Kisah Pasutri Bikin Sekolah Berkualitas Gratis di Tulungagung, Awalnya Lesehan di Teras Rumah yang Dindingnya Lapuk
Pasutri ini selalu mengingat pesan orang tuanya untuk tidak mengukur pekerjaan dengan uang yang didapat.
Pasutri ini selalu mengingat pesan orang tuanya untuk tidak mengukur pekerjaan dengan uang yang didapat.
Ada kalanya jurusan kuliah dan pekerjaan tidak sinkron. Hal ini dialami Sri Saktiani, pendiri sekolah berkualitas gratis di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Sakti, panggilan akrabnya, pernah tercatat sebagai mahasiswi jurusan Tata Boga IKIP Surabaya (sekarang Unesa). Ia mengaku menjalani kuliah dengan sepenuh hati. Setiap hari ia berangkat dan duduk di bangku bagian depan, namun selalu mengantuk setiap kali kuliah berlangsung.
Sakti menceritakan titik balik kehidupannya terjadi saat ia semester tiga. Saat itu, ia nekat melamar kerja di sebuah sekolah swasta terkenal di Surabaya. Beruntung, ia kemudian diterima di sana. Momen itu membuat dia belajar tentang seluk-beluk anak.
Menjadi guru di sebuah sekolah di Surabaya itu membuat Sakti semakin menyukai dunia pendidikan dan anak-anak. Bahkan, setelah menikah dan menetap di Malang, Sakti tetap menjalani profesinya sebagai pendidik di sekolah Surabaya tersebut.
"Almarhum ibu mertua berpesan supaya kalau bekerja jangan melihat angkanya (gaji), tapi barokahnya. Setiap hari saya berangkat jam 2 dini hari dari Malang ke Surabaya," ungkap Sakti, mengutip YouTube Pecah Telur.
Selama menjadi pendidik di Surabaya, Sakti juga merangkap sebagai guru di sebuah lembaga TK di Malang. Hanya hitungan bulan, ia kemudian dipercaya menjadi kepala sekolah TK tersebut. Sakti yang merasa pendidikannya belum cukup bersedia menerima amanah menjadi kepala TK asal ia diberi kesempatan menempuh pendidikan tinggi jurusan PGTK (Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak).
Pada tahun 2004 saat sudah tinggal di Tulungagung, Sakti dan suaminya, Yudi Irwan Sunarjono memantapkan diri mendirikan PAUD dan TK gratis. Mereka memanfaatkan teras rumah milik mendiang orang tua.
Saat itu sekolah dibuka pada sore hari, mengingat Sakti dan Yudi memiliki tanggung jawab lain pada pagi hingga siang hari.
"Muridnya hanya 3. Saya menggelar perlak di rumah yang dindingnya bambu, kalau dipegang rontok," kata Sakti mengenang perjuangannya.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak anak maupun orang tua yang tertarik dengan sekolah tersebut.
Pada tahun 2007, Sakti dan Yudi mengajukan proposal pendirian MI (setara SD), namun proposal itu ditolak oleh pemerintah setempat. Baru pada 2010, MI milik pasutri ini mendapat izin berdiri dengan murid berjumlah tujuh anak di tahun pertamanya. Kini, murid di sekolah ini sudah mencapai 134 anak.
"Selain entrepreneur, kekhasan sekolah ini inklusif dan ramah anak. Ada anak berkebutuhan khusus," terang Sakti.
Perhimpunan Guru mengatakan, anggaran BOS saat ini tidak bisa menutupi kebutuhan sekolah.
Baca SelengkapnyaPlt Kadisdik DKI Purwosusilo mengaku bakal akan konsekuensi jika rencana sekolah gratis diterapkan
Baca SelengkapnyaProgram makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren yang diinisiasi pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca SelengkapnyaJalan setapak, bangunan sekolah sampai lapangan bola kini berubah menjadi lautan.
Baca SelengkapnyaSaat pertama kali berkenalan, keduanya sama-sama memiliki latar belakang ekonomi yang sulit.
Baca SelengkapnyaSetiap hari ia menabung seribu rupiah hingga Rp15 ribu.
Baca SelengkapnyaWalau dia tak tamat menempuh pendidikan di bangku SD, nyatanya kini ia berhasil menjadi seorang bos dengan punya banyak karyawan.
Baca SelengkapnyaSang pendiri, Kiai Nur baru mendirikan surau saat puluhan santri datang untuk berguru padanya.
Baca SelengkapnyaKabur Setelah Tusuk Pria Saingan, Mahasiswi Penyuka Sejenis Ditangkap di Kampar
Baca Selengkapnya