Fomo dengan Tren Labubu, Apa Penyebab Seseorang Mengalaminya dan Bagaimana Cara Menghadapinya?
Tren Labubu mencerminkan fenomena FOMO yang semakin menguat di kalangan generasi muda. Simak penyebab FOMO dan bagaimana menghadapinya.
Fenomena FOMO atau Fear of Missing Out adalah suatu perasaan cemas bahwa orang lain sedang menikmati hal-hal yang lebih baik daripada diri kita. Perasaan ini muncul ketika seseorang merasa khawatir kehilangan pengalaman berharga yang dialami orang lain. Saat mengalami FOMO, seseorang dapat merasakan kecemasan dan cenderung melakukan perilaku kompulsif, seperti terus-menerus memeriksa media sosial.
Dilansir dari Very Well Mind, istilah FOMO pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Dan Herman pada tahun 1996. Namun, dengan perkembangan teknologi dan media sosial, FOMO semakin terasa. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang lebih aktif di media sosial cenderung mengalami tingkat FOMO yang lebih tinggi. Remaja, khususnya, berada dalam fase yang rentan dan sering terjebak dalam perbandingan tidak sehat dengan teman-teman mereka. Survei Gallup 2023 mengungkapkan bahwa lebih dari setengah remaja di AS menghabiskan lebih dari empat jam sehari di media sosial, yang memperburuk perasaan FOMO mereka.
Di era digital saat ini, FOMO semakin meluas, terutama di kalangan pengguna media sosial. Media sosial menjadi salah satu faktor utama pemicu FOMO, karena pengguna sering membandingkan kehidupan sehari-hari mereka dengan momen-momen terbaik yang dibagikan oleh orang lain, menciptakan kesan bahwa hidup orang lain lebih menarik. Misalnya, tren boneka Labubu yang viral merupakan contoh bagaimana FOMO dapat diperparah oleh media sosial. Meskipun FOMO bukan kondisi yang dapat didiagnosis secara psikologis, dampaknya terhadap kesehatan mental dan fisik sangat signifikan, berpotensi menurunkan kepercayaan diri dan meningkatkan kecemasan bagi mereka yang mengalaminya.
FOMO yang Disebabkan dari Tren Boneka Labubu
Boneka Labubu, dengan ekspresi wajah yang khas, bentuk tubuh kecil, dan penampilan menggemaskan, berhasil menarik perhatian banyak orang. Meski terlihat sederhana, Labubu menjadi barang koleksi yang sangat bernilai, terutama karena jumlahnya yang terbatas. Setiap kali ada rilisan baru, boneka ini sering kali terjual habis dalam waktu singkat, meningkatkan kesan eksklusif dan daya tarik bagi mereka yang merasakan FOMO.
Banyak orang merasa dorongan untuk membeli Labubu agar tidak tertinggal dari teman-teman yang sudah memilikinya, yang semakin menambah rasa FOMO. Mereka khawatir akan kehilangan momen berharga jika tidak memiliki boneka ini.
Oleh karena itu, penting untuk menyadari pengaruh FOMO yang muncul dari tren seperti boneka Labubu. Mengambil keputusan berdasarkan keinginan dan nilai pribadi, alih-alih hanya mengikuti tekanan sosial, dapat membantu kita mengatasi perasaan tidak berharga yang sering muncul akibat FOMO.
Generasi Muda: Sasaran Utama FOMO
Dilansir dari Forbes Health, generasi muda, termasuk remaja dan orang dewasa muda, lebih rentan terhadap FOMO karena mereka menghabiskan banyak waktu di media sosial. Dr. Dattilo menyebutkan bahwa mereka yang sangat memperhatikan hubungan sosial cenderung lebih mengalami FOMO. Selain itu, individu dengan kecemasan sosial juga berisiko lebih tinggi, karena mereka lebih suka menghindari interaksi langsung dan lebih mengandalkan media sosial untuk merasa terhubung.
Faktor Penyebab FOMO
Dilansir dari Cleveland Clinic, FOMO dapat dialami oleh siapa saja, tetapi individu dengan kondisi kesehatan mental tertentu atau rendahnya harga diri lebih rentan. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan dapat memperburuk gejala kecemasan dan depresi. Bagi mereka yang mengalami kecemasan atau depresi, ketergantungan pada media sosial sebagai sarana untuk terhubung dapat menjadi masalah, karena mereka seringkali kurang memiliki interaksi sosial yang memadai.
Selain itu, lingkungan sosial yang kompetitif dan tekanan dari teman sebaya juga dapat memperkuat perasaan FOMO. Ketika individu merasa bahwa mereka harus selalu "up-to-date" atau terlibat dalam aktivitas yang sedang tren, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan dan keinginan pribadi. Budaya konsumsi yang didorong oleh iklan dan pemasaran yang berlebihan juga berkontribusi, menciptakan persepsi bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup dapat diperoleh dari mengikuti tren terkini. Semua faktor ini saling terkait dan berkontribusi pada meningkatnya pengalaman FOMO di kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.
Cara Menghadapi FOMO
Dengan memahami fenomena ini, kita menyadari bahwa FOMO adalah pengalaman yang umum dialami banyak orang. Dilansir dari Psychology Today, setiap individu ingin merasa kompeten, terhubung dengan orang lain, dan memiliki kemampuan untuk membuat pilihan sendiri. Namun, pemasaran modern sering kali mengeksploitasi keinginan ini, menggantikan rasa kompetensi dengan kecemburuan dan hubungan dengan kebahagiaan. Akibatnya, kita sering terjebak dalam siklus ketidakpuasan.
Menghadapi FOMO memerlukan pendekatan yang lebih reflektif. Pertama, luangkan waktu untuk berpikir jernih daripada terperangkap dalam manipulasi rasa takut. Tanyakan pada diri sendiri apakah berpartisipasi dalam suatu aktivitas benar-benar memberikan nilai tambah. Selanjutnya, evaluasi apakah aktivitas tersebut membantu meningkatkan kompetensi Anda. Ingatlah bahwa mengikuti tren yang digemari orang lain tidak selalu berarti Anda melakukan hal yang terbaik untuk diri sendiri.
Akhirnya, pertimbangkan apakah Anda benar-benar menyukai orang-orang yang terlibat dalam interaksi sosial tersebut. Jangan biarkan diri Anda terjebak dalam hubungan yang tidak memuaskan hanya untuk mengikuti tren. Menghabiskan waktu dengan orang-orang yang Anda sukai dan melakukan hal-hal yang meningkatkan kompetensi Anda akan lebih memenuhi kebutuhan sosial dan emosional, serta mengurangi rasa takut kehilangan momen berharga.