Mengenal Fenomena Efek Lipstik dan Faktor Pemicunya Menurut Psikolog
Mengenal fenomena efek lipstik yang menjangkiti banyak orang disaat ekonomi sulit. Ternyata ini sebabnya.
Fenomena Efek Lipstik, istilah yang menggambarkan kecenderungan konsumen untuk membeli barang-barang kecil yang memberi kepuasan instan di tengah situasi ekonomi sulit, menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Salah satu contoh yang sering muncul adalah membeli lipstik premium atau barang mewah kecil lainnya, bahkan ketika kondisi finansial sedang tidak ideal. Psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia, Ratih Ibrahim, menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku ini, seperti yang dikutip dari ANTARA.
Faktor Ekonomi, Emosional, dan Sosial Budaya
Menurut Ratih, fenomena Efek Lipstik ini dipicu oleh beberapa faktor, yaitu ekonomi, emosional, dan sosial budaya yang saling berkaitan satu sama lain. "Tiga aspek tadi tuh saling berkaitan. Justru karena ngerasa, 'aduh kok susah banget ya hidup ya', gitu, 'Mumpung masih ada duit seneng-senengin diri gue', biar dipuji aja, itu possible (mungkin)," ungkap Ratih.
-
Apa penyebab utama lipstik patah? Lipstik yang terjatuh dan patah menjadi dua bagian seringkali menjadi masalah yang menjengkelkan.
-
Siapa penemu lipstik? Mengutip dari Britannica, bangsa pertama yang memakai lipstik atau pewarna bibir adalah dari bangsa Sumeria.
-
Kenapa lipstik jadi penting buat perempuan? Bagi sebagian besar perempuan, lipstik bukan hanya sekadar pewarna bibir, tetapi juga menjadi elemen penting yang mempengaruhi rasa percaya diri mereka. Tidak jarang, ada yang merasa kurang lengkap atau percaya diri jika belum mengaplikasikan lipstik sebelum beraktivitas.
-
Bagaimana memilih lipstik yang tepat? Anda bisa memilih jenis liptik sesuai dengan kebutuhan, seperti lip cream, lip tint atau lipstick stick, dengan hasil akhir yang satin, matte atau glossy.
-
Apa manfaat dari lipstik? Lipstik berfungsi memberi warna bibir agar terwujud riasan yang cantik serta segar dan sehat sesuai yang diinginkan.
-
Siapa yang sering menggunakan lipstik? Lipstik adalah salah satu alat make-up yang sering kali menjadi andalan bagi banyak perempuan.
Fenomena ini menyoroti kondisi psikologis konsumen yang, meskipun berhadapan dengan tantangan ekonomi, tetap mencari cara untuk merasa lebih baik dan menunjukkan bahwa mereka masih dapat menikmati hal-hal kecil. Pembelian barang mewah dengan harga terjangkau atau yang sedang diskon juga termasuk ke dalam kategori pembelian emosional.
Seringkali, keputusan ini tidak didasari oleh kebutuhan, melainkan untuk mendapatkan perasaan senang atau rasa kontrol atas hidup. Ratih menegaskan, di masa sulit seperti sekarang, banyak konsumen terdorong untuk membeli barang-barang kecil yang memberikan kesenangan instan.
Pengaruh Gaya Hidup dan Sosial Media
Di era digital saat ini, pilihan untuk membeli barang mewah kecil semakin dipengaruhi oleh tren sosial yang ditampilkan oleh para influencer. Konten-konten gaya hidup yang memperlihatkan kemewahan sering kali diikuti oleh para pengikut mereka, meskipun kondisi ekonomi pribadi mungkin tidak mendukung untuk melakukan hal yang sama.
Para influencer, dengan mudah mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kebutuhan sekunder, menjadikan pembelian barang-barang tersebut sebagai bagian dari gaya hidup modern. Ratih menjelaskan bahwa pengaruh media sosial dan gaya hidup mewah ini menjadi salah satu bentuk pembenaran untuk membeli barang yang tidak selalu dibutuhkan.
"Bukan hanya in denial (dalam penolakan), dia dalam in denial-nya itu dia membangun illusion of control (ilusi kendali), bahwa 'saya punya kendali loh terhadap hidup saya'," jelas Ratih. Ia menyebut bahwa ilusi kendali ini memberikan perasaan bahwa mereka memiliki kontrol atas hidup mereka, padahal sebenarnya keputusan tersebut lebih banyak didorong oleh emosi dan pengaruh eksternal daripada kebutuhan yang rasional.
Dampak Terhadap Kesehatan Mental
Ratih juga memperingatkan bahwa kebiasaan untuk terus menerus membeli barang-barang untuk mencari pelarian dari realita bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental. "Karena ini pelarian, in denial terhadap kondisi realitanya, berpengaruh pada kesehatan mentalnya," ujarnya. Ratih menjelaskan bahwa semakin seseorang menghindari realita melalui pembelian barang yang tidak perlu, semakin berat dampak psikologis yang akan mereka rasakan ketika akhirnya harus menghadapi realita.
“Karena, begitu kamu lari, ketika kamu harus berhadapan sama realita, itu realitanya memukul dirimu sangat buruk. Susah,” tambah Ratih. Ketika seseorang menutupi kesulitan hidupnya dengan cara pelarian yang semu ini, realita yang tak terhindarkan akan terasa lebih berat dan menekan.
Menghindari Perilaku Konsumtif dan Membangun Kesadaran Diri
Ratih menekankan pentingnya bagi individu untuk menyadari dan membatasi kebiasaan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Menurutnya, langkah awal yang bisa dilakukan untuk menahan hasrat berbelanja yang bersifat pelarian adalah dengan menetapkan anggaran belanja yang ketat. Ini bertujuan agar keuangan pribadi lebih terkontrol dan tidak terjerumus dalam perilaku konsumtif yang dapat menjerumuskan diri ke dalam masalah finansial.
Salah satu tips praktis yang disarankan Ratih adalah menghindari aktivitas yang dapat memicu perilaku konsumtif, seperti membuka aplikasi belanja atau mengikuti konten yang mendorong gaya hidup mewah di media sosial. Dengan langkah sederhana ini, seseorang dapat membangun kesadaran untuk mengendalikan perilaku konsumtif dan lebih fokus pada kebutuhan yang benar-benar penting.
Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tekanan Ekonomi
Ratih menyarankan, alih-alih mencari kepuasan sementara melalui pembelian barang mewah yang tidak diperlukan, masyarakat perlu mencari kegiatan yang dapat memberi kebahagiaan tanpa membebani kondisi finansial. Membangun hobi baru atau meluangkan waktu bersama keluarga dapat menjadi alternatif yang lebih sehat. Selain membantu mengurangi stres, pilihan-pilihan ini juga memberikan manfaat jangka panjang bagi kesehatan mental.
Dengan mengenali fenomena Efek Lipstik dan memahami faktor-faktor yang memicunya, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial dan tidak terjebak dalam ilusi kendali yang semu. Lebih jauh, langkah ini dapat menjadi upaya preventif untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan di tengah tekanan ekonomi yang mungkin sedang dihadapi.