"Bocah Itu Sedang Melihat Keluar Jendela Lalu Sniper Israel Menembaknya. Dia Mati di Depan Mata Kami"
Ini adalah curahan hati bocah Gaza, menyaksikan kekejaman dan kebrutalan Israel di hadapan matanya.
Ini adalah curahan hati bocah Gaza, menyaksikan kekejaman dan kebrutalan Israel di hadapan matanya.
"Bocah Itu Sedang Melihat Keluar Jendela Lalu Sniper Israel Menembaknya. Dia Mati di Depan Mata Kami"
Sejak pertama kali Farah membuka matanya, dia hidup di dalam penjara terbuka terbesar di dunia. Setelah mengalami serangan Israel sebelumnya di Gaza, bocah 12 tahun ini lebih akrab dengan peperangan daripada perdamaian.
Farah selalu mengikuti berita, dirinya tahu nama-nama politikus Palestina dan Israel. Dia juga mempelajari konvensi Jenewa Keempat dan hukum perang. Adegan yang dia lihat seharusnya membuat setiap anak seperti dirinya ketakutan dan sedih, namun itu tidak berlaku bagi Farah.
Sumber: Middle East Eye
- Benar-benar Jahat, Sniper Israel Incar Wanita Hamil Palestina
- Ini Bukti Israel Langgar Perjanjian saat Gencatan Senjata dengan Hamas, Snipernya Tetap Tembaki Warga Palestina di Gaza
- Sniper Israel Kepung RS Al-Shifa di Gaza, Tembak Mati Empat Pasien
- Israel Habiskan Rp 430 Miliar per Hari untuk Jatuhkan Bom di Gaza, Ini Rinciannya
Ini adalah kisah yang ditulis Farah tentang perang yang terjadi saat ini, mulai dari pengeboman di rumahnya hingga keputusan keluarganya untuk mengungsi ke Gaza Selatan:
Rumah kami telah dibom. Saya tidak ingat tanggal pastinya. Saya tidak tahu lagi hari apa sekarang, yang saya tahu hanyalah kami telah berperang selama sekitar dua bulan.
Tinggal di rumah sakit saat perang adalah pengalaman yang mengerikan bagi saya. Rasanya seperti saya sedang menunggu giliran untuk mati. Semua orang di rumah sakit ketakutan.
Saya tidur di lorong lantai atas bersama kakak perempuan saya yang berusia 16 tahun dan perempuan-perempuan lainnya, sementara ayah dan saudara laki-laki saya tinggal di lantai dasar bersama para laki-laki lainnya. Malam hari merupakan waktu yang paling menyeramkan, Israel sering melakukan pengeboman di malam hari, karena suasananya yang sangat sunyi, bunyi dari bomnya terasa sangat keras dan dekat.
Orang tua saya sudah bercerai. Saya tinggal bersama ayah ketika perang dimulai. Rumah ibu saya juga menjadi target bom, namun ibu saya melarikan diri ke rumah temannya di daerah yang berbeda. Setiap malam, saya berharap bisa bersama ayah dan saudara laki-laki saya, tetapi kami tidak bisa terus-menerus berpindah-pindah di lantai rumah sakit.
Tentara Israel terus menelepon rumah sakit, mendesak kami untuk segera melakukan evakuasi. Para dokter menunjukkan tekad yang kuat. Mereka berjanji tidak akan meninggalkan orang yang terluka tanpa pendampingan.
Tel al-Hawa terus-menerus mengalami serangan bom yang berat. Saya tidak mengetahui bangunan mana yang menjadi sasaran bom tersebut, tetapi suara ledakannya terdengar begitu jelas. Saya sulit membayangkan masih ada sesuatu yang tersisa untuk dihancurkan. Namun, bom-bom terus menerjang.
Pada suatu malam, tank-tank Israel mulai mengepung rumah sakit, dan kami tidak bisa tidur, bahkan sejenak pun. Kami mendengar suara tank bergerak mengepung kami. Seorang gadis kecil melihat keluar dari jendela dan dengan cepat ditembak oleh penembak jitu Israel. Dia meninggal di depan kami.
Ini merupakan pertama kali saya menyaksikan seseorang meninggal di hadapan saya. Ibunya menangis sepanjang malam. Setelah kejadian itu, tak ada lagi yang berani mendekati jendela. Saya menangis malam itu lebih banyak daripada yang pernah saya alami sebelumnya.
Israel berupaya membuat kami mengungsi dari rumah sakit tanpa memberikan detail rinci. Kami tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar. Tentara menembaki segala sesuatu yang bergerak. Para dokter memberitahu kami bahwa Palang Merah telah berkoordinasi dengan Israel, dan mereka menunggu "sinyal" dari Israel bahwa kami bisa pergi dengan aman.
Menunggu sinyal itu sungguh menyiksa, namun itu memberikan saya sedikit harapan. Berjam-jam berlalu, saat matahari mulai terbit, kami masih berada di lorong-lorong gelap rumah sakit. Lalu, tepat sebelum pukul 9 pagi, kami menerima sinyal tersebut.
Di sekolah, kami mempelajari segala hal mengenai Nakba Palestina pada tahun 1948. Kami menonton film-film yang menggambarkan orang Palestina diusir dan tewas. Kami belajar tentang pembantaian yang terjadi di desa-desa. Saya merasa seolah-olah saat ini saya mengalami langsung apa yang ada dalam film-film tersebut.
Sedih sekali rasanya suatu saat nanti, kisah yang kita alami sekarang akan diajarkan di kelas sejarah. Akankah saya menjadi seperti nenek-nenek ini yang memberi tahu cucunya tentang bagaimana kami harus meninggalkan kota karena mereka membunuh kami?
Akhirnya, kami diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Saya menelepon ibu saya untuk memberi tahu bahwa kami dalam perjalanan ke selatan, berharap bisa bertemu dengannya di sana. Saya memberitahunya bahwa ada jenazah di depan saya di tangga rumah sakit. Dengan tangisan, dia meminta saya untuk tidak melihat. Namun, saya terus memandang sepanjang waktu selama pergi.
Bersama dengan ratusan orang lain yang melarikan diri pada pagi itu, kami mengikuti Jalan Salah al-Din, sesuai perintah dari pasukan Israel.
Kami berjalan untuk waktu yang cukup lama, mulai sekitar pukul 9 pagi hingga 2 siang. Saya merasa seolah-olah jantung saya bisa berhenti berdetak kapan saja. Kadang-kadang saya menutup mata saat berjalan, saya tidak ingin situasi ini menjadi kenyataan. Namun, saya juga ingin tetap membuka mata. Bagaimana jika tentara Israel menembak ayah atau saudara-saudara saya?
Di beberapa daerah, tentara Israel dan tank berkumpul, kami tidak diperbolehkan untuk melihat sekeliling. Kami harus berjalan dengan tangan diangkat, orang dewasa memegang ID mereka dengan satu tangan. Kami tidak diizinkan untuk mengeluarkan botol air dari tas, atau bahkan minum sedikit air. Bergerak tangan atau mengambil sesuatu berarti kami berisiko ditembak. Saya sama sekali tidak merasa lapar, tetapi saya merasa sangat haus.
Israel juga memasang pos pemeriksaan keamanan, memerintahkan kami untuk melewati detektor yang menggunakan teknologi pemindaian wajah. Saya khawatir salah satu dari kami akan ditembak, karena dua tentara Israel mencoba memprovokasi kami dengan berteriak "Berterima kasih kepada kami dan berterima kasih kepada Hamas untuk ini." Tetapi orang-orang terus memberi tahu satu sama lain untuk mengabaikan kata-kata mereka agar bisa sampai ke tempat yang aman.
Semakin kami berjalan, semakin banyak mayat yang kami lihat di tanah. Saya melihat seorang wanita tergeletak di sebelah seorang bocah kecil. Beberapa mayat tertutup selimut. Ada juga mobil-mobil yang hangus dengan mayat yang terbakar di dalamnya.
Setelah kami menginjakkan kaki di selatan Wadi Gaza, puluhan warga Palestina menunggu kami, memberi tahu kami bahwa kami aman sekarang. Mereka memberi saya segelas kecil jus strawberry dan sepotong kue cokelat. Saya duduk di tanah dan tidak bisa bergerak sejenak. Saya memberikan ayah saya pelukan besar dan mulai menangis. Ayah saya mengatakan kepada saya bahwa saya harus kuat. Kami bangkit dan sampai di sebuah sekolah UN.Sumber: Middle East Eye