Kemiskinan dan Rendahnya Minat Baca di Indonesia
Merdeka.com - Minat baca masyarakat Indonesia nyatanya masih jadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Sebab, Indonesia masih menjadi negara dengan minat baca rendah.
Berdasarkan riset Kementerian Komunikasi dan Informatika 2021 dan UNESCO 2022, indeks minat baca masyarakat di Indonesia disebutkan hanya mencapai 0,001 persen, atau dari 1.000 orang hanya satu orang yang gemar membaca.
Pengamat Pendidikan LIPI, Anggi Afriansyah mengatakan, minat membaca buku di Indonesia memang masih sangat terbatas karena tidak semua orang tua dan sekolah mampu menyediakan buku bacaan yang berkualitas.
-
Bagaimana Hari Kunjung Perpustakaan menumbuhkan minat baca? Peringatan Hari Kunjung Perpustakaan juga bertujuan untuk menanamkan kebiasaan masyarakat berkunjung ke perpustakaan dan meningkatkan kegemaran membaca.
-
Siapa yang paling bertanggung jawab untuk budaya membaca yang lemah? Di lingkungan keluarga, kebiasaan membaca sering kali tidak didorong, sehingga anak-anak tidak tumbuh dengan kebiasaan atau kecintaan terhadap buku.
-
Siapa yang bertanggung jawab untuk mengubah minat baca? Menurut saya pihak keluarga yang utama dan selanjutnya adalah pihak guru di sekolah.
-
Kenapa sarana dan prasarana di Indonesia jadi penyebab rendahnya literasi? Salah satu penyebab utama rendahnya literasi di Indonesia adalah kurangnya sarana dan prasarana yang memadai. Banyak sekolah, terutama di daerah pedalaman dan terpencil, tidak memiliki perpustakaan atau akses terhadap bahan bacaan yang memadai.
-
Bagaimana cara meningkatkan minat baca anak? Namun, dengan dukungan dari orang tua dan pendidik, serta dengan menyediakan akses yang memadai terhadap bahan bacaan yang menarik, kita dapat menciptakan lingkungan yang merangsang minat membaca pada anak-anak sejak usia dini.
-
Bagaimana Tiktok memengaruhi minat baca? Berdasarkan hasil penelitian itu, konsumsi konten singkat di Tiktok ternyata bisa berdampak pada penurunan daya attention span.
"Buku masih menjadi barang mahal dan bukan pilihan utama. Sehingga, terutama bagi keluarga miskin, bukan menjadi prioritas, sebab mereka masih memiliki kebutuhan lain terutama terkait dengan makan dan minum," kata Anggi ketika dihubungi Merdeka.com.
Sayangnya, ketika buku belum menjadi prioritas utama di Indonesia, gelombang digitalisasi hadir. Informasi lebih mudah didapat melalui internet baik melalui media sosial maupun mesin pencari.
Sehingga, pilihan mencari informasi menjadi lebih banyak, kemudian perpustakaan dan toko buku semakin tidak menjadi pilihan utama. Pilihan mudah mencari informasi di internet menjadikan minat terhadap buku (yang mahal), semakin berkurang.
Selain itu, buku-buku pun mulai didigitalisasi. Namun menurutnya, di Indonesia nampaknya minat terhadap buku cetak ataupun buku digital masih terbatas. Pembaca buku digital masih kalangan kelas menengah atas yang memiliki sumber daya memadai untuk mengakses internet.
"Mereka juga dapat membeli tablet atau e-reader seperti kindle dan sebagainya untuk membaca buku elektronik. Jadi saya masih tidak percaya toko buku tutup karena maraknya digitalisasi dan aplikasi-aplikasi," imbuhnya.
Dia menilai, ini semata karena minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Kemungkinan lain, para pembaca membeli buku di toko buku online karena dianggap praktis dan seringkali harganya lebih murah. Jadi posisi tersebut menyebabkan para pembaca lebih memiliki banyak pilihan.
"Untuk membaca buku lewat aplikasi menurut saya sangat positif, hanya memang, saat ini masih sebatas dirasakan oleh kelas menengah perkotaan yang memiliki akses internet," jelasnya.
Aplikasi perpustakaan memang lebih mudah diunduh di gawai masing-masing. Hal tersebut menguntungkan bagi para pembaca, karena mereka bisa meminjam di manapun dan kapanpun. Tapi, perkara utama bukan media membaca, tetapi bagaimana menguatkan budaya baca, baik melalui buku cetak dan buku elektronik.
Secara struktural perlu ada kebijakan yang membuat setiap penduduk dari berbagai kelompok sosial ekonomi dapat mengakses buku berkualitas, baik cetak maupun elektronik.
"Buku-buku, menurut saya masih sangat mahal untuk dijangkau. Jadi menyediakan buku-buku berkualitas di sekolah, rumah, tempat ibadah, kantor desa, perpustakaan daerah, perpustakaan desa menjadi sangat penting. Karena hal tersebut bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa," tandasnya.
Reporter Magang: Ananda Tias Putri
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Informasi di media sosial dan internet memicu warga Jepang mulai jarang membaca buku.
Baca SelengkapnyaLSI Denny JA merilis survei terkait Pertarungan Capres di 2024.
Baca SelengkapnyaPada tahun 2023, tingkat inklusi keuangan di Indonesia tercatat sebesar 88,7 persen, atau lebih tinggi dari tahun 2022 yang sebesar 85,1 persen.
Baca SelengkapnyaSituasi ini sudah berlangsung lama, terutama sejak kebijakan pemerintah yang tidak lagi mendukung sektor pertanian pascareformasi.
Baca SelengkapnyaJumlah petani di Indonesia juga terus mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir.
Baca SelengkapnyaPISA menyebut peningkatan kualitas pendidikan Indonesia sangatlah lambat.
Baca SelengkapnyaTingkat literasi asuransi syariah di Indonesia hanya mencapai 3,99 persen, jauh lebih rendah dibandingkan literasi asuransi konvensional.
Baca SelengkapnyaFungsi fakta dalam teks persuasi atau persuasif beserta contohnya.
Baca SelengkapnyaKesenjangan antara kebutuhan kredit masyarakat dan penyaluran dana dari institusi keuangan masih tinggi.
Baca SelengkapnyaAdin menjelaskan, kegemaran membaca di satuan pendidikan sudah berkembang melalui sekolah maupun perguruan tinggi.
Baca SelengkapnyaPemprov DKI Jakarta menyediakan fasilitas mobil perpustakaan keliling untuk anak-anak supaya giat membaca.
Baca Selengkapnyaindeks inklusi keuangan menggunakan parameter penggunaan terhadap produk dan layanan keuangan.
Baca Selengkapnya