Boneka Labubu dan Fenomena FOMO: Ketika Tren Menjadi Ancaman Bagi Mental
FOMO adalah rasa takut tertinggal pengalaman yang terjadi di sekitarnya. Namun tahukah Anda bahwa ketakutan ini ternyata berbahaya bagi kesehatan mental?
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) merujuk pada rasa takut tertinggal pengalaman, acara, atau aktivitas yang sedang terjadi di sekitarnya. Fear of missing out (FoMO) adalah istilah unik yang diperkenalkan pada tahun 2004 dan kemudian digunakan secara luas sejak tahun 2010 untuk menggambarkan fenomena yang diamati di situs jejaring sosial. Istilah ini berhasil masuk ke Kamus Oxford pada tahun 2013. Pada tahun 2013, psikolog Inggris mendefinisikan FOMO sebagai “pemahaman luas bahwa orang lain mungkin mendapatkan pengalaman berharga yang tidak dimiliki seseorang”, FoMO ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain. (Kou Murayama, Cody R. DeHaan, dkk. 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mayank Gupta dan Aditya Sharma pada tahun 2021, FOMO mencakup dua proses, yang pertama yaitu rasa tertinggal yang diikuti dengan tindakan obsesif untuk menjaga ikatan sosial tersebut. Sindrom psikologis yang dikenal sebagai FOMO tergolong masih sangat baru. Hal ini bisa berupa perasaan sementara yang muncul di tengah percakapan, atau pola pikir yang membuat orang tersebut merasa tidak percaya diri, marah secara tiba-tiba, kesepian, perasaan tidak puas, depresi, dan kecemasan pada individu. FOMO seringkali dianggap sebagai dampak negatif penggunaan sosial media secara berlebih dan dikaitkan dengan serangkaian gaya hidup yang negatif dan tidak sehat seperti kurang tidur, hilangnya semangat hidup, kecemasan berlebih (anxiety) dan kurangnya kontrol emosi (Majid Altuwairiq, Nan Jiang dan Raian Ali, 2019) FOMO dapat mempengaruhi kesehatan mental dan memicu ketidakpuasan terhadap kehidupan sendiri, terutama ketika seseorang membandingkan diri dengan orang lain yang terlihat lebih bahagia atau lebih sukses.
-
Gimana FOMO memengaruhi gaya hidup? Di era yang serba digital, FOMO (Fear of Missing Out) menjadi salah satu pemicu utama dari fenomena Lipstick Effect. Media sosial berperan besar dalam menciptakan standar gaya hidup yang tampak harus diikuti.
-
Bagaimana pengaruh FOMO terhadap kesehatan mental? Beberapa dampak FOMO adalah sebagai berikut: FOMO dapat menyebabkan stres dan kecemasan yang berhubungan dengan perasaan tertinggal atau tidak bisa “mengikuti“ perkembangan yang terjadi di media sosial. Orang yang terlalu khawatir karena merasa ketinggalan dapat merasa tidak puas dengan diri sendiri dan hidupnya.
-
Bagaimana FOMO mempengaruhi perilaku? Orang yang mengalami FOMO merasa seolah-olah mereka tertinggal atau kehilangan kesempatan, sehingga mereka terdorong untuk selalu terhubung dan mengikuti perkembangan terbaru agar tidak merasa terisolasi atau kurang dari yang lain.
-
Kenapa FOMO terjadi? Rasa ingin tahu tentang kehidupan orang lain dapat menciptakan perasaan kurangnya kepuasan terhadap hidup sendiri. Melihat teman-teman atau kenalan di media sosial yang terlibat dalam aktivitas menarik dapat memicu FOMO.
-
Kenapa FOMO membuat orang merasa cemas? Amigdala bisa memunculkan kesan bahwa ketinggalan atau tertinggal dalam suatu hal sebagai sebuah ancaman. Perasaan ini kemudian menyebabkan stres dan kecemasan yang terjadi pada seseorang.
-
Apa itu FOMO? FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out. Istlah ini merujuk pada perasaan cemas atau khawatir yang dirasakan seseorang ketika mereka merasa bahwa mereka sedang melewatkan pengalaman sosial atau kegiatan yang menyenangkan yang sedang terjadi pada orang lain.
Tren Boneka Labubu dan Kaitannya dengan FOMO
Perasaan takut tertinggal atau FOMO ini sering terjadi dalam konteks sosial media dan tren populer, seperti tren boneka Labubu yang sedang viral. Tren boneka Labubu, yang merupakan salah satu koleksi mainan terkenal dari Pop Mart, belakangan ini telah menjadi objek perhatian di berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan unggahan Lisa, anggota Blackpink, di Instagramnya pada bulan April 2024. Boneka ini memiliki bentuk yang unik dan lucu, yang membuatnya diminati oleh berbagai kalangan, terutama di kalangan anak muda dan penggemar koleksi mainan. Ketersediaan yang terbatas dan membuat orang semakin terobsesi untuk mendapatkannya.
Mengumpulkan mainan adalah hobi yang menyenangkan, namun, fenomena ini juga menggambarkan bagaimana FOMO memiliki dampak besar terhadap konsumerisme kontemporer. Orang yang mengalami FOMO mungkin merasa perlu mengikuti tren tersebut agar tidak tertinggal atau dikucilkan dari kelompok sosial tertentu. Perasaan ini dapat memicu kecemasan dan mendorong perilaku impulsif untuk membeli produk demi tetap merasa "terhubung" dengan tren, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan mental.
Menurut penelitian yang diterbitkan di Journal of Consumer Research, perilaku impulsif yang dipicu oleh FOMO sering kali menyebabkan stres finansial, perasaan cemas, dan bahkan penyesalan setelah pembelian (buyer’s remorse). Studi ini juga menunjukkan bahwa individu dengan tingkat FOMO yang tinggi lebih cenderung menghabiskan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, hanya untuk memenuhi kebutuhan sosial atau emosional.
Dampak FOMO Terhadap Kesehatan Mental
Depresi
FOMO dapat berdampak negatif terhadap kondisi mental seseorang dan bisa memperburuk gejala depresi. Studi yang dipublikasikan oleh Psychiatry Research menemukan hubungan antara gejala depresi dan FOMO. Individu yang selalu merasa “tertinggal” dalam kehidupan akan selalu membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain, yang dapat memperburuk gejala depresi, munculnya perasaan tidak percaya diri dan minder.
Selain kerentanan terhadap distraksi, FOMO juga dapat menyebabkan penurunan produktivitas secara keseluruhan dan memperburuk kesehatan mental. Penelitian terbaru menemukan adanya hubungan ketakutan ini dengan gangguan tidur, kecemasan sosial, depresi klinis, dan penurunan prestasi akademik (Patrick Ferrucci, Margaret Duffy, Edson C. Tandoc Jr. 2014). Individu yang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain akan selalu merasa frustasi dan iri hati. Perilaku tersebut dapat memperparah emosi negatif seperti cemburu, dendam, dan cemas serta keinginan untuk mengejar kesempurnaan sosial media.
Gangguan Tidur
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Sleep Medicine Reviews, FOMO dapat menyebabkan gangguan tidur karena orang-orang, terutama remaja, merasa perlu untuk selalu aktif di media sosial, bahkan di malam hari, agar tidak tertinggal informasi satupun. Penggunaan sosial media yang berlebih terutama pada malam hari, akan menimbulkan pikiran-pikiran dan perasaan negatif bagi penggunanya, yang dapat mempengaruhi kualitas tidur mereka. Mereka yang memiliki tingkat FOMO tinggi juga sering memeriksa media sosial pada waktu-waktu yang tidak tepat, seperti saat mengendarai mobil atau berlangsungnya perkuliahan.
Pengambilan Keputusan yang Tidak Sehat
Fear of missing out (FOMO) dapat menyebabkan seseorang mengambil keputusan gegabah yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat menimbulkan penyesalan dan ketidakpuasan terhadap pilihan yang telah diambilnya. Selain itu, FOMO juga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang buruk, seperti membeli barang-barang yang tidak diperlukan atau mengikuti tren hanya untuk "menyesuaikan diri" dan tidak merasa tertinggal. Penelitian yang dilakukan oleh Journal of Consumer Research, mengeksplorasi bagaimana FOMO mempengaruhi perilaku konsumsi, termasuk keputusan impulsif untuk membeli barang yang tidak diperlukan, seperti tren boneka Labubu. Perilaku impulsif ini dapat menyebabkan stres finansial dan perasaan tidak puas.
Fenomena FOMO yang semakin marak terjadi di era media sosial ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental, terutama di kalangan remaja. Rasa cemas tertinggal dari tren populer, atau peristiwa yang terjadi disekitar kita dapat memicu kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan perilaku konsumtif impulsif. Sangat penting bagi individu untuk membangun kesadaran diri dan mengendalikan penggunaan media sosial agar terhindar dari efek negatif FOMO.