Ternyata, Iri Jadi Salah Satu Penyebab Orang Belanja Barang yang Tak Perlu
Sebagian orang merasa bahwa membeli barang yang mereka sukai dapat memberikan kebahagiaan.

Kehidupan sebagian individu sering kali dipenuhi dengan aktivitas membeli barang untuk memenuhi kebutuhan premier atau tersier. Namun, belakangan ini banyak masyarakat berbelanja barang-barang yang sebenarnya bukan kebutuhan.
Mengapa hal ini terjadi? Sebagian orang merasa bahwa membeli barang yang mereka sukai dapat memberikan kebahagiaan, meskipun barang tersebut sama sekali tidak memiliki nilai fungsional dalam kehidupan mereka.
Tentu saja, kebiasaan ini dapat menjadi masalah serius jika kondisi keuangan kita sedang tidak stabil. Penting untuk lebih bijak dalam mengelola pengeluaran agar terhindar dari kesulitan finansial di masa depan.
Lalu, apa sebenarnya alasan di balik kebiasaan orang membeli barang yang tidak dibutuhkan? Salah satunya adalah dorongan untuk mengikuti tren yang sedang populer dan banyak dibicarakan.
Melansir dari Becoming Minimalist, berikut alasan mengapa seseorang lebih banyak membeli barang yang tidak dibutuhkan:
Berpikir Bahwa Itu Aman
Logika kita sering kali berpikir bahwa memiliki banyak harta benda akan memberikan rasa aman yang lebih besar. Dengan memiliki atap, pakaian, dan transportasi yang andal, kita merasa kebutuhan dasar terpenuhi. Maka, semakin banyak barang yang dimiliki, semakin besar pula rasa aman yang kita harapkan.
Namun, setelah kebutuhan mendasar tercukupi, kita mulai menyadari bahwa rasa aman sejati dari harta benda bersifat jauh lebih rapuh daripada yang kita bayangkan. Segala sesuatu dapat musnah, rusak, atau memudar seiring waktu. Bahkan, semua itu bisa lenyap lebih cepat dari yang kita perkirakan.
Berpikir Barang Tersebut Membuat Bahagia
Tidak seorang pun akan mengakui bahwa mereka mencari kebahagiaan dalam harta benda, kita semua menjalani hidup seperti biasa.
Kita membeli rumah yang lebih besar, mobil yang lebih cepat, teknologi yang lebih canggih, dan mode yang lebih trendi dengan harapan kita akan menjadi lebih bahagia karenanya.
Sayangnya, kebahagiaan yang sesungguhnya yang diperoleh dari harta benda yang berlebihan hanya bersifat sementara.
Manusia Lebih Rentan Terhadap Iklan
Rata-rata, kita terpapar oleh sekitar 5.000 iklan setiap hari. Setiap iklan menyampaikan pesan yang serupa 'hidup Anda akan lebih baik jika Anda membeli produk atau layanan yang kami tawarkan'. Ketika pesan ini terus-menerus disampaikan dari berbagai sudut pandang, kita secara perlahan mulai mempercayainya, sering kali tanpa sadar.
Pernyataan ini bukanlah kecaman total terhadap industri pemasaran, melainkan sebuah pengingat untuk lebih waspada terhadap sejauh mana pesan-pesan tersebut memengaruhi pikiran dan perilaku kita, seringkali lebih dari yang kita sadari.
Berharap untuk Membuat Orang Lain Terkesan
Dalam masyarakat yang makmur, rasa iri dengan cepat menjadi kekuatan pendorong bagi kegiatan ekonomi. Setelah semua kebutuhan dasar kita terpenuhi, konsumsi harus menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kebutuhan. Konsumsi menjadi kesempatan untuk memamerkan kekayaan, kepentingan, dan kesuksesan finansial kita kepada dunia.
Iri
Membandingkan apa yang terlihat di luar, merupakan keadaan alami manusia. Kita memperhatikan apa yang dibeli, dikenakan, dan dikendarai orang lain. Masyarakat kita mendorong perbandingan ini.
Dan terlalu sering, kita membeli barang yang tidak kita butuhkan hanya karena orang-orang di lingkungan pertemanan kita melakukan hal yang sama. Budaya yang terpaku pada pujian terhadap kelebihan akan selalu salah mendefinisikan kesuksesan sejati.
Mencoba Menutupi Kekurangan
Secara keliru, kita mencari rasa percaya diri melalui pakaian yang kita kenakan atau mobil yang kita kendarai. Kita berusaha pulih dari kehilangan, kesepian, atau patah hati dengan membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Kita mencari kepuasan dalam hal-hal materi.
Dan kita mencoba membuat orang lain terkesan dengan barang-barang yang kita miliki, bukan dengan diri kita sendiri. Namun, pengejaran ini tidak akan pernah sepenuhnya memuaskan kekurangan kita. Sering kali, hal itu justru menghalangi kita untuk mengatasinya.