Kena Sindrom Orang Kaya Baru, Warga Pati Ini Sukses Bangkit Usai Bangkrut dan Punya Banyak Utang
Saat berada di puncak kekayaan, sindrom Orang Kaya Baru (OKB) membawanya kembali ke titik terendah.
Saat berada di puncak kekayaan, sindrom Orang Kaya Baru (OKB) membawanya kembali ke titik terendah.
Kena Sindrom Orang Kaya Baru, Warga Pati Ini Sukses Bangkit Usai Bangkrut dan Punya Banyak Utang
Warga Pati Ini Sukses Bangkit Usai Bangkrut dan Punya Banyak Utang
Lahir dari keluarga miskin, Rifan Herriyadi bertaruh nasib melalui segala macam bisnis. Saat berada di puncak kekayaan, sindrom Orang Kaya Baru (OKB) membawanya kembali ke titik terendah.
Melalui akun YouTube Pecah Telur, Rifan bercerita, kemiskinan keluarga membuatnya semangat untuk menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Berharap, dengan status sarjana bisa memperbaiki perekonomian keluarga.
Namun, untuk bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, Rifan harus bersusah payah dahulu.
Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), dia bersekolah di sebuah pondok pesantren yang murah.
Lulus dari pesantren, Rifan diterima di lima perguruan tinggi, termasuk Universitas Indonesia (UI).
Namun, dia lebih memilih Universitas Brawijaya (UB).
"Karena di UI hanya potongan biaya pendidikan saja dengan melampirkan surat keterangan miskin. Sementara di UB saya diterima sebagai calon mahasiswa bidik misi yang mana biaya hidup ditanggung sepenuhnya," kata Rifan, dikutip Kamis (22/2).
Tantangan selanjutnya, Rifan tidak memiliki ongkos untuk berangkat dari desa tempat dia tinggal, ke Universitas Brawijaya, Malang. Sang bibi kemudian secara sukarela memberinya ongkos sebesar Rp320.000.
Tiba di Malang, Rifan masih kebingungan mencari sewa kamar kos.
Sejenak dia beristirahat di masjid. Selang beberapa jam, dia berkeliling dan melamar kerja di sebuah warung internet (warnet).
Rifan mengajukan diri bisa bekerja di warnet tersebut. Keesokan hari, dia mulai bekerja dengan upah Rp10.000 per hari. Sepulang bekerja, Rifan menempelkan brosur-brosur jasa bimbingan belajar.
Satu bulan berjalan, brosur bimbingan belajar Rifan belum menunjukan hasil. Dia menyadari metode pemasaran menggunakan pamflet atau brosur sudah tidak cukup efektif.
Secara otodidak dari internet, Rifan memasarkan jasa bimbingan belajarnya melalui Facebook. Cara itu berhasil.
Bulan kelima, Rifan mundur dari warnet dan fokus merintis bisnis bimbingan belajar.
Semakin hari jumlah murid terus bertambah.
Rifan kemudian melibatkan teman-teman bidik misi untuk ikut bergabung menjadi tenaga ajar.
Bisnis bimbingan belajar Rifan berjalan lancar. Hingga satu tahun kemudian, bisnisnya harus ditutup karena ketidakcakapan dalam manajemen.
Rifan kemudian menjadi pengajar ngaji.
Di satu sisi, intuisi untuk berbisnis kembali muncul. Rifan mengiklankan layanan jasa penerjemah Bahasa Inggris di Facebook, dan berhasil menggaet sejumlah proyek terjemahan. Rifan kembali meraup cuan dari bisnis keduanya ini.
Sayangnya, kondisi serupa kembali terulang. Rifan harus menutup jasa layanan penerjemah.
Dia kemudian beralih ke bisnis terasi. Namun peluang dari bisnis ini belum berhasil.
Restoran yang ditawarkan terasi oleh Rifan tidak berminat.
Tak ingin menyerah, Rifan bergelut kembali dengan Facebook dan Google adsense. Hasilnya, dia bisa mengantongi Rp100 juta setiap bulannya. Di sinilah gaya hidup Rifan mulai berubah.
Keuntungan dari Facebook dan Google adsense dia putar ke bisnis konveksi dan travel sekitar Jawa Timur.
Rifan berada di titik kejayaannya. Dalam satu pekan, hampir bisa dipastikan Rifan plesir ke luar negeri.
Saat berangkat ke kampus, Rifan menggunakan mobil yang dibeli dari uang hasil Facebook dan Google adsense.
Sayangnya, pandemi Covid-19 membawa Rifan kembali terpuruk.
"Saya sudah di atas angin, namun saat pandemi Covid-19 jadi tamparan keras bagi saya. Bisnis saya seluruhnya hancur. Bahkan saya hampir menjual rumah yang saya beli saat itu Rp1 miliar," kata Rifan.
Dia merasa kembali berada di titik terendah dalam hidup. Seluruh materi terkuras habis, bahkan Rifan masih menyisakan utang.
Mental usahanya tak gentar dengan kegetiran hidup. Dia meniti kembali dari 0.
Selama pandemi Covid-19, Rifan mencari jenis usaha yang cocok selama pembatasan mobilitas dan bisa diteruskan meski Pandemi Covid-19 telah mereda.
"Akhirnya saya pilih macaroon, kue khas Prancis. Karena bentuk dan warnanya unik saya pikir ini bisa jadi pilihan meski kondisi sudah normal kembali," kenangnya.
Diawali dengan kegagalan, Rifan berhasil memproduksi macaroon dalam jumlah banyak. Bisnisnya kembali bangkit.
Macaroon produksi Rifan juga sudah bisa ditemukan di berbagai toko oleh-oleh di Malang.
Tidak hanya macaroon, dia juga menjual kudapan lainnya seperti strudel dan kue kering lainnya.