanggapan Temu.
Berdasarkan Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa, perusahaan dengan lebih dari 45 juta pengguna ditetapkan sebagai "platform daring sangat besar" (VLOP) dan diharuskan berbuat lebih banyak untuk memerangi konten ilegal serta produk palsu di platform mereka.
Komisi menetapkan Temu sebagai VLOP pada bulan Mei. Komisi Eropa menolak berkomentar mengenai laporan Bloomberg. Juru bicara Temu tidak segera membalas permintaan komentar.
Aplikasi Temu Dikritik Masyarakat Korea
Dua aplikassi asal China, AliExpress dan Temu menuai kritik keras dari konsumen Korea Selatan karena dianggap melakukan praktik penipuan pada iklan yang mereka siarkan di beberapa platform.
Badan anti monopoli Korea pun didesak untuk mengambil tindakan hukuman terhadap dua perusahaan tersebut. Kedua platform belanja luar negeri tersebut telah membuat langkah cepat di pasar Korea tahun ini.
Namun, konsumen mengeluhkan kemunculan iklan mereka yang "terlalu sering" di media sosial, seperti di YouTube dan Instagram.
Konsumen Korea secara khusus menyampaikan keluhan atas iklan clickbait yang mencolok dari kedua perusahaan tersebut.
Misalnya, Temu berulang kali mengekspos iklannya yang rumit untuk konsol video game Nintendo Switch yang dijual hanya seharga KRW999 atau setara Rp11.000.
Perangkat game portabel tersebut dijual seharga KRW360.000 atau setara Rp4,2 juta di situs web resminya.
"Iklan tersebut mengatakan Anda dapat membeli perangkat tersebut dengan harga penjualan khusus, tetapi Anda harus menarik puluhan teman Anda untuk mendaftar di aplikasi Temu untuk memenangkan keuntungan tersebut," kata seorang pengguna Temu.
"Gimmick pemasaran itu mengingatkan saya pada skema piramida. Saya tidak pernah menemukan orang yang benar-benar berhasil membeli produk dengan harga tersebut, meskipun perusahaan itu mungkin hanya berhasil membeli untuk sejumlah kecil orang."
Temu Berupaya Masuk ke Indonesia
Staf Khusus Menteri Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Fiki Satari mengatakan, sejak September 2022 aplikasi Temu telah berupaya mendaftarkan merek sebanyak tiga kali di Indonesia. Bahkan pada 22 Juli 2024, aplikasi Temu sempat mengajukan ulang pendaftarannya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM).
"Aplikasi Temu dari China ini sudah coba mendaftarkan merk, desain, dan lainnya ke DJKI, tapi tidak bisa karena sudah ada perusahaan asal Indonesia dengan nama serupa dan dengan KBLI yang mayoritas sama. Tapi kita tidak boleh lengah, harus kita kawal terus," ujarnya.
KemenkopUKM pun berharap agar KemenkumHAM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta stakeholders terkait dapat bersinergi mencegah masuknya marketplace Temu ke Indonesia. “Hal ini diperlukan semata-mata demi melindungi pelaku usaha di dalam negeri khususnya UMKM,” pungkasnya.
Ditolak Masuk ke Indonesia
Fiki menyampaikan pemerintah saat ini terus berkomitmen untuk mengawal dan memastikan agar aplikasi Temu tidak masuk ke Indonesia.
“Jika Temu sampai masuk ke Indonesia, ini akan sangat membahayakan UMKM dalam negeri. Apalagi platform digital dari Cina ini bisa memfasilitasi transaksi secara langsung antara pabrik di China dengan konsumen di negara tujuan ini akan mematikan UMKM,” kata Fiki.
Fiki menjelaskan, aplikasi Temu memiliki konsep menjual barang langsung dari pabrik ke konsumen tanpa adanya seller, reseller, dropshipper maupun afiliator sehingga tidak ada komisi berjenjang. Hal tersebut ditambah dengan adanya subsidi yang diberikan platform membuat produk di aplikasi dihargai dengan sangat murah.
“Mereka sudah masuk ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa, bahkan sekarang sudah mulai ekspansi ke Kawasan Asia Tenggara, khususnya di negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Maka kita harus terus kawal agar tidak masuk ke Indonesia,” ujarnya.