Reza Rahardian Ikut Demo di Depan DPR 'Ini Bukan Negara Milik Keluarga Tertentu'
Reza mengatakan kehadirannya tidak mewakili kepentingan apapun.
Aktor Reza Rahardian ikut demo penolakan revisi Undang-Undang Pilkada di depan gedung DPR. Mengenakan kaos hitam dan topi hitam, Reza berorasi di depan ribuan massa yang hadir.
Reza mengatakan kehadirannya tidak mewakili kepentingan apapun. Dia hadir sebagai sebagai rakyat biasa lantaran gelisah dengan demokrasi yang terjadi saat ini.
- FOTO: Momen Reza Rahadian Turun ke Jalan Protes Revisi UU Pilkada, Orasi Keras "Ini Bukan Negara Milik Keluarga"
- Emosi! Reza Rahadian Orasi Tolak RUU Pilkada: Ini Bukan Negara Milik Keluarga
- Orasi Lengkap Reza Rahadian Tunjuk Gedung DPR: Saya Tidak Bisa Tidur Tenang, Anda Wakil Siapa?
- Reza Rahadian Ikut Demo di DPR: Inilah Waktu yang Tepat Saya Keluar, Ini Bukan Negara Milik Keluarga!
"Saya hadir hari ini sebagai rakyat biasa bersama teman-teman semua, tidak mewakili siapapun selain suara orang-orang yang gelisah hari ini melihat demokrasi kita seperti ini," kata Reza.
Dalam orasinya, Reza juga mengatakan jika negara ini bukan milik keluarga tertentu. Oleh karena itu, sebagai rakyat harus bisa melawan karena dia merasa miris dengan polemik yang terjadi.
"Ini bukan negara milik keluarga tertentu. Kalau ada nomor dalam UU kemudian hanya untuk dibela untuk keluarga tertentu, miris melihat ini semua," kata Reza.
Selain Reza Rahardian, sejumlah komika Tanah Air ikut serta mengikuti aksi demo di depan Gedung DPR, Jakarta. Para komika Diantaranya yakni Abdur Arsyad, Arie Kriting, Bintang Emon hingga Abdel Achrian.
DPR Anulir Keputusan MK
Seperti diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendadak mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dalam rapat kerja yang digelar pada Rabu, 21 Agustus 2024 kemarin.
Agenda tersebut dilakukan tepat satu hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan progresif yang mengubah aturan Pilkada.
Berdasarkan rapat Panitia Kerja (Panja), RUU Pilkada ini tidak merujuk pada putusan MK, justru sebaliknya. RUU Pilkada ini cenderung melawan putusan MK.
Banyak pihak kemudian menuding langkah yang dilakukan Baleg DPR itu sebagai salah satu bentuk pembangkangan yang bisa membuat cacat hukum di Indonesia.
Baleg DPR RI telah sepakat jika RUU Pilkada dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi UU. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja di Ruang Baleg, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8).
Delapan Fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus menyetujui Revisi UU Pilkada dibawa ke rapat paripurna. Hanya Fraksi PDIP yang tak sependapat dengan putusan tersebut.
Ada beberapa poin-poin Putusan MK yang direvisi DPR melalui RUU Pilkada, salah satunya mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah.
Dalam Pasal 40 UU Pilkada, MK memutuskan menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kemudian, ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Angka persentase dukungan partai ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, maupun kota.
Baleg DPR merevisi putusan tersebut melalui RUU Pilkada dan menyatakan ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD.
Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Akibatnya, PDIP akan gagal mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sendiri bila menggunakan aturan Baleg. Namun, jika menggunakan putusan MK pada Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, PDIP bisa mengusung calonnya sendiri.
Selain itu, MK juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon sesuai Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada.
Namun, aturan tersebut lagi-lagi diubah Baleg DPR dengan merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.