Potensi Ekonomi Syariah di Indonesia Besar, Tapi Kurang Inovatif
Penetrasi perbankan syariah di Indonesia hanya sebesar 6,87 persen, terendah dibandingkan negara-negara musllim.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi syariah. Menurut Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rabin Indrajad Hattari, 87,2 persen penduduk Indonesia beragama Islam.
"Semuanya memberikan landasan yang kuat bagi orang Indonesia untuk menjadikan negara kita sebagai pusat ekonomi Syariah global," kata Rabin dalam acara The Sharia Economy And Finance, Jakarta, Selasa (3/9).
Potensi ini terlihat dari pertumbuhan kelas menengah yang pesat, berkembangnya pasar kesehatan global, serta potensi besar dari Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf. Rabin menjelaskan semua faktor tersebut memberikan landasan kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah global.
Namun, dia juga mengakui adanya sejumlah tantangan yang harus diatasi, termasuk rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah, kurangnya inovasi produk dan layanan syariah, serta terbatasnya sumber daya manusia (SDM) di sektor ini.
Saat ini, penetrasi perbankan syariah di Indonesia masih rendah, hanya sebesar 6,87 persen, yang merupakan angka terendah di antara negara-negara Muslim lainnya.
Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, literasi keuangan syariah mencapai 39,11 persen, sedangkan inklusi keuangan syariah hanya 12,88 persen.
Ini berarti, dari 100 orang, 39 orang mengetahui tentang keuangan syariah, tetapi hanya 12 orang yang aktif menggunakan produk keuangan syariah.
"Inilah kendala yang harus kita atasi bersama," imbuh Rabin.
Minim produk dan layanan syariah yang inovatif
Masalah lainnya termasuk kurangnya produk dan layanan syariah yang inovatif. Daya saing dan inovasi dalam industri keuangan syariah masih kalah dibandingkan dengan industri keuangan konvensional. Produk keuangan syariah menunjukkan inovasi yang lebih sedikit, harga yang lebih tinggi, dan jaringan kantor yang kurang luas.
Selain itu, keterbatasan SDM di sektor keuangan syariah juga menjadi kendala. Survei menunjukkan bahwa 90 persen SDM di lembaga syariah tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang ekonomi atau perbankan syariah, yang menghambat perkembangan lembaga keuangan syariah.
Rabin mencontohkan pengalaman BUMN dalam mendirikan Bank Syariah Indonesia (BSI), yang menghadapi kesulitan dalam menemukan pakar sektor keuangan syariah yang berbakat.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, pemerintah Indonesia telah merumuskan strategi ekonomi dan keuangan syariah dengan beberapa pilar utama.
Langkah-langkah strategis meliputi peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah melalui edukasi masyarakat, pengembangan produk dan layanan syariah yang inovatif, serta pemanfaatan teknologi digital.
Contohnya, BSI telah berusaha memanfaatkan teknologi digital untuk memenuhi kebutuhan dunia yang terus berkembang.
"Strategi ini mencakup beberapa pilar utama, termasuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan Syariah. Bagaimana cara melakukannya? Kami mengedukasi masyarakat," papar dia.
"Kami mengembangkan produk dan layanan Syariah yang inovatif dan mudah diakses. Dan kami memanfaatkan teknologi digital," pungkas Rabin.