Alasan Mengapa Banyak Orang Tidak Mau dan Ragu Disuntik Vaksin Covid-19
Sekitar 10 sampai 20 persen orang di Inggris, sekitar 50 persen di Jepang, dan 60 persen di Prancis jumlah orang yang tidak mau divaksinasi. Apa penyebabnya? Berikut analisisnya.
Seharusnya tidak ada keraguan terkait ini: Vaksin Covid-19 menyelamatkan nyawa.
Pertimbangkan beberapa statistik terbaru dari Inggris. Dalam sebuah penelitian yang menelusuri lebih dari 200.000 orang, hampir setiap peserta mengembangkan antibodi yang bisa melawan virus corona dalam dua pekan setelah menerima dosis kedua mereka.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Kenapa bentuk kapsid virus berbeda-beda? Bentuk kapsid sangat bergantung pada jenis virusnya. Kapsid virus bisa berbentuk bulat, polihedral, heliks, atau bentuk lain yang lebih kompleks. Kapsid tersusun atas banyak kapsomer atau sub-unit protein.
-
Kapan peningkatan kasus Covid-19 terjadi di Jakarta? Adapun kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Kapan virus menjadi pandemi? Contohnya seperti virus Covid-19 beberapa bulan lalu. Virus ini sempat menjadi wabah pandemi yang menyebar ke hampir seluruh dunia.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Apa itu Vaksin Herpes Zoster? Vaksin Herpes ZosterSangat penting bagi masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan mendapatkan vaksin Herpes Zoster. Hal ini agar kondisi seperti yang dijelaskan sebelumnya bisa dicegah. Vaksin Herpes Zoster sendiri perlu didapatkan oleh kelompok usia 50 tahun ke atas.
Terlepas dari kekhawatiran sebelumnya bahwa vaksin yang ada saat ini mungkin kurang efektif melawan varian Delta, analisis menyatakan vaksin AstraZeneca dan Pfizer-BioNTech mengurangi angka rawat inap sampai 92-96 persen. Seperti banyak diulangi para praktisi kesehatan, risiko efek samping parah karena vaksin sangat kecil dibandingkan dengan risiko penyakit tersebut.
Namun masih banyak orang yang masih enggan disuntik vaksin Covid. Menurut laporan terbaru IMF, dikutip dari BBC, Kamis (5/8), berkisar sekitar 10 sampai 20 persen orang di Inggris, sekitar 50 persen di Jepang, dan 60 persen di Prancis jumlah orang yang tidak mau divaksinasi.
Hasilnya menjadi semacam perang budaya di media sosial, dengan banyak komentator online mengklaim mereka yang ragu-ragu dengan vaksin itu bodoh atau egois. Tetapi psikolog yang berspesialisasi dalam pengambilan keputusan medis berpendapat, pilihan ini seringkali merupakan hasil dari banyak faktor rumit yang perlu ditangani secara sensitif, jika kita ingin memiliki harapan untuk mencapai kekebalan populasi.
Pertama, beberapa perbedaan. Meskipun ada asumsi siapa pun yang menolak vaksin memiliki keyakinan yang sama, ketakutan sebagian besar orang yang ragu-ragu terhadap vaksin tidak boleh bingung dengan teori aneh para antivaksin (anti-vaxxer).
"Mereka sangat vokal, dan mereka memiliki kehadiran yang kuat secara offline dan online," kata Mohammad Razai di Population Health Research Institute, St George's, Universitas London, yang telah menulis tentang berbagai faktor psikologis dan sosial yang dapat memengaruhi keputusan orang seputar vaksin.
"Tapi mereka minoritas yang sangat kecil."
Sebagian besar orang yang ragu-ragu terhadap vaksin tidak memiliki agenda politik dan tidak berkomitmen pada tujuan anti-ilmiah: mereka hanya ragu-ragu tentang pilihan mereka untuk menerima suntikan.
Kabar baiknya adalah banyak orang yang awalnya ragu-ragu berubah pikiran.
"Tetapi bahkan penundaan dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan karena infeksi virus menyebar dengan sangat cepat," kata Razai.
Ini akan menjadi masalah jika kita masih berurusan dengan varian virus yang lebih lama, tetapi transmisi yang lebih tinggi dari varian Delta meningkatkan urgensi untuk menjangkau sebanyak mungkin orang secepat mungkin.
Untungnya, para ilmuwan mulai mempelajari keragu-raguan vaksin jauh sebelum Sars-Cov-2 pertama kali diidentifikasi di Wuhan pada Desember 2019, dan mereka telah mengeksplorasi berbagai model yang mencoba menangkap perbedaan perilaku kesehatan masyarakat. Salah satu yang paling menjanjikan dikenal sebagai model 5Cs, yang mempertimbangkan faktor psikologis berikut:
Kepercayaan (Confidence): kepercayaan orang tersebut pada kemanjuran dan keamanan vaksin, layanan kesehatan yang menawarkannya, dan pembuat kebijakan yang memutuskan peluncurannya
Berpuas diri (Complacency): apakah orang tersebut menganggap penyakit itu sendiri sebagai risiko serius bagi kesehatannya
Perhitungan (Calculation): keterlibatan individu dalam pencarian informasi ekstensif untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat
Kendala/Constraint (atau kenyamanan/Convenient): seberapa mudah bagi orang yang bersangkutan untuk mengakses vaksin
Tanggung jawab kolektif (Collective responsibility): kesediaan untuk melindungi orang lain dari infeksi, melalui vaksinasi sendiri
Pada 2018, Cornelia Betsch di Universitas Erfurt di Jerman dan rekannya meminta peserta untuk menilai serangkaian pernyataan yang mengukur masing-masing 5C, dan kemudian membandingkan hasilnya dengan penerapan prosedur yang relevan, seperti influenza atau vaksin HPV. Hasilnya, mereka menemukan 5C dapat menjelaskan sejumlah besar variasi dalam keputusan orang, dan secara konsisten mengungguli banyak prediktor potensial lainnya – seperti kuesioner yang lebih berfokus secara eksklusif pada masalah kepercayaan tanpa mempertimbangkan faktor lain.
Dalam penelitian yang saat ini tidak dipublikasikan, Betsch baru-baru ini menggunakan model tersebut untuk memprediksi penyerapan vaksin Covid-19 dan hasilnya sejauh ini menunjukkan model 5C dapat menjelaskan sebagian besar variasi dalam keputusan orang.
Ada juga faktor lain yang berkontribusi. Sebuah penelitian baru-baru ini dari Universitas Oxford menunjukkan takut jarum suntik adalah penghalang utama bagi sekitar 10 persen populasi. Tetapi pendekatan 5C tampaknya menangkap alasan paling umum untuk keragu-raguan vaksin.
Bias konfirmasi
Ketika mempertimbangkan faktor-faktor yang berbeda ini dan cara mereka mempengaruhi perilaku orang, juga berguna untuk memeriksa berbagai bias kognitif yang diketahui mempengaruhi persepsi kita.
Pertimbangkan dua C pertama – kepercayaan (confidence) pada vaksin, kepuasan diri (complacency) tentang bahaya penyakit itu sendiri.
Jessica Saleska di Universitas California, Los Angeles menunjukkan manusia memiliki dua kecenderungan yang tampaknya bertentangan - "bias negatif" dan "bias optimisme" yang masing-masing dapat mengubah penilaian orang tentang risiko dan manfaat.
Bias negatif menyangkut cara Anda menilai peristiwa di luar kendali Anda.
"Ketika Anda disajikan dengan informasi negatif, itu cenderung melekat dalam pikiran Anda," kata Saleska.
Bias optimisme, sebaliknya, menyangkut keyakinan Anda tentang diri sendiri - apakah Anda berpikir Anda lebih bugar dan lebih sehat daripada rata-rata orang. Bias ini dapat bekerja secara independen, artinya Anda dapat berfokus pada efek samping berbahaya dari vaksin sekaligus meyakini bahwa Anda cenderung tidak menderita penyakit tersebut, kombinasi yang akan mengurangi kepercayaan diri dan meningkatkan rasa puas diri.
Lalu ada bias konfirmasi yang terkenal, yang juga dapat memutarbalikkan persepsi orang tentang risiko virus melalui ketersediaan informasi yang salah dari sumber yang meragukan yang membesar-besarkan risiko vaksin. Ketergantungan pada sumber daya yang menyesatkan ini berarti bahwa orang yang mendapat skor tinggi pada ukuran "penghitungan (calculation)" skala 5C – orang yang secara aktif mencari data – seringkali lebih ragu-ragu terhadap vaksin daripada orang yang mendapat skor lebih rendah.
"Jika Anda sudah berpikir vaksinasi bisa berisiko, lalu Anda mengetik 'apakah vaksinasi ini berbahaya?', maka yang akan Anda temukan hanyalah informasi yang menegaskan pandangan Anda sebelumnya," kata Betsch.
Kita juga tidak boleh melupakan faktor "kendala/kenyamanan (constraint/convenience)" dalam 5C. Sederhananya, persepsi bahwa vaksin sulit diakses hanya akan mengecilkan hati orang yang menunggu untuk divaksinasi.
Razai sepakat masalah kenyamanan ini perlu dipertimbangkan, terutama bagi mereka yang berada di komunitas miskin yang mungkin kesulitan dengan waktu dan biaya perjalanan ke pusat vaksinasi. Dia menyarankan vaksinasi dilakukan di pusat-pusat komunitas lokal seperti tempat ibadah.
Membuka dialog
Tidak ada solusi yang mudah, tetapi otoritas kesehatan dapat terus memberikan informasi yang mudah dicerna dan akurat untuk mengatasi masalah utama. Menurut laporan baru-baru ini oleh Institut Inovasi Kesehatan Global (IGHI) Imperial College London, hambatan utama adalah kekhawatiran pasien tentang efek samping dan kekhawatiran bahwa vaksin belum diuji secara memadai.
Razai menyarankan edukasi tentang sejarah pengembangan vaksin diperbanyak. Penggunaan mRNA dalam vaksin telah dipelajari selama beberapa dekade, misalnya – dengan uji coba panjang yang menguji keamanannya. Ini berarti teknik ini dapat dengan cepat diadaptasi untuk pandemi.
"Tidak satu pun dari teknologi yang telah digunakan akan berbahaya karena kami telah menggunakan teknologi ini di bidang lain dalam perawatan kesehatan dan penelitian," kata Razai.
Sarah Jones, seorang peneliti doktoral yang ikut memimpin laporan IGHI, menyarankan pemerintah bekerja lebih kreatif dengan banyak mitra komunikasi yang efektif. Misalnya dengan kolaborasi dengan influencer di setiap komunitas, yang dapat memberikan informasi yang konsisten dan akurat tentang risiko dan manfaat vaksin.
Razai mengatakan, lembaga kesehatan juga perlu terlibat dalam dialog terbuka.
"Kita harus mendengarkan kekhawatiran orang, menjawab mereka, dan memberi mereka informasi sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat."
Saleska setuju penting untuk terlibat dalam percakapan dua arah.
"Bersikap hormat dan mengakui keprihatinan mereka - saya pikir itu sebenarnya bisa lebih penting daripada hanya mengungkapkan fakta atau statistik," katanya.
"Sering kali, ini lebih tentang hubungan pribadi daripada tentang informasi aktual yang Anda berikan."
(mdk/pan)